Tulisan di bawah ini saya dapat dari buku Muslim Through Discourse: Religion and Ritual in Gayo Society. Buku ini ditulis oleh Jhon R Bowen, antropolog Amerika yang meneliti tentang Gayo.
Lucunya, buku ini saya dapat ketika saya kuliah di Australia dan saya belajar tentang kakek saya (Aman Murni) dari buku ini. Kakek saya ternyata, menurut Bowen, adalah seorang "radikal reformist" sayap modernist.
Saya beruntung belajar tentang kakek dari buku ini, karena saya tidak hidup dengan kakek sehingga banyak sisi kegiatannya yang tidak saya ketahui. Kakek tinggal di Takengen, sedangkan saya di Banda Aceh. Saya pindah ke Banda Aceh ketika saya berusia 7 tahun, sehingga tidak banyak tau kehidupan kakek semasa beliau hidup.
Belajar dari tulisan Bowen ini, saya percaya bahwa kevakuman berfikir di Aceh saat ini, bisa diselesaikan dengan cara yang dilakukan oleh Reje Bukit Zainuddin kala itu.
========================
Dalam bab ini
saya akan mengikuti jejak beberapa orang ulama yang membuat perubahan dalam
ilmu agama. Saya akan memfokuskan pada 3 orang, dipilih karena kegiatan public
mereka dalam mempromosikan ide-ide tentang agama. Tengku Asaluddin yang
menggabungkan penghormatan yang kental pada para leluhur di desa Isak dalam
kegiatan pergerakan modern Muhammadiyah. Tengku Ali Salwany yang memimpin
organisasi tradisional di Takengen dan terus menjaga keberlangsungan jaringan
organisasi tradisional tersebut didalam masyarakat pedesaan. Dan Aman Murni
yang merupakan putra mahkota “radikal reformist” sayap modernist. Beliau membawa
pemikiran rasional, kritis dan berperspektive modern dalam hal beragama dan
berhubungan social.
Para ulama ini,
dan banyak para lelaki dan perempuan lainnya yang telah memperoleh pendidikan
agama formal, menempatkan cerita mereka tersendiri tentang keadaan pencerahan
di Gayo. Menurut Aman Murni, Gayo sekarang sudah keluar dari ‘zaman jahiliyah’
dan memasuki proses belajar tentang agama. (hal 39-40)
Abdul Jalil
Rahmany yang lahir di Tekengen, dan dikenal dengan panggilan Tengku Jali pada
tahun 1939 kembali ke Takengen setelah menuntut ilmu di Al- Irshad Surabaya.
Pada tahun 1989 saya sempat berdiskusi dengan pengganti Tengku Jali, Tengku
Abdul Jalil Bahagia, yang dikenal dengan panggilan Aman Murni tentang pengaruh
Tengku Jali bagi pendidikan di Takengen. Aman Murni tinggal di tanah yang
sangat luas yang mempunyai dua rumah di desa Bale, yang menghadap ke laut
tawar. Dia persembahkan lantai pertama rumahnya untuk ruang belajar dimana
telah tersedia bangku yang menghadap papan tulis.
| Aman Murni (Kemeja putih), bersama ayah dan ibunya. Sang ayah dikenal dengan panggilan Tengku Tue (Ulama Tua) |
Aman Murni telah
mengembangkan pemahaman modernist tentang beragama. Saat pertama sekali saya
minta untuk bercakap-cakap dengan saya, ia lebih memilih untuk menuliskan
sejarah sebagai bahan kami berdiskusi. Dalam waktu satu minggu beliau telah
menulis 7 halaman, berspasi satu dalam bahasa Indonesia yang berjudul
“perkembangan agama di Takengen Aceh Tengah”. Tulisan tersebut terdiri dari tiga
tahap sejarah beragama di Takengen, masa kegelapan, masa reformasi sedang dan
masa final pembaharuan dibawah tengku Jali.
Sejarah yang ditulis
Aman Murni dimulai dengan kharakteristik negative “orang di Aceh Tengah”
(beliau menghindari penggunaan label etnis “Gayo” untuk menekankan agama
tinimbang perbedaan kultur) sebelum pembaharuan. Orang- orang menyembah pohon,
batu, dan kuburan; mereka mengadakan kenduri yang hanya menghabiskan
sumber-sumber yang ada, mereka bergantung pada dukun kampung yang malah
menyebabkan penyakit ketimbang penyembuhan mereka; dan adanya persaingan antar
desa dan perebutan kekuasaan (domain) antara Bukit dan Ciq.
Penyebab
kekacauan adalah :
“pengaruh adat,
peraturan, ulama gadungan, ulama yang terkena narkoba, tidak adanya pendidikan
tingkat local, kepatuhan buta pada tradisi, orang pintar yang mengambil
keuntungan dari orang sakit”.
Ulama murni datang
ke Takengen melalui usaha beberapa pihak: Muhammadiyah, penguasa Bale yang
sudah dicerahkan dengan support dari pedagang local, mendirikan sekolah
pendidikan (PI) pada tahun 1938 dan akhirnya kedatangan Tengku Jali pada tahun
1939. Di point ini Aman Murni memperkenalkan dirinya. Lahir pada tahun 1925,
dia selesai pada tahun 1939 dari dua sekolah berbeda, sekolah pemerintah dan
sekolah Muhammadiyah ( keduanya 6 tahun) di Takengen, dan pada waktu yang sama
bertemu dengan Tengku Jali, yang baru saja kembali dari Al-Irsyad Surabaya.
“saya, Tgk. H. Abd. Jalil Bahagia”, dia melanjutkan, “setelah 6 tahun bersama
Muhammadiyah kemudian belajar (bahasa Arab) dengan ustaz Abd Jalil (Tengku
Jali) dan 6 tahun belajar tidak sama dengan satu tahun dengannya. Saat berusia
20 tahun pada tahun 1939, Tengku Jali menjadi pengajar bahasa Arab di sekolah
PI. Aman Murni belajar bersama Tengku Jali hingga tahun 1942, pada saat dia
menjadi asisten Tengku Jali. Dalam diskusi kami, Aman Murni menceritakan metode
belajarnya:
“” murid-murid
belajar sambil duduk ditikar dan menulis diatas bangku, menghadap ke papan
tulis, murid-murid itu tidak menggunakan meja tulis. Semua buku dipesan dari
toko buku Salim Nabhan di Surabaya. Salim mempunyai percetakan sendiri di Mesir
dan toko buku di Surabaya yang menjual buku-buku Islam….setiap tahun setiap
murid harus lulus tes oral di depan umum. Yang terpenting, setiap murid harus
mampu mengingat (menghafal) jawaban yang dihafal dari pertanyaan dibuku
Mufradha al-Qira’at ar-Rasida. Setiap pagi para murid itu harus bangun
pagi-pagi sekali dan mulai menghafal Mufradat. Siapa yang terlambat akan
ditampar atau dipukul dengan rotan, bahkan orang tua mereka sendiri tidak boleh
mengintervensi”.
| Tulisan Tangan Aman Murni, ditulis ketika beliau menjadi kepala KUA kec. Kota Takengon, 17 Maret 1970 |
Seperti halnya
Muhammadiyah, PI mencoba menciptakan siswa yang baik modern secara social
maupun terpelajar secara agama. Pada hari raya Iedul Fitri, murid-murid
menyanyikan lagu kebangsaan sekolah mereka di depan rumah pejabat Gayo didekat
Takengen. Mereka juga belajar memainkan alat-alat music yang disediakan sekolah
seperti terompet, harmonica, suling dan drum, meskipun ada protes yang
disampaikan oleh pihak tradisionalist bahwa mereka, seperti yang disampaikan
oleh Aman Murni “mencoba menjadi orang kafir”. Mereka murid perempuan yang
belajar di PI memulai sekolahnya di Taman untuk para murid perempuan (Garden for Girls) dimana mereka
diajarkan memasak, termasuk masakan-masakan Eropa dalam mata pelajaran mereka.
Setelah kemerdekaan, sekolah mensponsori kursus politik yang diajarkan oleh
kepala sekolah menengah di Takengen, “karena orang-orang tidak mengerti apa
arti kemerdekaan” kata Aman Murni. “mereka kira kemerdekaan itu berarti mereka
akan diberi makan dan tidak perlu kerja”.
Sekolah PI juga
membangun masjid di beberapa kampung diluar kota Takengen.
Kegiatan ini
disponsori oleh pedagang sukses di desa Bale Bujang yang berharap dapat
membersihkan kepercayaan-kepercayaan yang salah, kata Aman Murni dalam
dokumennya. “dan setiap hari semakin banyak pengikut yang menempatkan
posisinya. 25 per sen mereka mengikuti tradisi kuno, 75 per sen mereka
mengikuti kami dan Muhammadiyah”.
Setelah kedatangannya
ke Takengen, Tengku Jali menginisiasi debat berseri yang mengangkat isu tentang
ritual, yang paling diingat adalah debat pada tahun 1941 dirumah Bukit yang
dialami oleh Reje Zainuddin. Saat itu Tengku Jali mendebat Tengku Silang.
Perdebatan dimulai dari “saat menjelang malam hingga hampir subuh”, tulis Aman
Murni, “menggunakan semua buku yang membahas tentang talqin, kenduri mati dan
hal-hal lainnya”. Setiap peserta diminta untuk memberikan argumentasi baik yang
mendukung maupun yang menolak. “pada akhirnya Reje Bukit Zainuddin menutup
debat tanpa menjelaskan siapa yang menang, dia hanya berkata “ sekarang kita
tahu dimana kebohongan dibuktikan dengan baik dan juga kita tau yang mana yang
lemah, meskipun mereka tidak mengakuinya”. Perdebatan masih berlanjut didalam
masjid. Khutbah jum’at berkali-kali masih membahas issue ini. Debat itu
akhirnya menyebabkan pihak provinsi turun tangan, dimana kemudian Aman Murni
menggambarkan dengan sangat gembira dalam tulisannya:
“karena Aceh
Tengah telah mengambil langkah modernist dengan sangat serius, beberapa pihak
mengira bahwa perbedaan itu akan menyebabkan konflik, makanya isu ini dibawa ke
Banda Aceh, yang kemudian menghasilkan Maklumat Bersama pada tanggal 2-24
Maret 1948, yang ditandatangani oleh kandepag, atas nama semua ulama dan
sekolah agama, oleh pengadilan agama, kandepag Aceh, bahwa 9 ritual yang
diperdebatkan itu tidak berlaku dalam Islam. Hal itu kemudian memperjelas
argument bagi kelompok tua bahwa kegiatan tersebut berdasarkan nafsu dan itu
tidak berlaku lagi. Seperti yang dikatakan oleh Rasulullah; siapapun yang
tersesat karena kami, pada hari kiamat dosa mereka akan ditanggung oleh para
ulama yang sudah mengajarkan secara salah ajaran-ajaran mereka”.
![]() |
| Maklumat yang disalin kembali oleh Aman Murni |
Aman Murni
menuliskan bahwa pada tahun 1946, pedagang yang mendukung sekolah PI membentuk
sebuah perusahaan PAT (Perusahaan Aceh Tengah). Mereka berbagi keuntungan dan
PI yang memegang saham mayoritas. Keuntungan dari perusahaan itu digunakan
untuk kepentingan sekolah, masjid dan rumah yatim piatu. Tetapi perusahaan dan
sekolah yang jatuh sebagai korban materialisme. “Pada masa kejayaannya,
pemimpin PI ingin sekali mengambil keuntungan dari PAT dan kurang memperhatikan
masalah2 agama” kata Aman Murni. Tapi devaluasi keuangan Indonesia dan
pembagian yang terlalu berlebihan telah mempercepat kejatuhan profit ke level
yang rendah. Jauh sebelum meninggalnya Tengku Jali ada tahun 1974 ‘orang yang
sangat bangga pada sekolah sekuler dan meninggalkan sekolah agama, belajar
tentang alquran dan sekolah2 agama dikampung, meskipun pada kenyataannya dari
belajar al Quran dan sekolah2 agamalah modal pendidikan yang sebenarnya”.
Aman Murni
menggantikan Tengku Jali sebagai kepala PI ditahun 1968. Tiga tahun kemudian
beliau berkampanye untuk partai Golkar. Beliau satu-satunya Ulama terkemuka di
Takengen yang mensuport Golkar (ulama lainnya mensupport partai Islam), dan
perselisihan terjadi hingga para pengurus PI memecatnya pada tahun 1976. Beliau
kemudian menerima tawaran pemerintah untuk mendirikan sekolah alternative yang
didirikan dilahan rumahnya di kampong Bale. Beliau melihat bahwa aktivitas
kepartaian tidak berdampak pada kegiatan disekolah dan ini dibenarkan dengan
adanya dukungan bagi sekolahnya.
Diakhir tahun
1970an PI telah mengikuti saingannya al-Wasliyah, mulai melemah. Kebanyakan
orang tua memilih lebih kesekolah pemerintah karena lebih menjanjikan pekerjaan
saat lulus. Aman Murni masih melanjutkan untuk mengajar, memberikan kelas
bahasa Arab disore dan malam hari mengajar mengaji di sekolah barunya. Murid
belajar 3-5 tahun untuk menamatkannya. 25 muridnya sekarang melanjutkan studi
ke Jawa dan ditahun 1989 jumlah muridnya bertambah. Penambahan ini, menurutnya,
karena mereka ingin kembali belajar agama. Aman Murni membuat sendiri materi
pelajaran yang diajarkan untuk murid-muridnya seperti tahun 1989 itu beliau
menulis grammar bahasa Arab, buku tentang shalat seperti yang dilakukan
Rasulullah dan dua buku yang berhubungan dengan ritual-ritual agama.
Publikasinya disimpan ditempat foto kopi yang bisa dibeli oleh murid-muridnya.
Semuanya ditekankan pada hafalan bahasa Arab, ayat-ayat Alqur’am dan do’a-do’a
shalat. (Beliau memberikan Rp.5 untuk putranya yang bisa menghafal kata-kata
bahasa Arab).
Ditahun 1930,
ulama tradisional mengatakan pada murid-murid mereka untuk tidak mengekspose
tafsir, karena hanya mereka yang punya keahlian dan telah mendapatkan pelatihan
yang bisa melakukannya. Abu Bakar Bangkit, mantan ketua partai Masyumi
menjelaskan “bahkan sampai saat ini saya tidak ingin menginterpretasi alqur’an
sendiri. Saya membaca yang sudah dijelaskan orang lain….seperti dikatakan orang
lain; ‘saya tidak menterjemahkan Al-qur’an, saya menginterpretasikannya”. Kita
tidak tahu lafaznya, kita hanya bisa mengatakan apa yang menurut kita itu
artinya”.
Sebaliknya, bagi
Aman Murni, tafsir merupakan symbol dari perjuangan para reformist. Seperti
yang beliau jelaskan kepada saya:
“Belanda tidak
akan membiarkan orang-orang untuk menginterpretasikan Al qur’an. Khutbah
semuanya dalam bahasa Arab, bukan bahasa Indonesia. Belanda diam-diam
mendengarkan setiap khutbah dan melaporkan siapa saja yang menterjemahkan
ayat-ayat dalam khutbah. Perlahan-lahan, dalam Muhammadiyah, kami mulai menterjemahkan
beberapa ayat kedalam bahasa Indonesia, pertama dalam kegiatan keagamaan, lalu
diakhir tahun 1930, disetiap khutbah Jumat. Tapi tetap saja harus memilih
ayat-ayat dengan sangat hati-hati. Qur’an mengingatkan orang tentang orang
kafir. Oleh karenanya Belanda sangat takut akan itu”.
Aman Murni mempertimbangkan
sumbangan pengetahuan tentang isi kitab suci merupakan suatu aksi politik. Saya
menemukan sedikit sokongan untuk interpretasi itu dari tingkah laku Belanda
terhadap modernist-modernist yang lain. Tapi bagi Aman Murni adalah penting
untuk menterjemahkan isi kitab suci agar bisa dibaca dengan bahasa sehari-hari
sebagai cara pencerahan agama. Tidaklah mengherankan bahwa Aman Murni, dimasa
dahulu, saat masih di PI telah menghabiskan waktu untuk mengawal interpretasi
(tafsir) Al Qur’an disekitar kota dan desa-desa. Ditahun 1980an Aman Murni memimpin
sesi diskusi di Mesjid Takengen setiap magrib menjelang Isya. Biasanya isyu
yang diangkat berkenaan dengan praktek-praktek keagamaan dan sejarah agama. Saya
ikut satu sesi di bulan Juni 1989:
“Sekitar 20 orang
laki-laki dan anak muda duduk di dekat Aman Murni setelah shalat isya. Jumlah
yang sama juga untuk ibu-ibu dan remaja putri yang duduk dibagian belakang,
terpisah dari laki-laki. Dipisahkan oleh kain yang dipasang dikawat. Aman Murni
duduk di kursi dengan Al-Qur’an diletakkan didepannya; jamaah yang lain
mengambil qur’an dari koleksi masjid. Lelaki yang lebih tua tahu dibagian mana
mereka menyelesaikan bacaan disesi terdahulu.
Malam itu Aman
Murni membaca surat An-Nisa ayat 97-104. Metode Aman Murni, membaca beberapa
kata, lalu memberikan terjemahan cepat dan menambahkan atau membubuhi
keterangan. Dibeberapa kasus beliau memberikan contoh. Ayat pertama dimulai
dengan complain satu grup kepada malaikat bahwa mereka tidak bisa menjalankan
agama dimana mereka berada, dan malaikat meresponnya dan berkata mereka harus
hijrah (pindah) ketempat lain. Aman Murni berkata bahwa situasi itulah yang
menyebabkan Tengku Hasbi Ash-Shiddiqy di Lhokseumawe (saat beliau mendirikan
sekolah Al-Irsyad); orang-orang tidak mau menerima ilmunya dan beliau tidak
bisa mengajar mereka, beliau lalu pindah ke Jakarta.
Sesi berikutnya
berbicara tentang memendekkan rakaat shalat. Aman Murni berbicara cukup panjang
tentang ini. Departemen agama telah menetapkan bahwa boleh memendekkan rakaat
shalat jika berada 60 kilometer jauhnya dari rumah. “Tapi kamu boleh
memendekkan rakaat shalat kamu jika kamu memerlukannya”, jelas Aman Murni,
seperti yang dilakukan oleh Rasulullah sat beliau mengendarai unta.
Aman Murni
menutup sesi malam itu dengan mengingatkan semua orang bahwa tujuan diskusi itu
adalah untuk memperluas ilmu yang sudah diperoleh. Setelah selesai berdiskusi
teh lalu disediakan sambil menunggu shalat isya berjamaah.
Dengan berubahnya
peradaban dari masa rasul hingga saat ini, tafsir dibutuhkan untuk menjembatani
pemahaman yang relevan dimasa rasul dulu untuk memecahkan persoalan keagamaan
sekarang. Tidak dibutuhkan interpretasi yang terlalu tinggi dari para ulama
untuk memperoleh ilmu ini.
Tengku Asaluddin,
Tengku Ali Salwany dan Aman Murni menggambarkan beberapa perbedaan yang jelas
dilakukan oleh para ulama Gayo di abad pertengahan. Topic yang mereka ajarkan
pada tahun 1930an berlanjut menjadi debat yang hidup pada tahun 1980an dan
perbedaan itu menyemarakkan kegiatan-kegiatan ilmiah. Ditahun 1989 dan 990
contyohnya, Ali Salwani mengadakan dua kali rapat bersama para ulama
membicarakan tentang talqin dan isu-isu tentang kenduri kematian. Kongres ini
dilakukan untuk mereformasi ritual local dan mengumpulkan kritik-kritik yang
diberikan oleh kelompok reformist. Perbedaan ini tidak menyebabkan terjadinya
konflik berdarah yang banyak ditakutkan orang.
