Senin, 08 April 2019

Konflik di Tanah Terra Nullis




Mungkin banyak yang tidak tau bagaimana orang kulit putih bisa datang ke benua Australia. Kebetulan ada teman dari Australia yang datang ke Aceh, saya lalu memintanya untuk masuk kekelas dan menceritakan ke murid-murid apakah ada konflik yang terjadi di antara orang kulit putih dan suku asli, Aborigin.

Dikelas, ia menceritakan banyak hal. Menurutnya, selama ini orang di luar Australia hanya melihat satu suku aborigin saja, padahal terdapat 300 suku dan mereka tersebar di seluruh Australia. Namun ketika Inggris mendarat pertama sekali pada tanggal 26 Januari (yang kemudian dijadikan sebagai hari Australian Day, yaitu peringatan seperti peringatan 17 Agustusnya Indonesia) mereka menganggap daerah tersebut sebagai tanah kososng karena tidak ada gedung dan bangunan disitu, sehingga dianggap sebagai tanah kosong (Terra Nullis) atau daerah yang tidak punya peradaban. Benua ini ditemukan oleh James Cook pada tanggal 26 Januari 1788.

Pelaut Inggris yang pertama masuk kesini menggunakan cara pandang mereka sendiri untuk melihat tanah Australia tersebut. Dalam konsep mereka, tanah yang berperadaban adalah yang mempunyai gedung, taman dll, namun mereka tidak mengetahui bahwa Aborigin juga mempunyai konsep sendiri. Berbeda dengan kulit putih yang menandai tanah mereka dengan pagar, komunitas Aborigin ini berpindah-pindah. Mereka tidak mempunyai konsep seperti itu, sehingga kesannya tanah itu tidak bertuan. Selain itu Aborigin juga tinggal di dalam gua, bukan di rumah. Ini yang menyebabkan saat datang ke benua Australia, pelaut Inggris menyebutnya dengan “Terra Nullis” yaitu tanah kosong.

Selain dengan penguasaan terhadap tanah dan sumber daya yang ada, para pendatang ini, setelah menetap, membuat peraturan bahwa harus ada komunitas kulit putih dibenua itu. Artinya, orang-orang Aborigin ini harus dihilangkan. Karenanya keluarlah peraturan dimana anak-anak Aborigin diculik dan dididik dengan cara Kristen (baik Katolik maupun Protestan). Lama kelamaan, anak-anak yang dididik dengan cara ini kehilangan identitas mereka. Mereka tidak lagi bisa berbahasa ibu, melainkan sudah berbahasa Inggris. Untuk mengenyahkan para Aborigin ini, pemerintah juga melakukan pemaksaan dengan menikahkan perempuan-perempuan Aborigin dengan laki-laki kulit putih, sehingga anak-anak mereka akan terlahir berkulit lebih putih. Ejekan untuk anak-anak kelahiran campuran ini adalah ‘Creamy’, artinya anak-anak campuran Aborigin dan kulit putih.

Tidak hanya di Indonesia saja orang-orang menghargai mereka yang berdarah biru atau totok. Di Australia juga begitu. Sehingga anak-anak yang mempunyai darah campuran ini dipandang sebelah mata dan diejek dengan sebutan “creamy” tadi. Selain itu mereka menjadi kehilangan identitas, siapa mereka sebenarnya? Dibilang orang kulit putih, bukan. Dibilang kulit hitam(Aborogin) juga bukan. Mereka kehilangan semuanya, budaya, cara berpakaian dan bahasa. Padahal jika kita kehilangan bahasa maka otomatis kita akan kehilangan budaya, karena pelaksanaan budaya dilakukan dengan menuturkannya dengan bahasa ibu.

Tentang kehilangan identitas, ini mengingatkan saya pada apa yang dikatakan oleh Jamie Aditya, DJ MTV berdarah campuran Australia dan Indonesia. Ia pernah mengatakan disalah satu acara tivi bagaimana dia kehilangan identitas. Ia bingung tentang dirinya, apakah dia Australia atau Indonesia. Ketika orang-orang di Indonesia yang mempunyai orang tua salah satu dari Medan dan satu lagi dari Padang, mereka tidak merasa kehilangan identitas karena tampilan orang tua mereka hampir sama, berkulit coklat dan masih berasal dari Indonesia juga. Tapi kasusnya akan berbeda ketika orang tuanya yang satu berasal dari Australia, misalnya dan satu lagi dari Aceh, maka si anak akan mengalami krisis identitas, karena merasa berpostur dan berkulit berbeda dengan anak-anak dimana ia tinggal.

Tentang identitas ini juga mengingatkan saya pada salah satu scene di film Green Book. Doc Shirley (yang diperankan oleh Mahersala Ali) berkata bahwa ia bingung dengan identitasnya. Ia adalah laki-laki berkulit hitam yang dididik dengan cara orang kulit putih. Ia berpakaian jas, belajar bermain piano. Ternyata Doc di didik bermain piano oleh orang-orang kulit putih bukan dengan tujuan untuk memperkenalkan budaya kulit putih, tapi untuk dipertontonkan pada orang-orang kulit putih bahwa Doc yang berkulit hitam ini telah berhasil dididik dengan cara kulit putih. Dalam realitanya, Doc hanya dihargai untuk permainan pianonya yang luar biasa, tapi ketika permaian selesai, ia menjadi orang kulit hitam yang tidak dihargai. Dalam salah satu scene ditunjukkan bagaimana Doc diberi ruang penyimpanan sapu ketika ia akan bersalin pakaian untuk pentas. Doc juga tidak diizinkan menggunakan toilet yang dipakai orang-orang kulit putih sebelum acara pertunjukkan Doc dilakukan. Begitu juga ketika sebelum pertunjukan dilakukan, Doc tidak diizinkan makan di meja makan yang dikhususkan untuk kulit putih.

Bagi masyarakat kulit putih Australia, tanggal 26 Januari di peringati sebagai hari Australian Day, hari dimana pelaut Inggris pertama sekali berlabuh di Australia, sehingga dianggap sebagai hari kedatangan ke benua Australia. Tapi bagi orang-orang indigenous, tanggal itu adalah tanggal dimana tanah mereka dijajah, disebut sebagai Invasion Day (https://tirto.id/australia-day-adalah-sejarah-invasi-kulit-putih-atas-aborigin-dfpr). Peringatan 26 Januari ini dilihat dengan dua cara pandang yang berbeda. Satu sisi dilihat dari komunitas kulit putih dan satu lagi dari komunitas Aborigin. 

Dikutip dari tulisan Ravando Lie di Tirto.Id, Laporan the Guardian mengatakan bahwa anak-anak Aborigin lebih rentan 25 kali dipenjara dibandingkan anak-anak kulit putih. Tingkat kematian anak-anak abotogin lebih tinggi dibandingkan yang non-aborigin. Diskriminasi kesehatan terhadap indegenious people menyebabkan mereka berumur 10 tahun lebih pendek dibandingkan non aborigin. 

Berkurangnya jumlah populasi orang Aborigin juga disebabkan karena penyakit yang dibawa oleh orang-orang kulit putih. Sebagai sebuah benua, Australia sangat terpencil dan terpisah dari kehidupan yang lain. Pada masa pendudukan kulit putih itu, bibit penyakit yang dibawa oleh orang kulit putih ke benua tersebut sangat mudah menyebar pada orang-orang Aborigin. Kalau ada bibit penyakit, maka hanya akan ada disitu saja, tidak terbawa keluar dan itu menyerang imun system dari orang-orang Aborigin. Karena penyakit ini bukan penyakit yang familiar dialami orang-orang Aborigin menyebabkan mereka tidak tau mereka kena apa, sehingga tidak tau mencari obatnya. Akibatnya merekapun meninggal. Menurut CNN Indonesia, jumlah Indigenous Australia hanya tersisa 470 ribu dari 23 juta penduduk Australia (https://www.cnnindonesia.com/internasional/20150707145437-113-64944/australia-akan-mengakui-aborigin-dalam-konstitusi-pada-2017).  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar