Keren kan nama desanya? Nama desa ini
adalah pemberian dari Bupati Jember tahun 2018 lalu. Ini dikarenakan di desa
tersebut terdapat 4 jenis agama yang hidup rukun. Saya mengetahui desa ini dari
proposal penelitian mahasiswa untuk skripsinya. Saya tertarik untuk tau lebih
banyak lagi dan meminta mahasiswa tersebut untuk menemani saya ke desa tadi.
Kami merencanakan untuk datang di hari
libur supaya tidak mengganggu aktivitas kami. Saya memutuskan untuk datang di
hari Sabtu saja agar lebih santai. Karena lokasinya yang jauh (sekitar 1,5 jam
naik mobil) saya memutuskan untuk menyewa mobil dan driver sekalian, karena
saya tidak berani naik motor. Nomor kontak untuk menyewa mobil saya dapat dari
Amri, dosen UNMUH yang orang Gayo itu. Awal tahun lalu kami pergi arisan ke
daerah Wuluhan dan menyewa mobil dari orang yang sama.
Saya dan mahasiswa tadi sepakat untuk
berangkat jam 10 pagi dari kampus, jadi saya arahkan mobil untuk menuju ke
kampus juga.
Perjalanan kami menuju desa itu
ternyata melewati jalan besar menuju Surabaya. Jalan ini adalah satu-satunya
jalan besar menuju ke Surabaya sehingga lalu lintasnya padat sekali. Belum lagi
jalannya yang sempit. Saya tidak membayangkan kalau saya harus naik motor
dijalan ini. Ga kebayang saya harus rebutan sepetak jalan dengan bus, truk,
mobil dan motor lainnya. Hiiiii.....
Desa itu bernama desa Suko Reno. Dalam
bahasa Jawa berarti Suka Keragaman. Pas sekali dengan situasi desa yang memang
beragam dalam hal agama. Di desa tersebut terdapat 4 jenis agama yaitu Islam,Katolik,
Hindu dan Sapto Dharmo yaitu agama kepercayaan lokal. Di salah satu gang di
desa tersebut, yaitu di gang 2, terdapat 2 rumah ibadah yang berdiri tidak
begitu berjauhan.
Kembali ke desa Suko Reno, setelah
melihat-lihat di kuil, kami mengunjungi gereja Katolik yang bersebelahan dengan
SD Katolik yang masih satu jalan dengan kuil tadi. Gereja ini bernama Gereja
Santa Maria Tak Bernoda. Sebelum memasuki wilayah gereja, kami meminta izin
dulu pada pengurus gereja yang rumahnya tidak jauh dari gereja tadi. Setelah
beliau mengizinkan, kami lalu masuk ke pekarangan gereja. Bangunan gereja
tertutup rapat. Ada flyer, yang di pasang di pintu depan yang menginfokan akan
pemilihan ketua gereja. Menariknya, salah seorang yang menjadi kandidat bernama
I Wayan. Ini mengingatkan saya pada penbimas Hindu yang ada di Banda Aceh.
Namanya sangat Batak tapi dia beragama Hindu. Menarik sekali.
Dibagian belakang terdapat satu gedung
yang baru dibuat, tapi saya tidak tau fungsinya apa. Sepertinya ingin dijadikan
semacam gua Maria.
Dari gedung gereja tadi kami berpindah
ke rumah pak Ris, si pengurus gereja. Ia ternyata guru di SD Katolik, bersama
istrinya, ibu Rina. Ibu Rina adalah penduduk asli desa Suke reno, sedangkan pak
Ris adalah orang Jawa yang sudah besar di Palembang. Mereka bertemu ketika
sama-sama menempuh pendidikan seminari di Malang. Ketika menikah ditahun 1990an
mereka memutuskan untuk tinggal di desa kelahiran ibu Rina. Pak Ris juga
dipercayai sebagai anggota FKUB di
desanya.
Kami banyak mengobrol tentang
kehidupan antar umat beragama di desa tersebut. Menurut bu Rina, belum pernah
mereka mengalami diskriminasi karena mereka minoritas. Menariknya adalah apa
yang beliau katakan tentang kehidupan beragama di desa ini. Kata Bu Rina,
sangat biasa bagi muslim untuk datang pas misa Natal malam 24 Desember ke
gereja. Orang-orang muslim ini tidak ikut beribadah, tetapi mereka menyaksikan
acara persembahyangan itu. Selain itu ada banser NU yang menjaga gereja mereka
dengan cara berjaga di luar gereja pada saat Misa Natal.
Bu Rina juga bercerita bagaimana
sekolah mereka menyediakan guru-guru yang mengajar agama bagi murid-murid yang
bersekolah disitu. Mereka mempunyai guru agama Islam dan agama Hindu; agama
minoritas yang dipeluk oleh murid-murid di SD Katolik itu. Murid-murid mereka
yang muslim ada yang sampai hafal Hadist sampai 100 dan melanjutkan sekolah
mereka di Alqodiri, pesantren besar yang ada di Jember ini. Pihak pesantren
salut pada murid SDK yang masuk ke pesantren mereka karena bisa menghafal
hadist yang dipesantren sendiri belum tentu ada yang sampai hafal sampai 100. Karena
kepintaran ini, keluarga-keluarga muslim yang lain juga menyekolahkan anak-anak
mereka di SDK ini. Tapi mayoritas muslim yang bersekolah disitu adalah mereka
yang masih bertalian darah seperti adik atau sepupu.
Di Gang 2 tersebut kami melihat dua
kuil Hindu Bali dan satu gereja Katolik. Sayangnya kami tidak sempat melihat ke
mesjid (saya sendiri tidak tau mesjidnya ada di gang berapa). Bagi para pemeluk
agama Hindu di desa tersebut, mereka memiliki semacam tempat untuk sembahyang
yang dibuat dari batu yang diletakkan di depan rumah mereka. Ini mengingatkan
saya pada rumah-rumahan kecil di depan rumah para pemeluk agama Buddha di
Thailand. Hampir di setiap rumah di Thailand, bagi mereka yang memeluk agama
Buddha, kita bisa temukan semacam rumah kecil di depan setiap rumah yang
fungsinya untuk bersembahyang. Tempat sembahyang di depan rumah para pemeluk
agama Hindu di desa ini juga mengingatkan saya pada Palang Salib raksasa (biasanya
3 palang salib) yang dipasang di depan rumah penduduk di daerah NTT, ketika
saya berkunjung di tahun 2018 lalu. Bagi saya, ini mengkhawatirkan sekali. Jika
saja terjadi konflik antar agama, maka rumah-rumah mereka yang mempunyai simbol
ini adalah sasaran empuk yang akan diserang, karena simbol agama yang mereka
miliki itu. Tentang penyerangan rumah yang mempunyai simbol-simbol agama, dituliskan dalam artikel Jacky Manuputy 'Dari Tarian Perang ke Tarian Damai' dimana dalam tulisan tersebut Jacky menceritakan kasus perang antara Islam dan Kristen di Maluku Utara. Dalam tulisan itu Jacky mengisahkan bahwa rumah-rumah tentara, meski dalam kompleks, dilempari orag-orang, karena terlihat adanya gambar Yesus di dalam rumah, karena terlihat dari jendela yang terbuka (Jacky Manuputty, hal. 20).
Kami juga sempat mengunjungi satu
tempat peribadatan komunitas agama lokal yaitu pemeluk agama Sapta Dharma.
Ketika mengunjungi tempat tersebut, saya kesulitan berkomunikasi dengan bapak
yang menjaga disitu, karena ia berbicara dalam bahasa Jawa. Untung mahasiswa
saya bisa menerjemahkan kata yang saya tidak mengerti. Sibapak bilang bahwa agama
ini berkembang pertama sekali di Pare, Jawa Timur pada tahun 1952. Berkembang
sampai ke desa Suko Reno sejak tahun 1970an. Awalnya pengikut agama lokal ini
sebanyak 70an orang , namun sekarang menyusut hanya sebanyak 25 orang, bahkan
pernah hanya sebanyak 10 orang saja. Mereke berkumpul dan berdo’a pada malam
Jumat di ruangan kecil di belakang rumah milik si bapak. Sebenarnya mereka
ingin sekali mendirikan tempat ibadah mereka, namun karena pengikutnya yang
sangat sedikit, mereka tidak mendapatkan izin dari pemerintah karena ada aturan
pendirian rumah ibadah dimana UU itu mengatakan harus ada pengumpulan KTP
pengguna rumah ibadah tersebut sebanyak 90 orang dan KTP dari masyarakat
sekitar yang bukan pengguna rumah ibadah tadi sebanyak 60 orang dan disahkan oleh
pemerintah setempat.
Banyak yang mengatakan bahwa toleransi
bukan dipelajari, melainkan dialami, maka desa ini adalah salah satu contoh
betapa sebenarnya merawat keberagaman dan menjaga toleransi itu mudah saja.
Sepanjang kita mau terbuka dan menerima apa yang berbeda dari kita. Perbedaan tersebut
akan menghadirkan pengalaman bagi masyarakat disekitar tersebut yang beragam, lalu
akan menjadi norma kehidupan mereka dan akan dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari. Hal-hal yang dianggap kecil seperti ini sebanarnya mutlak
diperlukan di tengah Indonesia yang sangat beragam ini. Jika tidak bisa
menerima perbedaan seperti desa Suko Reno ini, maka kita akan sangat mudah
untuk dipecah belah.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar