Rabu, 07 September 2016

Muslim Through Discourse : Religion and Ritual in Gayo Society



 Tulisan di bawah ini saya dapat dari buku Muslim Through Discourse: Religion and Ritual in Gayo Society.  Buku ini ditulis oleh Jhon R Bowen, antropolog Amerika yang meneliti tentang Gayo.
Lucunya, buku ini saya dapat ketika saya kuliah di Australia dan saya belajar tentang kakek saya (Aman Murni) dari buku ini. Kakek saya ternyata, menurut Bowen, adalah seorang "radikal reformist" sayap modernist.

Saya beruntung belajar tentang kakek dari buku ini, karena saya tidak hidup dengan kakek sehingga banyak sisi kegiatannya yang tidak saya ketahui. Kakek tinggal di Takengen, sedangkan saya di Banda Aceh. Saya pindah ke Banda Aceh ketika saya berusia 7 tahun, sehingga tidak banyak tau kehidupan kakek semasa beliau hidup.

Belajar dari tulisan Bowen ini, saya percaya bahwa kevakuman berfikir di Aceh saat ini, bisa diselesaikan dengan cara yang dilakukan oleh Reje Bukit Zainuddin kala itu.

========================


Dalam bab ini saya akan mengikuti jejak beberapa orang ulama yang membuat perubahan dalam ilmu agama. Saya akan memfokuskan pada 3 orang, dipilih karena kegiatan public mereka dalam mempromosikan ide-ide tentang agama. Tengku Asaluddin yang menggabungkan penghormatan yang kental pada para leluhur di desa Isak dalam kegiatan pergerakan modern Muhammadiyah. Tengku Ali Salwany yang memimpin organisasi tradisional di Takengen dan terus menjaga keberlangsungan jaringan organisasi tradisional tersebut didalam masyarakat pedesaan. Dan Aman Murni yang merupakan putra mahkota “radikal reformist” sayap modernist. Beliau membawa pemikiran rasional, kritis dan berperspektive modern dalam hal beragama dan berhubungan social.

Para ulama ini, dan banyak para lelaki dan perempuan lainnya yang telah memperoleh pendidikan agama formal, menempatkan cerita mereka tersendiri tentang keadaan pencerahan di Gayo. Menurut Aman Murni, Gayo sekarang sudah keluar dari ‘zaman jahiliyah’ dan memasuki proses belajar tentang agama. (hal 39-40)

Abdul Jalil Rahmany yang lahir di Tekengen, dan dikenal dengan panggilan Tengku Jali pada tahun 1939 kembali ke Takengen setelah menuntut ilmu di Al- Irshad Surabaya. Pada tahun 1989 saya sempat berdiskusi dengan pengganti Tengku Jali, Tengku Abdul Jalil Bahagia, yang dikenal dengan panggilan Aman Murni tentang pengaruh Tengku Jali bagi pendidikan di Takengen. Aman Murni tinggal di tanah yang sangat luas yang mempunyai dua rumah di desa Bale, yang menghadap ke laut tawar. Dia persembahkan lantai pertama rumahnya untuk ruang belajar dimana telah tersedia bangku yang menghadap papan tulis. 
Aman Murni (Kemeja putih), bersama ayah dan ibunya. Sang ayah dikenal dengan panggilan Tengku Tue (Ulama Tua)


Aman Murni telah mengembangkan pemahaman modernist tentang beragama. Saat pertama sekali saya minta untuk bercakap-cakap dengan saya, ia lebih memilih untuk menuliskan sejarah sebagai bahan kami berdiskusi. Dalam waktu satu minggu beliau telah menulis 7 halaman, berspasi satu dalam bahasa Indonesia yang berjudul “perkembangan agama di Takengen Aceh Tengah”. Tulisan tersebut terdiri dari tiga tahap sejarah beragama di Takengen, masa kegelapan, masa reformasi sedang dan masa final pembaharuan dibawah tengku Jali.

Sejarah yang ditulis Aman Murni dimulai dengan kharakteristik negative “orang di Aceh Tengah” (beliau menghindari penggunaan label etnis “Gayo” untuk menekankan agama tinimbang perbedaan kultur) sebelum pembaharuan. Orang- orang menyembah pohon, batu, dan kuburan; mereka mengadakan kenduri yang hanya menghabiskan sumber-sumber yang ada, mereka bergantung pada dukun kampung yang malah menyebabkan penyakit ketimbang penyembuhan mereka; dan adanya persaingan antar desa dan perebutan kekuasaan (domain) antara Bukit dan Ciq. 

Penyebab kekacauan adalah :
“pengaruh adat, peraturan, ulama gadungan, ulama yang terkena narkoba, tidak adanya pendidikan tingkat local, kepatuhan buta pada tradisi, orang pintar yang mengambil keuntungan dari orang sakit”.

Ulama murni datang ke Takengen melalui usaha beberapa pihak: Muhammadiyah, penguasa Bale yang sudah dicerahkan dengan support dari pedagang local, mendirikan sekolah pendidikan (PI) pada tahun 1938 dan akhirnya kedatangan Tengku Jali pada tahun 1939. Di point ini Aman Murni memperkenalkan dirinya. Lahir pada tahun 1925, dia selesai pada tahun 1939 dari dua sekolah berbeda, sekolah pemerintah dan sekolah Muhammadiyah ( keduanya 6 tahun) di Takengen, dan pada waktu yang sama bertemu dengan Tengku Jali, yang baru saja kembali dari Al-Irsyad Surabaya. “saya, Tgk. H. Abd. Jalil Bahagia”, dia melanjutkan, “setelah 6 tahun bersama Muhammadiyah kemudian belajar (bahasa Arab) dengan ustaz Abd Jalil (Tengku Jali) dan 6 tahun belajar tidak sama dengan satu tahun dengannya. Saat berusia 20 tahun pada tahun 1939, Tengku Jali menjadi pengajar bahasa Arab di sekolah PI. Aman Murni belajar bersama Tengku Jali hingga tahun 1942, pada saat dia menjadi asisten Tengku Jali. Dalam diskusi kami, Aman Murni menceritakan metode belajarnya:
“” murid-murid belajar sambil duduk ditikar dan menulis diatas bangku, menghadap ke papan tulis, murid-murid itu tidak menggunakan meja tulis. Semua buku dipesan dari toko buku Salim Nabhan di Surabaya. Salim mempunyai percetakan sendiri di Mesir dan toko buku di Surabaya yang menjual buku-buku Islam….setiap tahun setiap murid harus lulus tes oral di depan umum. Yang terpenting, setiap murid harus mampu mengingat (menghafal) jawaban yang dihafal dari pertanyaan dibuku Mufradha al-Qira’at ar-Rasida. Setiap pagi para murid itu harus bangun pagi-pagi sekali dan mulai menghafal Mufradat. Siapa yang terlambat akan ditampar atau dipukul dengan rotan, bahkan orang tua mereka sendiri tidak boleh mengintervensi”.

Tulisan Tangan Aman Murni, ditulis ketika beliau menjadi kepala KUA kec. Kota Takengon, 17 Maret 1970

Seperti halnya Muhammadiyah, PI mencoba menciptakan siswa yang baik modern secara social maupun terpelajar secara agama. Pada hari raya Iedul Fitri, murid-murid menyanyikan lagu kebangsaan sekolah mereka di depan rumah pejabat Gayo didekat Takengen. Mereka juga belajar memainkan alat-alat music yang disediakan sekolah seperti terompet, harmonica, suling dan drum, meskipun ada protes yang disampaikan oleh pihak tradisionalist bahwa mereka, seperti yang disampaikan oleh Aman Murni “mencoba menjadi orang kafir”. Mereka murid perempuan yang belajar di PI memulai sekolahnya di Taman untuk para murid perempuan (Garden for Girls) dimana mereka diajarkan memasak, termasuk masakan-masakan Eropa dalam mata pelajaran mereka. Setelah kemerdekaan, sekolah mensponsori kursus politik yang diajarkan oleh kepala sekolah menengah di Takengen, “karena orang-orang tidak mengerti apa arti kemerdekaan” kata Aman Murni. “mereka kira kemerdekaan itu berarti mereka akan diberi makan dan tidak perlu kerja”. 

Sekolah PI juga membangun masjid di beberapa kampung diluar kota Takengen.

Kegiatan ini disponsori oleh pedagang sukses di desa Bale Bujang yang berharap dapat membersihkan kepercayaan-kepercayaan yang salah, kata Aman Murni dalam dokumennya. “dan setiap hari semakin banyak pengikut yang menempatkan posisinya. 25 per sen mereka mengikuti tradisi kuno, 75 per sen mereka mengikuti kami dan Muhammadiyah”. 

Setelah kedatangannya ke Takengen, Tengku Jali menginisiasi debat berseri yang mengangkat isu tentang ritual, yang paling diingat adalah debat pada tahun 1941 dirumah Bukit yang dialami oleh Reje Zainuddin. Saat itu Tengku Jali mendebat Tengku Silang. Perdebatan dimulai dari “saat menjelang malam hingga hampir subuh”, tulis Aman Murni, “menggunakan semua buku yang membahas tentang talqin, kenduri mati dan hal-hal lainnya”. Setiap peserta diminta untuk memberikan argumentasi baik yang mendukung maupun yang menolak. “pada akhirnya Reje Bukit Zainuddin menutup debat tanpa menjelaskan siapa yang menang, dia hanya berkata “ sekarang kita tahu dimana kebohongan dibuktikan dengan baik dan juga kita tau yang mana yang lemah, meskipun mereka tidak mengakuinya”. Perdebatan masih berlanjut didalam masjid. Khutbah jum’at berkali-kali masih membahas issue ini. Debat itu akhirnya menyebabkan pihak provinsi turun tangan, dimana kemudian Aman Murni menggambarkan dengan sangat gembira dalam tulisannya:

“karena Aceh Tengah telah mengambil langkah modernist dengan sangat serius, beberapa pihak mengira bahwa perbedaan itu akan menyebabkan konflik, makanya isu ini dibawa ke Banda Aceh, yang kemudian menghasilkan Maklumat Bersama pada tanggal 2-24 Maret 1948, yang ditandatangani oleh kandepag, atas nama semua ulama dan sekolah agama, oleh pengadilan agama, kandepag Aceh, bahwa 9 ritual yang diperdebatkan itu tidak berlaku dalam Islam. Hal itu kemudian memperjelas argument bagi kelompok tua bahwa kegiatan tersebut berdasarkan nafsu dan itu tidak berlaku lagi. Seperti yang dikatakan oleh Rasulullah; siapapun yang tersesat karena kami, pada hari kiamat dosa mereka akan ditanggung oleh para ulama yang sudah mengajarkan secara salah ajaran-ajaran mereka”. 

Maklumat yang disalin kembali oleh Aman Murni

Aman Murni menuliskan bahwa pada tahun 1946, pedagang yang mendukung sekolah PI membentuk sebuah perusahaan PAT (Perusahaan Aceh Tengah). Mereka berbagi keuntungan dan PI yang memegang saham mayoritas. Keuntungan dari perusahaan itu digunakan untuk kepentingan sekolah, masjid dan rumah yatim piatu. Tetapi perusahaan dan sekolah yang jatuh sebagai korban materialisme. “Pada masa kejayaannya, pemimpin PI ingin sekali mengambil keuntungan dari PAT dan kurang memperhatikan masalah2 agama” kata Aman Murni. Tapi devaluasi keuangan Indonesia dan pembagian yang terlalu berlebihan telah mempercepat kejatuhan profit ke level yang rendah. Jauh sebelum meninggalnya Tengku Jali ada tahun 1974 ‘orang yang sangat bangga pada sekolah sekuler dan meninggalkan sekolah agama, belajar tentang alquran dan sekolah2 agama dikampung, meskipun pada kenyataannya dari belajar al Quran dan sekolah2 agamalah modal pendidikan yang sebenarnya”.

Aman Murni menggantikan Tengku Jali sebagai kepala PI ditahun 1968. Tiga tahun kemudian beliau berkampanye untuk partai Golkar. Beliau satu-satunya Ulama terkemuka di Takengen yang mensuport Golkar (ulama lainnya mensupport partai Islam), dan perselisihan terjadi hingga para pengurus PI memecatnya pada tahun 1976. Beliau kemudian menerima tawaran pemerintah untuk mendirikan sekolah alternative yang didirikan dilahan rumahnya di kampong Bale. Beliau melihat bahwa aktivitas kepartaian tidak berdampak pada kegiatan disekolah dan ini dibenarkan dengan adanya dukungan bagi sekolahnya.

Diakhir tahun 1970an PI telah mengikuti saingannya al-Wasliyah, mulai melemah. Kebanyakan orang tua memilih lebih kesekolah pemerintah karena lebih menjanjikan pekerjaan saat lulus. Aman Murni masih melanjutkan untuk mengajar, memberikan kelas bahasa Arab disore dan malam hari mengajar mengaji di sekolah barunya. Murid belajar 3-5 tahun untuk menamatkannya. 25 muridnya sekarang melanjutkan studi ke Jawa dan ditahun 1989 jumlah muridnya bertambah. Penambahan ini, menurutnya, karena mereka ingin kembali belajar agama. Aman Murni membuat sendiri materi pelajaran yang diajarkan untuk murid-muridnya seperti tahun 1989 itu beliau menulis grammar bahasa Arab, buku tentang shalat seperti yang dilakukan Rasulullah dan dua buku yang berhubungan dengan ritual-ritual agama. Publikasinya disimpan ditempat foto kopi yang bisa dibeli oleh murid-muridnya. Semuanya ditekankan pada hafalan bahasa Arab, ayat-ayat Alqur’am dan do’a-do’a shalat. (Beliau memberikan Rp.5 untuk putranya yang bisa menghafal kata-kata bahasa Arab).

Ditahun 1930, ulama tradisional mengatakan pada murid-murid mereka untuk tidak mengekspose tafsir, karena hanya mereka yang punya keahlian dan telah mendapatkan pelatihan yang bisa melakukannya. Abu Bakar Bangkit, mantan ketua partai Masyumi menjelaskan “bahkan sampai saat ini saya tidak ingin menginterpretasi alqur’an sendiri. Saya membaca yang sudah dijelaskan orang lain….seperti dikatakan orang lain; ‘saya tidak menterjemahkan Al-qur’an, saya menginterpretasikannya”. Kita tidak tahu lafaznya, kita hanya bisa mengatakan apa yang menurut kita itu artinya”.

Sebaliknya, bagi Aman Murni, tafsir merupakan symbol dari perjuangan para reformist. Seperti yang beliau jelaskan kepada saya:
“Belanda tidak akan membiarkan orang-orang untuk menginterpretasikan Al qur’an. Khutbah semuanya dalam bahasa Arab, bukan bahasa Indonesia. Belanda diam-diam mendengarkan setiap khutbah dan melaporkan siapa saja yang menterjemahkan ayat-ayat dalam khutbah. Perlahan-lahan, dalam Muhammadiyah, kami mulai menterjemahkan beberapa ayat kedalam bahasa Indonesia, pertama dalam kegiatan keagamaan, lalu diakhir tahun 1930, disetiap khutbah Jumat. Tapi tetap saja harus memilih ayat-ayat dengan sangat hati-hati. Qur’an mengingatkan orang tentang orang kafir. Oleh karenanya Belanda sangat takut akan itu”.

Aman Murni mempertimbangkan sumbangan pengetahuan tentang isi kitab suci merupakan suatu aksi politik. Saya menemukan sedikit sokongan untuk interpretasi itu dari tingkah laku Belanda terhadap modernist-modernist yang lain. Tapi bagi Aman Murni adalah penting untuk menterjemahkan isi kitab suci agar bisa dibaca dengan bahasa sehari-hari sebagai cara pencerahan agama. Tidaklah mengherankan bahwa Aman Murni, dimasa dahulu, saat masih di PI telah menghabiskan waktu untuk mengawal interpretasi (tafsir) Al Qur’an disekitar kota dan desa-desa. Ditahun 1980an Aman Murni memimpin sesi diskusi di Mesjid Takengen setiap magrib menjelang Isya. Biasanya isyu yang diangkat berkenaan dengan praktek-praktek keagamaan dan sejarah agama. Saya ikut satu sesi di bulan Juni 1989:
“Sekitar 20 orang laki-laki dan anak muda duduk di dekat Aman Murni setelah shalat isya. Jumlah yang sama juga untuk ibu-ibu dan remaja putri yang duduk dibagian belakang, terpisah dari laki-laki. Dipisahkan oleh kain yang dipasang dikawat. Aman Murni duduk di kursi dengan Al-Qur’an diletakkan didepannya; jamaah yang lain mengambil qur’an dari koleksi masjid. Lelaki yang lebih tua tahu dibagian mana mereka menyelesaikan bacaan disesi terdahulu.

Malam itu Aman Murni membaca surat An-Nisa ayat 97-104. Metode Aman Murni, membaca beberapa kata, lalu memberikan terjemahan cepat dan menambahkan atau membubuhi keterangan. Dibeberapa kasus beliau memberikan contoh. Ayat pertama dimulai dengan complain satu grup kepada malaikat bahwa mereka tidak bisa menjalankan agama dimana mereka berada, dan malaikat meresponnya dan berkata mereka harus hijrah (pindah) ketempat lain. Aman Murni berkata bahwa situasi itulah yang menyebabkan Tengku Hasbi Ash-Shiddiqy di Lhokseumawe (saat beliau mendirikan sekolah Al-Irsyad); orang-orang tidak mau menerima ilmunya dan beliau tidak bisa mengajar mereka, beliau lalu pindah ke Jakarta.
Sesi berikutnya berbicara tentang memendekkan rakaat shalat. Aman Murni berbicara cukup panjang tentang ini. Departemen agama telah menetapkan bahwa boleh memendekkan rakaat shalat jika berada 60 kilometer jauhnya dari rumah. “Tapi kamu boleh memendekkan rakaat shalat kamu jika kamu memerlukannya”, jelas Aman Murni, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah sat beliau mengendarai unta.

Aman Murni menutup sesi malam itu dengan mengingatkan semua orang bahwa tujuan diskusi itu adalah untuk memperluas ilmu yang sudah diperoleh. Setelah selesai berdiskusi teh lalu disediakan sambil menunggu shalat isya berjamaah.

Dengan berubahnya peradaban dari masa rasul hingga saat ini, tafsir dibutuhkan untuk menjembatani pemahaman yang relevan dimasa rasul dulu untuk memecahkan persoalan keagamaan sekarang. Tidak dibutuhkan interpretasi yang terlalu tinggi dari para ulama untuk memperoleh ilmu ini.

Tengku Asaluddin, Tengku Ali Salwany dan Aman Murni menggambarkan beberapa perbedaan yang jelas dilakukan oleh para ulama Gayo di abad pertengahan. Topic yang mereka ajarkan pada tahun 1930an berlanjut menjadi debat yang hidup pada tahun 1980an dan perbedaan itu menyemarakkan kegiatan-kegiatan ilmiah. Ditahun 1989 dan 990 contyohnya, Ali Salwani mengadakan dua kali rapat bersama para ulama membicarakan tentang talqin dan isu-isu tentang kenduri kematian. Kongres ini dilakukan untuk mereformasi ritual local dan mengumpulkan kritik-kritik yang diberikan oleh kelompok reformist. Perbedaan ini tidak menyebabkan terjadinya konflik berdarah yang banyak ditakutkan orang.