Rabu, 28 Februari 2018

Mengurus Visa di Konsulat Jerman Medan



Saya mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan di Jerman, tepatnya di Wuppertal pada bulan Oktober 2017. Satu lembaga yang berkenaan dengan kegiatan interfaith mengundang saya untuk ikut dikegiatan tersebut. Namun, tentunya saya harus mempunyai visa sebelum bisa mengunjungi negara itu. Daerah terdekat dengan tempat tinggal saya untuk mengurus visa adalah Medan. 

Ada beberapa persyaratan yang harus saya penuhi sebelum mendatangi konjen:
1.       Surat undangan dari si pengundang
2.       Asuransi
3.      Detail jadwal pesawat
4.      Akte lahir atau surat nikah
5.      Kartu keluarga
6.      KTP
7.      Pasport
8.      Pas foto
9.      Buku bank
10.   Visa online yang diisi lewat web kedutaan Jerman. Setelah diisi di simpan di flash disk.

Sepertinya pihak pengundang sudah tau hal-hal apa yang saya perlukan untuk mengurus visa. Mereka telah mengirimkan beberapa hal yang saya butuhkan untuk mengurus visa, seperti surat undangan, asuransi dan jadwal pesawat. 

Saya mencoba mengisi visa online yang ada di web. Susah sekali. berkali-kali saya coba, dibantu oleh seorang teman yang sudah berkali-kali ke luar negeri, namun tetap saja tidak bisa. Akhirnya, dengan pasrah saya berangkat ke Medan, dengan membawa berkas-berkas yang diminta (minus visa online) dengan harapan petugas disana mau membantu saya mengisikannya.

Dengan naik bus malam, saya berangkat ke Medan. Ternyata pelayanan bus Aceh semakin turun. 2 tahun lalu, saya naik bus (2-1 seat) dari perusahaan yang sama. Saya mendapatkan minuman dan kue kotak, tapi kali ini tidak ada sama sekali. dulu, busnya non stop dan tidak menerima penumpang ditengah jalan. Tapi, kali ini dengan bayaran yang sama dengan dua tahun lalu, bus ini malah berhenti di tengah jalan untuk mengambil penumpang. Dulu, saya dan dua teman lain sampai diPool bus jam 5.30 pagi, tapi kali ini saya sampai di pool sudah jam 8.30. saya betul-betul kecewa karena saya berharap bisa sampai di kedutaan lebih pagi sehingga bisa dilayani lebih dulu.

Sesampai di pool bus, saya membersihkan diri terlebih dahulu, sarapan pagi dan bertanya dimana bank Mandiri terdekat karena saya harus mencetak buku bank saya, karena salah satu syarat adalah buku bank yg masih active tiga bulan kebelakang. Kasir di tempat sarapan mengatakan satu tempat dimana saya bisa mencetak buku bank. Sayangnya saya lupa nama tempat itu sekarang. Katanya tukang becak tau dimana ada bank mandiri terdekat. Maka, saya panggil becak dan becak membawa saya ke tempat tadi. Namun ternyata yang ada disitu hanya bank Mandiri Syariah, bukan Bank Mandiri. Sehingga saya harus mencari lagi dimana lokasi Bank Mandiri. Untunglah abang becak tau dimana dan akhirnya saya bisa mencetak buku bank saya, sehingga saldo saya terkini bisa terlihat di buku bank itu. 

Ketika keluar dari Bank, saya menuju ke konjen Jerman. Beberapa orang menyaankan saya untuk memesan gojek saja, tapi saya tidak punya aplikasinya. Untunglah ada taksi blue bird yang lewat dan akhirnya saya naik taksi menuju kesana. Konjen itu berada di pinggir jalan besar, tapi kalau tidak diperhatikan dengan baik, kita bisa tertipu, karena hampi tidak ada tanda apapun yang menunjukkan itu konjen. Kami sudah melewati kantor – yang sebenarnya rumah – itu, karena tidak ketemu sopir taksi lalu menanyakan pada satu satpam yang ada di dekat situ. Satpam menunjukkan dimana konjen dan kami berbalik arah lagi. Untunglah kami tidak susah menemukan konjen itu. 

Ternyata untuk masuk ke area kantor sangat tidak mudah. Pintu di gembok oleh satpam. Setiap orang yang akan masuk ke kantor itu harus dibukakan pintunya oleh satpam, lalu digembok lagi. Begitu juga ketika akan keluar, pintu dibuka oleh satpam, setelah si tamu keluar, pintu itu akan digembok lagi. 

Saya datang dan langsung menyerahkan berkas. Staff kantor itu bertanya, ‘ibu sudah ambil nomor antri?”, saya katakan belum. Dia menyuruh saya untuk ke tempat satpam dan meminta nomor antri. Ternyata saya mendapat nomor antrian 3. 

Ketika duduk menunggu, ada seorang perempuan muda cantik yang duduk di dekat saya. Belakangan saya tau beliau adalah agen perusahaan travel yang membantu satu keluarga Tionghoa untuk mengurus visa ke Jerman. Satu pengurusan visa oleh mereka biayanya Rp. 1.700.000. dan ternyata bukan hanya dia saja, ketika duduk menunggu panggilan, saya melihat ada tidak lebih dari tiga agent perjalanan yang mengurus visa disitu. Sepertinya hanya saya yang mengurus visa sendiri.

Saya tanyakan pada si agen ini apakah harus menfotokopi buku bank? Katanya iya…terpaksalah saya harus keluar dulu dan mencari dimana ada toko foto kopi. Di dekat kantor itu, saya melihat ada kantor partai democrat dan meminta pada penjaganya untuk memfoto kopi disitu selembar saja. Tapi petugasnya malah menyuruh saya untuk mencari toko foto kopi yang menurutnya tidak jauh dari situ. Saya berjalan lagi dan bertanya pada beberapa orang, akhirnya ketemu juga dengan toko foto kopi.

Setelah selesai memfoto kopi, saya balik lagi ke konjen. Namun nomorku sudah di dahului orang, akhirnya saya terpaksa menunggu. Ketika bagianku diperiksa, di petugas menanyakan tentang visa online saya. Saya katakan saya mencoba untuk mengisi, namun tidak bisa. Di web dikatakan bahwa konjen bisa membantu, jadi saya berharap konjen bisa membantu. Namun ternyata, konjen tidak mau membantu. Staff yang menangani saya menyuruh saya mengisi ulang di warnet. Dia juga tidak mengatakan dimana ada warnet. Akhirnya, saya keular lagi dan sibuk mencari warnet. Setelah bertanya kesana-kemari akhirnya dapat juga warnet itu. Saya isi ulang visa online dan dibantu oleh petugas warnet. Saya juga simpan di flashdisk yang saya beli di warnet tersebut.

Ketika kembali ke konjen, ternyata hanya tinggal saya yang tersisa disitu. Untung belum tutup. Setelah mereka melihat, ternyata masih salah juga visa yang saya isi. Harusnya negara pertama yang saya datangi untuk transit adalah Swiss, tapi saya malah mengisinya dengan german. Dan karena di warnet tidak ada aplikasi yang diminta oleh kedutaan, mereka menyimpan dalam bentuk PDF, sehingga berkas yang sudah saya simpan dalam flash disk tidak bisa dirubah. Akhirnya, setelah melihat kesusahan yang saya hadapi, mereka akhirnya bersedia mengisi visa tersebut untukku, tapi dengan bayaran Rp. 100.000, sesuai dengan apa yang tertera di kertas yang disodorkan ke saya. 

Sepertinya mereka memang harus memplonco siapapun yang datang kesana. Mereka tidak akan membiarkan siapapun untuk meminta pertolongan mereka jika seseorang itu belum mencobanya.

Andai aku seperti para turis2 Tionghoa yang aku temui disitu, mungkin aku tidak akan harus bolak balik dan disengsarakan. Namun, jika aku mengikuti cara mereka, maka aku harus mengeluarkan uang Rp. 1.700.000 untuk membayar travel agent dan tidak mempunyai pengalaman bagaimana ribetnya mengurus visa di konjen itu. 

Akhirnya urusan pengurusan visa selesai, namun aku belum bisa mengambilnya hari itu juga. Mereka perlu untuk mengirim pasportku ke kedutaan di Jakarta untuk mendapatkan label visa. Staff disana bilang kalau mereka akan menghubungi saya kalau visanya sudah selesai dan saya harus mengambilnya sendiri ke situ. Tapi, saya bilang saya tidak bisa, karena saya dari Aceh. Apakah mereka bisa mengirimkannya ke Aceh? Namun mereka keberatan, mereka bilang saya bisa minta tolong teman atau saudara yang ada di Medan untuk mengambilkannya. Saya tidak berani membantah mereka. Sudah terlalu banyak kerepotan yg saya sebabkan pada mereka. 

Sepertinya konjen itu bekerjasama dengan beberapa travel agent. Ketika saya masih duduk disitu untuk di wawancarai, staff perempuan yang tengah memeriksa berkas saya mendapat telpon. Ia berbicara dengan seseorang di ujung sana dan berkata kalau sebaiknya si pemilik suara itu dating saja ke konjen untuk mengurus visa, jangan lewat dia. Atau, bisa juga dating ke dua travel agent yang dia sebutkan, karena travel tersebut sudah tau apa-apa yang diperlukan untuk mengurus visa. Saya tidak bermaksud berburuk sangka, namun karena ketidaktahuan pelanggan bagaimana mengisi visa online,  (atau juga karena malas ribet), membuka peluang bagi travel agent untuk membuatkan visa dengan bayaran yang luar biasa mahal menurut saya.

Untunglah saya tidak perlu membayar sewa travel agent yang semahal itu. Untung saya hanya perlu membayar untuk urus visa di konjen. Dan biaya pengurusan pengisian formulir karena saya yang sudah bolak balik ke rental mengisi, membuatnya sesuai permintaan mereka, tapi tetap saja salah. Akhirnya mereka bersedia membuatkan untuk saya. Jadi ada dua yang harus saya bayar, biaya visa dan biaya pengisian formulir yang akan diisikan oleh staff konjen.

Setelah urusan selesai, saya katakan bukan saya yang akan mengambil kalau sudah selesai. Saya minta mereka yang mengirimkan, tapi mereka mengatakan minta keluarga saja yang ada di Medan yang ambil. Beri surat kuasa. Hm…ini beda dengan apa yang saya dapat di blog seseorang yang nulis kalau konjen bersedia mengirimkan ke alamat kita asalkan ditinggalkan biaya pengirimannya. 

Sekitar seminggu kemudian, konjen menelfon mengatakan bahwa visa saya sudah selesai dan saya diharapkan untuk mengambilnya. Saya minta tolong saudara untuk mengambilnya, namun sebelumnya saya kirimkan surat kuasa agar dia yang mengambilnya. 

Surat kuasa yang saya kirim ternyata lama sampai kealamat saudara saya. Meski sudah saya kirim pakai pos kilat, tetap juga sampainya tiga hari. Padahal kirimnya ke Medan lho..! sudah sempat kesal, tapi akhirnya instead of sampai hari Sabtu (karena saya kirimnya hari Jumat) itu surat sampainya hari Selasa. Langsung saudara saya kirim ke saya, dan heran, itu surat dalam waktu satu hari langsung sampai. Hmm….saya sampai su’zon, apa karena dari Aceh ya apa2 jadinya lambat nyampenya?

Meski lumayan ribet, saya menikmati pengurusan visa saya sendiri, tidak pakai agen. Lumayan, jadi dapat pengalaman bagaimana mengurus visa di konjen Jerman Medan.