Sabtu, 06 Februari 2021

DESA PANCASILA

 


Keren kan nama desanya? Nama desa ini adalah pemberian dari Bupati Jember tahun 2018 lalu. Ini dikarenakan di desa tersebut terdapat 4 jenis agama yang hidup rukun. Saya mengetahui desa ini dari proposal penelitian mahasiswa untuk skripsinya. Saya tertarik untuk tau lebih banyak lagi dan meminta mahasiswa tersebut untuk menemani saya ke desa tadi.

Kami merencanakan untuk datang di hari libur supaya tidak mengganggu aktivitas kami. Saya memutuskan untuk datang di hari Sabtu saja agar lebih santai. Karena lokasinya yang jauh (sekitar 1,5 jam naik mobil) saya memutuskan untuk menyewa mobil dan driver sekalian, karena saya tidak berani naik motor. Nomor kontak untuk menyewa mobil saya dapat dari Amri, dosen UNMUH yang orang Gayo itu. Awal tahun lalu kami pergi arisan ke daerah Wuluhan dan menyewa mobil dari orang yang sama.

Saya dan mahasiswa tadi sepakat untuk berangkat jam 10 pagi dari kampus, jadi saya arahkan mobil untuk menuju ke kampus juga.

Perjalanan kami menuju desa itu ternyata melewati jalan besar menuju Surabaya. Jalan ini adalah satu-satunya jalan besar menuju ke Surabaya sehingga lalu lintasnya padat sekali. Belum lagi jalannya yang sempit. Saya tidak membayangkan kalau saya harus naik motor dijalan ini. Ga kebayang saya harus rebutan sepetak jalan dengan bus, truk, mobil dan motor lainnya. Hiiiii.....

Desa itu bernama desa Suko Reno. Dalam bahasa Jawa berarti Suka Keragaman. Pas sekali dengan situasi desa yang memang beragam dalam hal agama. Di desa tersebut terdapat 4 jenis agama yaitu Islam,Katolik, Hindu dan Sapto Dharmo yaitu agama kepercayaan lokal. Di salah satu gang di desa tersebut, yaitu di gang 2, terdapat 2 rumah ibadah yang berdiri tidak begitu berjauhan.

Pertama sampai di gang itu, kami berhenti di depan sebuah kuil Hindu Bali. Kuil ini beda sekali dengan kuil yang ada di Banda Aceh. Kuil Hindu Bali ini disebut dengan pure, sedangkan di Banda Aceh kuil itu tetap disebut dengan kuil. Di Banda Aceh sebenarnya terdapat dua kuil Hindu, namun sekarang hanya tersisa satu. Menurut pengurus kuil tadi, pak Rada, karena jumlah pemeluk agama Hindu di Banda Aceh yang berkurang menyebabkan mereka tidak bisa mengurusi kedua kuil tad. Akhirnya kuil itu dijual dan sekarang telah berubah wujud menjadi rumah hunian. Pemeluk agama Hindu di Banda Aceh berkurang, akibat konflik yang terjadi di tahun 1976 sampai berhenti ditahun 2005 karena adanya MoU antara pemerintah Indonesia dan pihak GAM. Hindu Bali dan Hindu Tamil (yang ada di Aceh) juga berbeda dalam pelaksanaan hari raya keagamaannya. Jika di Bali dikenal dengan hari raya Nyepi, hari Saraswati, Galungan dan Kuningan maka Hindu Tamil mengenal hari raya Taipusam dan Devapali.

Kembali ke desa Suko Reno, setelah melihat-lihat di kuil, kami mengunjungi gereja Katolik yang bersebelahan dengan SD Katolik yang masih satu jalan dengan kuil tadi. Gereja ini bernama Gereja Santa Maria Tak Bernoda. Sebelum memasuki wilayah gereja, kami meminta izin dulu pada pengurus gereja yang rumahnya tidak jauh dari gereja tadi. Setelah beliau mengizinkan, kami lalu masuk ke pekarangan gereja. Bangunan gereja tertutup rapat. Ada flyer, yang di pasang di pintu depan yang menginfokan akan pemilihan ketua gereja. Menariknya, salah seorang yang menjadi kandidat bernama I Wayan. Ini mengingatkan saya pada penbimas Hindu yang ada di Banda Aceh. Namanya sangat Batak tapi dia beragama Hindu. Menarik sekali.

Dibagian belakang terdapat satu gedung yang baru dibuat, tapi saya tidak tau fungsinya apa. Sepertinya ingin dijadikan semacam gua Maria.

Dari gedung gereja tadi kami berpindah ke rumah pak Ris, si pengurus gereja. Ia ternyata guru di SD Katolik, bersama istrinya, ibu Rina. Ibu Rina adalah penduduk asli desa Suke reno, sedangkan pak Ris adalah orang Jawa yang sudah besar di Palembang. Mereka bertemu ketika sama-sama menempuh pendidikan seminari di Malang. Ketika menikah ditahun 1990an mereka memutuskan untuk tinggal di desa kelahiran ibu Rina. Pak Ris juga dipercayai sebagai anggota FKUB  di desanya.

Kami banyak mengobrol tentang kehidupan antar umat beragama di desa tersebut. Menurut bu Rina, belum pernah mereka mengalami diskriminasi karena mereka minoritas. Menariknya adalah apa yang beliau katakan tentang kehidupan beragama di desa ini. Kata Bu Rina, sangat biasa bagi muslim untuk datang pas misa Natal malam 24 Desember ke gereja. Orang-orang muslim ini tidak ikut beribadah, tetapi mereka menyaksikan acara persembahyangan itu. Selain itu ada banser NU yang menjaga gereja mereka dengan cara berjaga di luar gereja pada saat Misa Natal.

Bu Rina juga bercerita bagaimana sekolah mereka menyediakan guru-guru yang mengajar agama bagi murid-murid yang bersekolah disitu. Mereka mempunyai guru agama Islam dan agama Hindu; agama minoritas yang dipeluk oleh murid-murid di SD Katolik itu. Murid-murid mereka yang muslim ada yang sampai hafal Hadist sampai 100 dan melanjutkan sekolah mereka di Alqodiri, pesantren besar yang ada di Jember ini. Pihak pesantren salut pada murid SDK yang masuk ke pesantren mereka karena bisa menghafal hadist yang dipesantren sendiri belum tentu ada yang sampai hafal sampai 100. Karena kepintaran ini, keluarga-keluarga muslim yang lain juga menyekolahkan anak-anak mereka di SDK ini. Tapi mayoritas muslim yang bersekolah disitu adalah mereka yang masih bertalian darah seperti adik atau sepupu.




Di Gang 2 tersebut kami melihat dua kuil Hindu Bali dan satu gereja Katolik. Sayangnya kami tidak sempat melihat ke mesjid (saya sendiri tidak tau mesjidnya ada di gang berapa). Bagi para pemeluk agama Hindu di desa tersebut, mereka memiliki semacam tempat untuk sembahyang yang dibuat dari batu yang diletakkan di depan rumah mereka. Ini mengingatkan saya pada rumah-rumahan kecil di depan rumah para pemeluk agama Buddha di Thailand. Hampir di setiap rumah di Thailand, bagi mereka yang memeluk agama Buddha, kita bisa temukan semacam rumah kecil di depan setiap rumah yang fungsinya untuk bersembahyang. Tempat sembahyang di depan rumah para pemeluk agama Hindu di desa ini juga mengingatkan saya pada Palang Salib raksasa (biasanya 3 palang salib) yang dipasang di depan rumah penduduk di daerah NTT, ketika saya berkunjung di tahun 2018 lalu. Bagi saya, ini mengkhawatirkan sekali. Jika saja terjadi konflik antar agama, maka rumah-rumah mereka yang mempunyai simbol ini adalah sasaran empuk yang akan diserang, karena simbol agama yang mereka miliki itu. Tentang penyerangan rumah yang mempunyai simbol-simbol agama, dituliskan dalam artikel Jacky Manuputy 'Dari Tarian Perang ke Tarian Damai' dimana dalam tulisan tersebut Jacky menceritakan kasus perang antara Islam dan Kristen di Maluku Utara. Dalam tulisan itu Jacky mengisahkan bahwa rumah-rumah tentara, meski dalam kompleks, dilempari orag-orang, karena terlihat adanya gambar Yesus di dalam rumah, karena terlihat dari jendela yang terbuka (Jacky Manuputty, hal. 20). 

Kami juga sempat mengunjungi satu tempat peribadatan komunitas agama lokal yaitu pemeluk agama Sapta Dharma. Ketika mengunjungi tempat tersebut, saya kesulitan berkomunikasi dengan bapak yang menjaga disitu, karena ia berbicara dalam bahasa Jawa. Untung mahasiswa saya bisa menerjemahkan kata yang saya tidak mengerti. Sibapak bilang bahwa agama ini berkembang pertama sekali di Pare, Jawa Timur pada tahun 1952. Berkembang sampai ke desa Suko Reno sejak tahun 1970an. Awalnya pengikut agama lokal ini sebanyak 70an orang , namun sekarang menyusut hanya sebanyak 25 orang, bahkan pernah hanya sebanyak 10 orang saja. Mereke berkumpul dan berdo’a pada malam Jumat di ruangan kecil di belakang rumah milik si bapak. Sebenarnya mereka ingin sekali mendirikan tempat ibadah mereka, namun karena pengikutnya yang sangat sedikit, mereka tidak mendapatkan izin dari pemerintah karena ada aturan pendirian rumah ibadah dimana UU itu mengatakan harus ada pengumpulan KTP pengguna rumah ibadah tersebut sebanyak 90 orang dan KTP dari masyarakat sekitar yang bukan pengguna rumah ibadah tadi sebanyak 60 orang dan disahkan oleh pemerintah setempat.

Banyak yang mengatakan bahwa toleransi bukan dipelajari, melainkan dialami, maka desa ini adalah salah satu contoh betapa sebenarnya merawat keberagaman dan menjaga toleransi itu mudah saja. Sepanjang kita mau terbuka dan menerima apa yang berbeda dari kita. Perbedaan tersebut akan menghadirkan pengalaman bagi masyarakat disekitar tersebut yang beragam, lalu akan menjadi norma kehidupan mereka dan akan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal-hal yang dianggap kecil seperti ini sebanarnya mutlak diperlukan di tengah Indonesia yang sangat beragam ini. Jika tidak bisa menerima perbedaan seperti desa Suko Reno ini, maka kita akan sangat mudah untuk dipecah belah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar