Minggu, 06 Agustus 2017

Kasus Pembakaran Gereja Singkil



Tadi malam saya berkesempatan bertemu dengan salah seorang pendeta dari Singkil. Kebetulan beliau sedang mengikuti kegiatan yang diadakan oleh kementrian Agama Provinsi di Banda Aceh.
Kami ngobrol tentang apa yang terjadi di Singkil beberapa tahun lalu yang imbasnya sampai saat ini tidak selesai-selesai.

Saya ceritakan dulu ya apa yang terjadi di tahun 2015 lalu. Ketika itu serombongan massa mendatangi sebuah gereja dan membakarnya. Ternyata gereja yang ingin mereka robohkan adalah gereja atas nama Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD). Menurut massa tersebut, sudah terlalu banyak gereja di Singkil, sedangkan Aceh adalah daerah Syariat Islam yang berarti tidak boleh ada banyak gereja. Massa yang terbakar emosi rencananya mendatangi gereja-gereja atas nama GKPPD, namun ternyata mereka mendatangi gereja yang salah. Atas nama semua gereja mereka rusak. Ketika melihat gereja Katolik, gereja itu mereka rusak. Ketika melihat gereja Huria Kristen Indonesia (HKI), mereka bakar. Padahal sebenarnya yang mereka cari adalah gereja GKPPD.

GKPPD adalah gereja pecahan dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Gereja HKBP sudah dikenal di Aceh, tidak hanya di Aceh Singkil, tapi diseluruh Aceh. Namun karena GKPPD tidak melaporkan bahwa mereka telah berdiri sendiri tanpa dengan HKBP, membuat orang-orang tidak mengenal GKPPD. Sehingga, masyarakat bawah menjadi begitu mudah dihasut dengan kata-kata ‘telah terjadi Kristenisasi di Aceh Singkil karena banyak sekali gereja’. Akibatnya mudah diterka, rakyat marah dan mereka menyerang gereja.

Selain karena isu Kristenisasi, masyarakat juga keukuh mengatakan bahwa di Aceh Singkil hanya boleh punya 1 gereja dan 4 undung-undung. Ini merupakan kesepakatan yang dibuat pada tahun 1979. Namun sekarang jumlah gereja menjadi banyak sehingga masyarakat tidak bisa menerima.
Bagi saya, penambahan gereja itu tentu saja rasional, karena jumlah penduduk bertambah sehingga tentunya perlu penambahan rumah ibadah juga. Namun, pembangunan gereja di Singkil masih menjadi isu yang sensitive sehingga pembangunannya juga terkesan dipersulit.

Secara nasional, pembangunan rumah ibadah memerlukan persetujuan baik oleh pengguna maupun oleh penduduk sekitar yang lain, yang bukan pemeluk agama rumah ibadah tadi. Di nasional dibutuhkan 90 KTP pengguna dan 60 KTP dari yang non pengguna. Namun di Aceh, peraturan ini lebih ketat lagi karena ada peraturan tambahan yang dikeluarkan oleh Gubernur. Di Aceh, ketika mendirikan rumah ibadah salah satu syaratnya adalah 150 KTP pengguna dan 120 KTP warga setempat. Ini tentu menyulitkan bagi para non muslim karena jumlah pemeluk disalah satu gereja tidak sebanyak itu. Dalam berkas yang saya miliki, tertulis bahwa mereka hanya bisa mengumpulkan 105 KTP masyarakat, tidak 120 KTP seperti yang disyaratkan. Namun, kemenag bersedia memberikan rekomendasi meski belum mencukupi jumlah KTPmya. Ini menunjukkan bahwa pemerintah Singkil punya itikad baik agar kasus ini bisa diselesaikan.


Proses pengurusan izin pendirian gereja juga menjadi masalah. Setelah pembakaran gereja, tercetus kata-kata bahwa harus ada IMB bagi setiap rumah ibadah. Saya yakin, yang disasar sebenarnya adalah gereja, meski dikatakan ‘rumah ibadah’. Sepanjang sepengetahuan saya belum pernah ada yang menanyakan apakah masjid memerlukan IMB. Tapi kalau ditanya apakah gereja perlu IMB, pasti jawabannya akan ‘iya’.

Karena IMB, gereja HKI yang terbakar mulai mengurus IMB. Tapi banyak sekali lika liku yang mereka hadapi. Dari tahun 2016 hingga saat ini, izin pendirian rumah ibadah mereka belum juga tuntas. Setelah mengurus selama satu tahun lebih, mereka hamper saja mendapatkan titik terang izin gereja mereka, tapi kini tersandung pada izin yang harus dikeluarkan oleh Imeum Mukim. Ketika bertemu kemarin, pak Pendeta memberikan saya satu berkas surat-surat rekomendasi yang sudah ditandatangani. Surat-surat itu ditandatangani oleh lembaga: Geucik kampong, Camat, Kemenag, KUA, FKUB, Dinas PU dan Dinas Penanaman Modal. Melihat surat rekomendasi itu, saya bingung. Ape kepentingannya sehingga KUA, Dinas PU(dan Perumahan Rakyat) dan Dinas Penanaman modal (dan Pelayanan satu Pintu) harus memberikan rekomendasi? Apakah rekomendasi yang banyak ini juga berlaku di seluruh Indonesia atau hanya untuk Aceh (Singkil) saja?

Sekarang, meski semua rekomendasi itu sudah mereka miliki, tapi kini mereka terkendala karena tidak ada rekomendasi dari Imeum Mukim. Padahal Imeum Mukim bukan orang yang diharuskan oleh undang-undang/qanun untuk memberikan rekomendasi pendirian rumah ibadah. Pihak dinas yang menyuruh mereka untuk meminta rekom ke Imam Mukim menyatakan bahwa berdasarkan peraturan yang dikeluarkan tahun 2016 menyatakan bahwa Imam Mukim juga diminta untuk memberikan rekom. Pihak gereja bertahan dengan kata-kata bahwa permohonzn izin gereja mereka sudah diurus dari tahun 2015, artinya mereka tidak harus mengikuti peraturan yang dikeluarkan pada tahun 2016. Meski sudah ngotot begitu, tetap saja pihak gereja harus mengikuti peraturan yang terbaru.



Banyak yang mengatakan bahwa kasus pembakaran gereja di Singkil itu lebih banyak aspek politisnya. Kasus itu terjadi menjelang pilkada 2016. Ketika itu isu banyaknya gereja yang berdiri di Aceh Singkil digunakan oleh salah satu calon sebagai isu ketika kampanye. Isu lain lagi mengatakan bahwa salah seorang calon berkata bahwa ia akan mengizinkan pendirian gereja di Singkil. Akkibatnya calon tersebut kalah. Dan yang menang adalah wakilnya yang sekarang naik menjadi bupati. Saya sudah bersenang hati karena bupati sekarang adalah orang yang termasuk dalam komunitas minoritas juga, karena etnisnya bukan Aceh. Namun ternyata wakilnya adalah orang yang juga berperan penting ketika kasus pembakaran gereja terjadi. 

Hm…Urusan izin gereja ini masih akan berlanjut….