Kamis, 25 Februari 2021

Michelle Du Montaigne

 




Quebec, Kanada 2008; seorang perempuan berjilbab sedang berjalan dengan memegang kotak Mc. Donald yang baru dibelinya di sudut Parliament Hill (gedung parlemen Kanada). Tiba-tiba seorang laki-laki berkulit putih yang memakai jas hitam dan memegang payung menghampiri dan berkata ‘ you cannot eat that, it is haram!!”. Usai berkata iapun berlalu. Tinggal si perempuan sendirian, melongo. 

Adelaide, Australia 2009; di toilet perempuan di kampus, seorang perempuan berjilbab mendengar teman Indonesianya sedang diajar berwudhu yang benar oleh seorang perempuan Arab Saudi.


Apa hubungan dua kisah itu  dengan judul diatas? Saya akan mencoba membahasnya.


Montaigne adalah seorang Filusuf Perancis yang dianggap nyeleneh. Ia lahir tahun 1533. Diusia 38 tahun ia memtuskan untuk pension dari jabatannya sebagai walikotas Bordeaux. Ia dua kali menjabat sebagai Walikota di wilayah tersebut. Selain itu ia juga seorang pengacara dan sahabat dekat raja Perancis.

Montaigne memilih untuk pensiun dan menghabiskan waktunya untuk berfikir, merenung dan menulis buku. Awalnya ia kesulitan untuk menulis tentang apa, tapi kemudian memutuskan untuk menulis tentang dirinya. Dibukunya dia menulis ingin menjadi seperti apa. Dia ingin menjadi dirinya sendiri sebagai Michelle du Montaigne. Hal yang tidak disebut oleh banyak filusif lainnya adalah apa yang dilakukan oleh Montaigne. Dia mencoba merefleksikan bagaimana menkadi seorang manusia. Dalam bukunya, dia banyak menulis tentang –maaf- penisnya. Bagian tubuhn yang tidak pernah dibicarakan oleh filusuf lain, bahkan sering diedit oleh editor jika ada tulisan seperti itu karena dianggap tidak pantas untuk ditulis apalagi dibaca.

 

Montaigne berpendapat bahwa kita terperangkap dalam role model yang salah. Role itu tidak memberi tempat bagaimana sebanarnya kita ingin berperilaku, dan ini menyebabkan kita tidak bisa menerima tubuh kita sendiri. Oleh karenanya Montaigne memilih menulis hal-hal yang dianggap ‘sepele’ dalam kehidupan sehari-hari untuk membantu kita menerima keadaan tubuh kita sendiri. Karenanya dia sangat menganjurkan agar kita membandingkan kita dengan hewan yang ada dipekarangan rumah kita. Betapa, menurut Montaigne, hewan bisa menerima dirinya sendiri, mengapa kita tidak.

 

Jika Filusuf yang lain menganggap bahwa otak membuat kita bahagia, tidak demikian dengan Montaigne. Menurutnya, otak malah membuat kita menjadi tidak bahagia. Dan salah satu hal tersebut adalah karena kita membandingkan tubuh kita dengan tubuh orang lain. Tidak seperti binatang, kita sering sekali merasa jijik dengan tubuh kita sendiri. Kita merasa terlalu gemuk sehingga menyebabkan eating disorder. Montaigne melihat sendiri bagaimana seorang bangsawan bunuh diri hanya karena –maaf- kentut saat acara makan malam. Montaigne tau masalahnya. Ini karena bagian tubuh tersebut jarang sekali muncul ditempat umum, dan tidak pernah disebut-sebut dalam buku filosophi manapun. Oleh karenanya kita merasa bahwa bagian tersebut adalah bagian tubuh yang memalukan. Karenanya dia berpendapat bahwa karena didalam tubuh kita juga terdapat sebagian tubuh binatang, maka terimalah dia apa adanya.

 

Hal lain adalah Montaigne berbicara tentang perasaan tidak nyaman karena sekeliling kita menghakimi kita, apakah itu budaya ataupun kebiasaan orang-orang disekeliling kita. Saat mengikuti program Kapal pemuda ASEAN-Jepang tahun 1996, saya terkaget-kaget mengetahui bahwa perempuan-perempuan (dan laki-laki) Jepang mandi di bath tub tanpa menggunakan benang sehelaipun alias telanjang. Begitu juga saat saya berkuliah di Thailand tahun 2003 saya terkejut melihat perempuan memasuki wat (candi) hanya dengan baju ‘u can see’. Dalam kehidupan saya yang dibesarkan dengan tradisi muslim, mengunjungi tempat ibadah haruslah dengan pakaian yang sopan yaitu meski tidak menggunakan jilbab tapi pakailah pakaian yang menutup lengan dan kaki. Tapi yang saya lihat di Thailand itu sangat berbeda dengan apa yang saya alami sepanjang hidup saya. Ini yang kemudian membuat saya berfikir saat itu bahwa perempuan Thailand sangat tidak sopan memasuki rumah ibadah mereka sendiri. Padahal dalam hal ini, saya dibesarkan dengan konteks yang berbeda dan perempuan Thailand juga dibesarkan dengan konteks yang berbeda, sehingga saya tidak punya hak untuk menghakimi perempuan Thailand dengan konteks yang saya alami.

Menurut Montaigne, memiliki ‘big brain’ ternyata juga membuat kita arogan dan merasa bahwa kita tahu apa yang benar dan memaksakan kebenaran yang kita yakini pada orang lain. Setiap masyarakat mempunyai kebenarannya sendiri tentang apa yang baik untuk mereka makan, mereka pakai dan mereka katakan. Misalnya saja, pernah pemerintah Indonesia memaksakan penduduk di daerah pedalaman untuk memakai baju. Menurut pemerintah kala itu, tidak memakai baju itu tidak pantas. Begitu juga dengan apa yang dilakukan Columbus pada penduduk Indian, saat Columbus, si penjelajah Spanyol itu menduduki benua Amerika. 40 tahun sebelum Montaigne dilahirkan, Columbus menemukan benua Amerika dan membunuh orang-orang Indian yang awalnya berjumlah 80 juta jiwa menjadi hanya 10 juta jiwa saja. Banyak orang berpendapat bahwa pembunuhan itu dilakukan karena keinginan untuk menguasai tanah-tanah suku Indian. Tapi dalam pandangan Montaigne apa yang dilakukan itu adalah karena tidak adanya pemahaman toleransi dan memaksakan apa yang sesuai menurut Columbus pada orang-orang Indian. Jangan lupa, Columbus saat itu datang sebagai seorang explorer (penjelajah) untuk menemukan daerah baru. Saat itu, bagi setiap penjelajah (dan Penjajah) dikenal slogan tiga G yaitu Gold, Glory and Gospel; emas, kemenangan dan penyebaran aqidah. Dimanapun para penjajah tersebut selain membawa tentara mereka juga membawa pastor. Fungsi pastor yang dibawa, selain sebagai penyegar rohani para tentara dan pejabat negara yang ikut dalam ekspedisi tersebut, juga menyebarkan agama yang dianut para penjajah pada penduduk lokal. Kebanyakan para penjajah tersebut adalah beragama katolik dan banyak dari mereka yang menjadi penganut katolik yang taat. Katolik yang taat disini maksudnya adalah mereka yang meyakini bahwa budaya merekalah yang benar, sehingga orang-orang diluar budaya mereka dianggap salah. Oleh karenanya menurut mereka, tidak salah untuk membunuh orang-orang yang tidak sama dengan ‘kita’ seperti orang-orang Indian tadi. Inilah mengapa Montaigne menduga bahwa pembunuhan yang dilakukan itu bukan hanya karena ingin menguasai tanah-tanah orang Indian, tapi karena keinginan memaksakan apa yang sesuai menurut Columbus kepada orang Indian.

Kembali kepada statement saya saat berkunjung ke Thailand dan melihat perempuan yang tidak memakai baju yang ‘pantas’ untuk memasuki wat. Saat itu saya telah berprasangka dan menghakimi si perempuan dengan mengatakan (dalam hati) perempuan itu salah memasuki wat dengan menggunakan pakaian ‘you can see’. Lalu, apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan prasangka? Jawabannya adalah pergilah berjalan-jalan. Lihat dan kenali budaya dan kebiasaan orang lain. Harus diakui bahwa setiap kultur mempunyai prasangka buruk terhadap budaya yang lain. Tapi dengan berjalan-jalan, melihat budaya orang lain, maka akan menghilangkan prasangka buruk tersebut. Montaigne tidak menganjurkan untuk mencampuri budaya-budaya yang ada, tapi dia menekankan bahwa setiap budaya sama baiknya.

Dengan semangat inilah, saya mencoba untuk menjelajah, melihat dan membandingkan budaya orang lain. Membandingkan disini tidak berarti mencari perbedaan untuk menghakimi, tapi untuk mencoba mencari kesamaannya sehingga saya bisa memahami budaya mereka.

Untuk itu, saya perlu melakukan apa yang disebut dengan ‘get your hand dirty’, terlibat dalam kehidupan mereka dan belajar dari mereka. Dengan cara demikian saya juga menjelaskan tentang budaya dan agama saya pada mereka.

Untuk menutup kuliah umum ini, saya ingin mengutip apa yang dikatakan oleh Julia Suryakusuma, seorang columnist di the Jakarta Post. Katanya “the shock that result from pain is meant to trigger a new awareness. Unfortunately, many people choose to become angry and offended, and then close up in a defensive posture. This is much easier than reflecting, because a new awareness often entails us to change our attitude in life. And change is painful, even when it leads to something better” (kejutan yang disebabkan oleh rasa sakit dimaksudkan untuk memicu kesadaran baru. Sayangnya, banyak orang memilih menjadi marah dan tersinggung, dan kemudian menutup diri dengan postur bertahan. Ini jauh lebih mudah daripada merefleksikan diri/merenung, karena kesadaran baru sering kali menuntut kita untuk mengubah sikap kita dalam hidup. Dan perubahan itu menyakitkan, bahkan saat itu mengarah pada sesuatu yang lebih baik ").

Dari uraian yang sedemikian panjang ini, apakah anda menemukan kesamaan dengan dua kejadian di Quebec dan di Adelaide?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar