Saya mendapat kesempatan
untuk mengikuti kegiatan di Jerman, tepatnya di Wuppertal pada bulan Oktober
2017. Satu lembaga yang berkenaan dengan kegiatan interfaith mengundang saya
untuk ikut dikegiatan tersebut. Namun, tentunya saya harus mempunyai visa
sebelum bisa mengunjungi negara itu. Daerah terdekat dengan tempat tinggal saya
untuk mengurus visa adalah Medan.
Ada beberapa persyaratan
yang harus saya penuhi sebelum mendatangi konjen:
1. Surat
undangan dari si pengundang
2. Asuransi
3. Detail
jadwal pesawat
4. Akte
lahir atau surat nikah
5. Kartu
keluarga
6. KTP
7. Pasport
8. Pas
foto
9. Buku
bank
10. Visa
online yang diisi lewat web kedutaan Jerman. Setelah diisi di simpan di flash
disk.
Sepertinya pihak
pengundang sudah tau hal-hal apa yang saya perlukan untuk mengurus visa. Mereka
telah mengirimkan beberapa hal yang saya butuhkan untuk mengurus visa, seperti
surat undangan, asuransi dan jadwal pesawat.
Saya mencoba mengisi visa
online yang ada di web. Susah sekali. berkali-kali saya coba, dibantu oleh
seorang teman yang sudah berkali-kali ke luar negeri, namun tetap saja tidak
bisa. Akhirnya, dengan pasrah saya berangkat ke Medan, dengan membawa
berkas-berkas yang diminta (minus visa online) dengan harapan petugas disana
mau membantu saya mengisikannya.
Dengan naik bus malam,
saya berangkat ke Medan. Ternyata pelayanan bus Aceh semakin turun. 2 tahun
lalu, saya naik bus (2-1 seat) dari perusahaan yang sama. Saya mendapatkan
minuman dan kue kotak, tapi kali ini tidak ada sama sekali. dulu, busnya non
stop dan tidak menerima penumpang ditengah jalan. Tapi, kali ini dengan bayaran
yang sama dengan dua tahun lalu, bus ini malah berhenti di tengah jalan untuk
mengambil penumpang. Dulu, saya dan dua teman lain sampai diPool bus jam 5.30
pagi, tapi kali ini saya sampai di pool sudah jam 8.30. saya betul-betul kecewa
karena saya berharap bisa sampai di kedutaan lebih pagi sehingga bisa dilayani
lebih dulu.
Sesampai di pool bus, saya
membersihkan diri terlebih dahulu, sarapan pagi dan bertanya dimana bank
Mandiri terdekat karena saya harus mencetak buku bank saya, karena salah satu
syarat adalah buku bank yg masih active tiga bulan kebelakang. Kasir di tempat
sarapan mengatakan satu tempat dimana saya bisa mencetak buku bank. Sayangnya saya
lupa nama tempat itu sekarang. Katanya tukang becak tau dimana ada bank mandiri
terdekat. Maka, saya panggil becak dan becak membawa saya ke tempat tadi. Namun
ternyata yang ada disitu hanya bank Mandiri Syariah, bukan Bank Mandiri.
Sehingga saya harus mencari lagi dimana lokasi Bank Mandiri. Untunglah abang
becak tau dimana dan akhirnya saya bisa mencetak buku bank saya, sehingga saldo
saya terkini bisa terlihat di buku bank itu.
Ketika keluar dari Bank,
saya menuju ke konjen Jerman. Beberapa orang menyaankan saya untuk memesan
gojek saja, tapi saya tidak punya aplikasinya. Untunglah ada taksi blue bird
yang lewat dan akhirnya saya naik taksi menuju kesana. Konjen itu berada di
pinggir jalan besar, tapi kalau tidak diperhatikan dengan baik, kita bisa
tertipu, karena hampi tidak ada tanda apapun yang menunjukkan itu konjen. Kami
sudah melewati kantor – yang sebenarnya rumah – itu, karena tidak ketemu sopir
taksi lalu menanyakan pada satu satpam yang ada di dekat situ. Satpam
menunjukkan dimana konjen dan kami berbalik arah lagi. Untunglah kami tidak
susah menemukan konjen itu.
Ternyata untuk masuk ke
area kantor sangat tidak mudah. Pintu di gembok oleh satpam. Setiap orang yang
akan masuk ke kantor itu harus dibukakan pintunya oleh satpam, lalu digembok
lagi. Begitu juga ketika akan keluar, pintu dibuka oleh satpam, setelah si tamu
keluar, pintu itu akan digembok lagi.
Saya datang dan langsung
menyerahkan berkas. Staff kantor itu bertanya, ‘ibu sudah ambil nomor antri?”,
saya katakan belum. Dia menyuruh saya untuk ke tempat satpam dan meminta nomor
antri. Ternyata saya mendapat nomor antrian 3.
Ketika duduk menunggu, ada
seorang perempuan muda cantik yang duduk di dekat saya. Belakangan saya tau
beliau adalah agen perusahaan travel yang membantu satu keluarga Tionghoa untuk
mengurus visa ke Jerman. Satu pengurusan visa oleh mereka biayanya Rp.
1.700.000. dan ternyata bukan hanya dia saja, ketika duduk menunggu panggilan,
saya melihat ada tidak lebih dari tiga agent perjalanan yang mengurus visa
disitu. Sepertinya hanya saya yang mengurus visa sendiri.
Saya tanyakan pada si agen
ini apakah harus menfotokopi buku bank? Katanya iya…terpaksalah saya harus
keluar dulu dan mencari dimana ada toko foto kopi. Di dekat kantor itu, saya
melihat ada kantor partai democrat dan meminta pada penjaganya untuk memfoto
kopi disitu selembar saja. Tapi petugasnya malah menyuruh saya untuk mencari
toko foto kopi yang menurutnya tidak jauh dari situ. Saya berjalan lagi dan
bertanya pada beberapa orang, akhirnya ketemu juga dengan toko foto kopi.
Setelah selesai memfoto
kopi, saya balik lagi ke konjen. Namun nomorku sudah di dahului orang, akhirnya
saya terpaksa menunggu. Ketika bagianku diperiksa, di petugas menanyakan
tentang visa online saya. Saya katakan saya mencoba untuk mengisi, namun tidak
bisa. Di web dikatakan bahwa konjen bisa membantu, jadi saya berharap konjen
bisa membantu. Namun ternyata, konjen tidak mau membantu. Staff yang menangani
saya menyuruh saya mengisi ulang di warnet. Dia juga tidak mengatakan dimana
ada warnet. Akhirnya, saya keular lagi dan sibuk mencari warnet. Setelah
bertanya kesana-kemari akhirnya dapat juga warnet itu. Saya isi ulang visa
online dan dibantu oleh petugas warnet. Saya juga simpan di flashdisk yang saya
beli di warnet tersebut.
Ketika kembali ke konjen,
ternyata hanya tinggal saya yang tersisa disitu. Untung belum tutup. Setelah
mereka melihat, ternyata masih salah juga visa yang saya isi. Harusnya negara
pertama yang saya datangi untuk transit adalah Swiss, tapi saya malah
mengisinya dengan german. Dan karena di warnet tidak ada aplikasi yang diminta
oleh kedutaan, mereka menyimpan dalam bentuk PDF, sehingga berkas yang sudah
saya simpan dalam flash disk tidak bisa dirubah. Akhirnya, setelah melihat
kesusahan yang saya hadapi, mereka akhirnya bersedia mengisi visa tersebut
untukku, tapi dengan bayaran Rp. 100.000, sesuai dengan apa yang tertera di
kertas yang disodorkan ke saya.
Sepertinya mereka memang
harus memplonco siapapun yang datang kesana. Mereka tidak akan membiarkan
siapapun untuk meminta pertolongan mereka jika seseorang itu belum mencobanya.
Andai aku seperti para
turis2 Tionghoa yang aku temui disitu, mungkin aku tidak akan harus bolak balik
dan disengsarakan. Namun, jika aku mengikuti cara mereka, maka aku harus
mengeluarkan uang Rp. 1.700.000 untuk membayar travel agent dan tidak mempunyai
pengalaman bagaimana ribetnya mengurus visa di konjen itu.
Akhirnya urusan pengurusan
visa selesai, namun aku belum bisa mengambilnya hari itu juga. Mereka perlu
untuk mengirim pasportku ke kedutaan di Jakarta untuk mendapatkan label visa.
Staff disana bilang kalau mereka akan menghubungi saya kalau visanya sudah
selesai dan saya harus mengambilnya sendiri ke situ. Tapi, saya bilang saya
tidak bisa, karena saya dari Aceh. Apakah mereka bisa mengirimkannya ke Aceh?
Namun mereka keberatan, mereka bilang saya bisa minta tolong teman atau saudara
yang ada di Medan untuk mengambilkannya. Saya tidak berani membantah mereka.
Sudah terlalu banyak kerepotan yg saya sebabkan pada mereka.
Sepertinya konjen itu
bekerjasama dengan beberapa travel agent. Ketika saya masih duduk disitu untuk
di wawancarai, staff perempuan yang tengah memeriksa berkas saya mendapat
telpon. Ia berbicara dengan seseorang di ujung sana dan berkata kalau sebaiknya
si pemilik suara itu dating saja ke konjen untuk mengurus visa, jangan lewat
dia. Atau, bisa juga dating ke dua travel agent yang dia sebutkan, karena
travel tersebut sudah tau apa-apa yang diperlukan untuk mengurus visa. Saya
tidak bermaksud berburuk sangka, namun karena ketidaktahuan pelanggan bagaimana
mengisi visa online, (atau juga karena
malas ribet), membuka peluang bagi travel agent untuk membuatkan visa dengan
bayaran yang luar biasa mahal menurut saya.
Untunglah saya tidak perlu
membayar sewa travel agent yang semahal itu. Untung saya hanya perlu membayar
untuk urus visa di konjen. Dan biaya pengurusan pengisian formulir karena saya
yang sudah bolak balik ke rental mengisi, membuatnya sesuai permintaan mereka,
tapi tetap saja salah. Akhirnya mereka bersedia membuatkan untuk saya. Jadi ada
dua yang harus saya bayar, biaya visa dan biaya pengisian formulir yang akan
diisikan oleh staff konjen.
Setelah urusan selesai,
saya katakan bukan saya yang akan mengambil kalau sudah selesai. Saya minta
mereka yang mengirimkan, tapi mereka mengatakan minta keluarga saja yang ada di
Medan yang ambil. Beri surat kuasa. Hm…ini beda dengan apa yang saya dapat di
blog seseorang yang nulis kalau konjen bersedia mengirimkan ke alamat kita
asalkan ditinggalkan biaya pengirimannya.
Sekitar seminggu kemudian,
konjen menelfon mengatakan bahwa visa saya sudah selesai dan saya diharapkan
untuk mengambilnya. Saya minta tolong saudara untuk mengambilnya, namun
sebelumnya saya kirimkan surat kuasa agar dia yang mengambilnya.
Surat kuasa yang saya
kirim ternyata lama sampai kealamat saudara saya. Meski sudah saya kirim pakai
pos kilat, tetap juga sampainya tiga hari. Padahal kirimnya ke Medan lho..!
sudah sempat kesal, tapi akhirnya instead of sampai hari Sabtu (karena saya
kirimnya hari Jumat) itu surat sampainya hari Selasa. Langsung saudara saya
kirim ke saya, dan heran, itu surat dalam waktu satu hari langsung sampai. Hmm….saya
sampai su’zon, apa karena dari Aceh ya apa2 jadinya lambat nyampenya?
Meski lumayan ribet, saya
menikmati pengurusan visa saya sendiri, tidak pakai agen. Lumayan, jadi dapat
pengalaman bagaimana mengurus visa di konjen Jerman Medan.