Tadi
malam saya berkesempatan bertemu dengan salah seorang pendeta dari Singkil.
Kebetulan beliau sedang mengikuti kegiatan yang diadakan oleh kementrian Agama
Provinsi di Banda Aceh.
Kami
ngobrol tentang apa yang terjadi di Singkil beberapa tahun lalu yang imbasnya
sampai saat ini tidak selesai-selesai.
Saya
ceritakan dulu ya apa yang terjadi di tahun 2015 lalu. Ketika itu serombongan
massa mendatangi sebuah gereja dan membakarnya. Ternyata gereja yang ingin
mereka robohkan adalah gereja atas nama Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi
(GKPPD). Menurut massa tersebut, sudah terlalu banyak gereja di Singkil,
sedangkan Aceh adalah daerah Syariat Islam yang berarti tidak boleh ada banyak
gereja. Massa yang terbakar emosi rencananya mendatangi gereja-gereja atas nama
GKPPD, namun ternyata mereka mendatangi gereja yang salah. Atas nama semua
gereja mereka rusak. Ketika melihat gereja Katolik, gereja itu mereka rusak. Ketika
melihat gereja Huria Kristen Indonesia (HKI), mereka bakar. Padahal sebenarnya
yang mereka cari adalah gereja GKPPD.
GKPPD
adalah gereja pecahan dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Gereja HKBP
sudah dikenal di Aceh, tidak hanya di Aceh Singkil, tapi diseluruh Aceh. Namun
karena GKPPD tidak melaporkan bahwa mereka telah berdiri sendiri tanpa dengan
HKBP, membuat orang-orang tidak mengenal GKPPD. Sehingga, masyarakat bawah
menjadi begitu mudah dihasut dengan kata-kata ‘telah terjadi Kristenisasi di
Aceh Singkil karena banyak sekali gereja’. Akibatnya mudah diterka, rakyat
marah dan mereka menyerang gereja.
Selain
karena isu Kristenisasi, masyarakat juga keukuh mengatakan bahwa di Aceh
Singkil hanya boleh punya 1 gereja dan 4 undung-undung. Ini merupakan kesepakatan
yang dibuat pada tahun 1979. Namun sekarang jumlah gereja menjadi banyak
sehingga masyarakat tidak bisa menerima.
Bagi
saya, penambahan gereja itu tentu saja rasional, karena jumlah penduduk
bertambah sehingga tentunya perlu penambahan rumah ibadah juga. Namun,
pembangunan gereja di Singkil masih menjadi isu yang sensitive sehingga
pembangunannya juga terkesan dipersulit.
Secara
nasional, pembangunan rumah ibadah memerlukan persetujuan baik oleh pengguna
maupun oleh penduduk sekitar yang lain, yang bukan pemeluk agama rumah ibadah
tadi. Di nasional dibutuhkan 90 KTP pengguna dan 60 KTP dari yang non pengguna.
Namun di Aceh, peraturan ini lebih ketat lagi karena ada peraturan tambahan
yang dikeluarkan oleh Gubernur. Di Aceh, ketika mendirikan rumah ibadah salah
satu syaratnya adalah 150 KTP pengguna dan 120 KTP warga setempat. Ini tentu
menyulitkan bagi para non muslim karena jumlah pemeluk disalah satu gereja
tidak sebanyak itu. Dalam berkas yang saya miliki, tertulis bahwa mereka hanya bisa mengumpulkan 105 KTP masyarakat, tidak 120 KTP seperti yang disyaratkan. Namun, kemenag bersedia memberikan rekomendasi meski belum mencukupi jumlah KTPmya. Ini menunjukkan bahwa pemerintah Singkil punya itikad baik agar kasus ini bisa diselesaikan.
Proses
pengurusan izin pendirian gereja juga menjadi masalah. Setelah pembakaran
gereja, tercetus kata-kata bahwa harus ada IMB bagi setiap rumah ibadah. Saya yakin,
yang disasar sebenarnya adalah gereja, meski dikatakan ‘rumah ibadah’. Sepanjang
sepengetahuan saya belum pernah ada yang menanyakan apakah masjid memerlukan
IMB. Tapi kalau ditanya apakah gereja perlu IMB, pasti jawabannya akan ‘iya’.
Karena
IMB, gereja HKI yang terbakar mulai mengurus IMB. Tapi banyak sekali lika liku
yang mereka hadapi. Dari tahun 2016 hingga saat ini, izin pendirian rumah
ibadah mereka belum juga tuntas. Setelah mengurus selama satu tahun lebih,
mereka hamper saja mendapatkan titik terang izin gereja mereka, tapi kini
tersandung pada izin yang harus dikeluarkan oleh Imeum Mukim. Ketika bertemu
kemarin, pak Pendeta memberikan saya satu berkas surat-surat rekomendasi yang
sudah ditandatangani. Surat-surat itu ditandatangani oleh lembaga: Geucik kampong,
Camat, Kemenag, KUA, FKUB, Dinas PU dan Dinas Penanaman Modal. Melihat surat
rekomendasi itu, saya bingung. Ape kepentingannya sehingga KUA, Dinas PU(dan
Perumahan Rakyat) dan Dinas Penanaman modal (dan Pelayanan satu Pintu) harus
memberikan rekomendasi? Apakah rekomendasi yang banyak ini juga berlaku di
seluruh Indonesia atau hanya untuk Aceh (Singkil) saja?
Sekarang,
meski semua rekomendasi itu sudah mereka miliki, tapi kini mereka terkendala
karena tidak ada rekomendasi dari Imeum Mukim. Padahal Imeum Mukim bukan orang
yang diharuskan oleh undang-undang/qanun untuk memberikan rekomendasi pendirian
rumah ibadah. Pihak dinas yang menyuruh mereka untuk meminta rekom ke Imam
Mukim menyatakan bahwa berdasarkan peraturan yang dikeluarkan tahun 2016
menyatakan bahwa Imam Mukim juga diminta untuk memberikan rekom. Pihak gereja
bertahan dengan kata-kata bahwa permohonzn izin gereja mereka sudah diurus dari
tahun 2015, artinya mereka tidak harus mengikuti peraturan yang dikeluarkan
pada tahun 2016. Meski sudah ngotot begitu, tetap saja pihak gereja harus
mengikuti peraturan yang terbaru.
Banyak
yang mengatakan bahwa kasus pembakaran gereja di Singkil itu lebih banyak aspek
politisnya. Kasus itu terjadi menjelang pilkada 2016. Ketika itu isu banyaknya
gereja yang berdiri di Aceh Singkil digunakan oleh salah satu calon sebagai isu
ketika kampanye. Isu lain lagi mengatakan bahwa salah seorang calon berkata
bahwa ia akan mengizinkan pendirian gereja di Singkil. Akkibatnya calon
tersebut kalah. Dan yang menang adalah wakilnya yang sekarang naik menjadi
bupati. Saya sudah bersenang hati karena bupati sekarang adalah orang yang
termasuk dalam komunitas minoritas juga, karena etnisnya bukan Aceh. Namun
ternyata wakilnya adalah orang yang juga berperan penting ketika kasus
pembakaran gereja terjadi.
Hm…Urusan
izin gereja ini masih akan berlanjut….