Sabtu, 27 Maret 2021

Seoul Searching: Pencarian Identitas Diri Anak Imigran

 







    Film yang ingin saya ulas kali ini adalah film Seoul Searching. Film ini kebetulan saya dapat di internet ketika mencari film-film yang direkomendasikan bagus. Saya suka sekali film yang dilatarbelakangi kisah nyata. Dan film ini adalah salah satunya.

    Dari film ini saya menjadi semakin yakin mengapa orang-orang Korea Selatan itu begitu Westernised terutama sangat Amerika. Film itu dibuka dengan narasi tentang perang yang terjadi di Korea, Perang dengan Jepang hingga perang yang memecah Korea menjadi dua: Korea Utara dan Korea Selatan. Orang-orang tua yang tidak ingin mengalami perang yang berkepanjangan memilih untuk meninggalkan negara mereka, Korea Utara. Diantara mereka ada yang pindah ke Amerika, Meksiko dan Jerman. Namun, orang tua ini kemudian menghasilkan anak-anak yang telah kehilangan identitas mereka sebagai orang Korea. Oleh karena itu pemerintah Korea membuat program yang menghadirkan anak-anak diaspora ini dalam satu kegiatan bernama Summer Camp sehingga mereka bisa belajar tentang apa arti menjadi Korea bagi mereka.

    Saya sangat menikmati film ini. Film ini mengingatkan lagi pengalaman ketika berkunjung ke Amerika Serikat, bertemu dengan dosen yang berasal dari Pakistan yang mengatakan bahwa anak-anak Pakistan yang besar di Amerika sudah kehilangan identitas dan susah untuk berkomunikasi dengan orang tua mereka. Ini aku lihat sendiri di film Seoul Searching ini. Anak-anak muda yang datang ke Summer Camp ini datang dengan gaya mereka yang sudah ‘westernised’, misalnya ada perempuan yang bergaya seperti Madonna (Grace dari US), ada laki-laki yang bergaya punk (Sid dari US), ada yang sangat mudah sekali merayu perempuan-perempuan (Sergio dari Meksiko) dan ada yang sangat kalem (Klaus dari Jerman). Anak-anak muda ini digabung dalam satu camp. Peraturannya adalah laki-laki ada di lantai 1 sedangkan para perempuan tinggal di lantai 3. Tapi dasar anak-anak ‘berandal’ (kecuali Klaus), mereka punya cara untuk bagaimana bisa menemui para perempuan yang ada di lantai 3. Daaaaaan...pesta miraspun terjadi. Saking mabuknya dua dari anak muda itu, mereka hampir saja melakukan hubungan badan di kamar si perempuan.

    Cerita lain lagi adalah ketika Sid membantu Grace yang hampir diperkosa oleh Mike Song (kelahiran US yang sangat bergaya militer).  Sid lalu membuang semua miras yang ada di kamar Grace, sayangnya, ketahuan oleh guru Korea yang mengajar mereka. Akibatnya ia akan dikeluarkan dari summer camp tersebut. Sebenarnya ini bukan kali pertama Sid dianggap sebagai biang kerok perkelahian. Sebelumnya di perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan, di daerah Demilitarized Zone (DMZ), seseorang membuang sisa permen karet yang mengenai sepatu tentara korea Utara. Hampir saja terjadi tembak-tembakan antara tentara Korea Utara dan Korea Selatan di perbatasan itu, hanya karena sisa permen karet tadi. Ditambah dengan ketahuan membawa minuman keras, semakin memperkuat keputusan bahwa Sid harus dikeluarkan dari camp. Namun sebelum dikeluarkan dari summer camp, si bapak guru menanyakan tentang keluarga Sid. Ia mengatakan bahwa ia membenci ayahnya. Ayahnya tidak pernah memperlakukannya dengan baik, bahkan suka memukul ibunya. Si pak guru lalu menceritakan kisahnya bagaimana ia dulunya adalah seorang pengajar di sekolah prestisius. Ia sangat menekan anaknya untuk bisa menjadi juara dan masuk ke universitas di Korea. Namun karena anaknya tidak bisa mengikuti kemauan ayahnya dan ayah yang sangat gila hormat ini lalu menendang anaknya hingga pingsan. Terakhir, menurut si pak guru, ia mendengar di radio kalau anaknya tewas bunuh diri di jalur kereta. Pak guru bilang bahwa ayah Sid bukan tidak sayang padanya, tapi laki-laki Korea memang susah untuk mengungkapkan perasaannya, terutama untuk perasaan sayang. Ini mengingatkanku pada drama Korea Full House yang saya tonton. Saya gemes pada aktor laki-laki di drakor itu yang sangat tidak bisa menyatakan perasaannya. Ternyata ini persis sama dengan apa yang terjadi di Korea Selatan. Bahkan di salah satu buku yang pernah saya baca, banyak orang Jepang yang  harus mengambil kursus tersenyum akibat masa lalu Perang Dunia II dimana mereka kalah dan menyebabkan hidup yang pahit sehingga mereka hampir tidak pernah tersenyum.

    Cerita menarik lainnya adalah ketika settingnya di kelas kaligrafi yaitu menulis huruf-huruf Korea. Salah seorang perempuan (Sara) bertanya pada Klaus tentang keluarga dan pacarnya. Klaus mengatakan bahwa ayah ibunya membawanya ke Jerman ketika ia masih kecil dan ia telah mempunyai pacar orang Jerman. Ketika Sarabertanya apakah ia ingin melanjutkan usaha ayahnya yaitu membuat sosis, karena orang tua Klaus adalah pengusaha Sosis, Klaus mengatakan tidak mau. Sara bertanya lagi mengapa tidak, toh usaha itu memberi uang yang banyak. Klaus mengatakan dengan tegas, meski orang tuanya adalah imigran dia tidak ingin menjadi seperti ayahnya yang hanya buruh. Ia ingin mencapai yang lebih tinggi lagi yaitu bekerja di bank sehingga orang tidak akan melihat bahwa orang Korea di Hamburg bukan hanya sebagai buruh. Wuaaaaaah….. bagus banget jawabannya.

    Klaus juga berkomunikasi sangat fasih dalam bahasa Korea karena di rumahnya di Jerman sana ia selalu menggunakan bahasa Korea. Seorang perempuan lain yang berasal dari Amerika (Kris) ada dikelas kaligrafi itu mendengarkan dengan seksama perbincangan dari kedua anak muda ini. Di lain waktu ia yang kemudian berbincang-bincang dengan Klaus. Dari hasil obrolan itu diketahui Kris adalah anak pungut dari laki-laki dan perempuan berkulit putih sehingga ia sama sekali tidak tau tentang Korea, bahkan ia tidak mempunyai nama Korea. Klaus menawarkan diri untuk mencari info tentang keluarga si perempuan ini. Sepertinya Korea memang sangat aktif dan responsive untuk pencarian keluarga hilang ini sehingga mereka mempunyai suatu pusat informasi mencari keluarga yang hilang. Nah, mereka ini lalu mendapatkan nomor kontak dari ibu biologis Kris. Klaus yang fasih berbahasa Korea ini menelpon dan berkata bahwa anaknya ingin bertemu. Ketika bertemu si ibu yang tidak bisa berbicara dalam bahasa Inggris Klaus membantu menerjemahkan apa yang ingin disampaikan si ibu kepada Kris. Akhirnya karena tidak ingin membebani Klaus terus-terusan, Kris kemudian menemui sendiri ibu kandungnya itu dan berbicara dalam bahasa Inggris meski ia tau bahwa ibunya tidak akan mengerti. Tapi apa yang disampaikan dalam pembicaraan itu sangat menyentuh. Kris tidak menyalahkan ibunya yang telah membiarkan dia tinggal di panti asuhan sehingga kemudian diadopsi oleh keluarga Amerika yang kemudian ia kehilangan identitasnya; tidak bisa berbicara bahasa Korea dan tidak bisa menulis dalam huruf Korea. Ia mengerti mengapa ibunya meninggalkannya di panti asuhan, karena ayahnya yang suka melakukan KDRT, dan itu berbekas di kaki Kris dan kepala si ibu. Kris mengetahui cerita KDRT itu dari Klaus yang menggali lebih dalam dari si ibu. katanya, ketika kecil, karena mabuk ayah Kris menyiramkan air panas ke Kris karena menangis terus. Si ayah lalu memarahi si ibu dengan memukul kepala si ibu menggunakan botol. Sampai dewasa bekas luka bakar di kaki Kris masih ada begitu juga dengan bekas luka yang ada di kepala si ibu. 

    Film ini mengajarkan banyak hal yang susah banget buat saya untuk menuliskannya, saking banyaknya. Diantara yang saya ingat diantaranya, bagaimana si Sergio, ketika diakhir summer camp mereka diminta untuk berpakaian yang berbeda. Nah, Sergio menggunakan pakaian perempuan yang sangat seksi. Ketika sedang berdansa ia mengatakan pada partnernya bahwa sekarang ia mengerti mengapa banyak perempuan yang merasa tidak nyaman karena di suitin (cat whistling) karena berpakaian seperti yang ia kenakan. Ada juga hal yang perlu diingat ketika Sid bertanya pada temannya yang sangat bergaya militer (Mike Song) mengapa ia harus bersikap sangat militeristik. menurut temannya ini, dengan cara itulah ia bisa bertahan hidup di komunitas militer, dimana ia bekerja. Karena tampilannya yang sangat Asia, ia gampang sekali didiskriminasi oleh mereka yang berkulit putih. 

    Saya suka sekali dengan Klaus, yang dari Jerman itu. Dia sangat ringan tangan, membantu teman-temannya dan sangat kalem. Berbeda dengan anak-anak yang lain yang sudah sangat tercerabut dari kultur ketimurannya itu. Klaus membuat film ini begitu menyentuh dengan usahanya membantu si perempuan untuk mencari identitasnya. 

    Belum lagi saya belajar bahwa ternyata laki-laki Korea tidak beda jauh dengan laki-laki di Asia pada umumnya, yang sangat memandang rendah perempuan. Seorang pemeran perempuan di film ini juga berkisah bagaimana ibunya selalu dipukuli oleh ayahnya sehingga ia sangat membenci laki-laki. Namun kemudian ia malah menyukai laki-laki ketika kenal dengan si Sergio ini. Kedua mereka sama-sama suka bela diri. Sergio menguasai Karate sedangkan si perempuan ini menguasai TaeKwonDo, olah raga yang berasal dari Korea.

    Film ini membuat saya berfikir tentang anak-anak Indonesia yang dilahirkan atau dibesarkan di luar Indonesia. Saya teringat pada apa yang dikatakan oleh salah seorang DJ MTV yang blasteran Indonesia Australia. ia mengatakan ia bingung identitas dia itu sebenarnya apa. Karena ketika ia di Australia, ia di bully dikatakan ia bukan orang Australia. Ketika ia di Indonesia (Jawa Barat tepatnya, karena kakeknya penulis pesohor di Jawa Barat) ia tidak disebut sebagai orang Indonesia, melainkan disebut sebagai bule. Krisis identitas ini juga membuat beberapa teman-teman yang saya temui juga terkadang bersikap menyebalkan. Misalnya saja, ketika saya kuliah di Thammasat University, saya bertemu dengan seorang mahasiswa yang berkulit sawo matang tetapi berasal dari Amerika. Belakangan saya tahu ternyata ia diadopsi dan dibawa ke Amerika. Tingkahnya sangat menyebalkan. Saya sempat berfikir, mungkin karena krisis identitas itu yang menyebabkan mengapa ia bertingkah sangat menyebalkan. Mungkin ia mengalami kejadian seperti VJ MTV yang saya tuliskan diatas; ketika di Thailand tidak dianggap sebagai orang Thai tetapi ketika di Amerika ia juga tidak dianggap sebagai orang Amerika karena kulitnya yang sangat gelap. Begitu juga ketika bertemu dengan pemuda Pakistan yang sudah lama tinggal di US (ikut orang tuanya), tingkahnya menyebalkan sekali. berbeda dengan teman-temannya yang memang benar-benar bule. Sepertinya krisis identitas juga terjadi pada dirinya. 

    Secara keseluruhan, film Seoul Searching ini sangat bagus. Saya malah merasa para aktor dan aktirs yang ada di film ini seperti sedang mencari jiwa mereka (soul searching) karena krisis identitas tadi. 

 


Selasa, 09 Maret 2021

Karena Indonesia Bukan Hanya Jawa

 



Beberapa hari lalu saya mengikuti acara meeting virtual alumni program Muslem Exchange Program dimana saya pernah ikut kegiatan tersebut. Salah seorang yang memberikan acara pembuka adalah duta besar Indonesia untuk Australia. Saya sayangkan sekali pak Dubes menggunakan backsound gending Jawa ketika beliau berbicara. Sebagai orang yang bukan orang Jawa, saya merasa "terpanggil" untuk 'mengingatkan pak Dubes lewat tulisan ini. Saya minta teman yang ada di Melbourne untuk mengirimkan tulisan ini ke duta besar Indonesia di Canberra.


***********************************************

Tulisan ini merupakan refleksi saya untuk 65 tahun usia tanah airku, Indonesia.

Tahun 2010 lalu saya mengunjungi KJRI Indonesia di Melbourne. Saat masuki ruangan, yang pertama menyambut saya adalah patung Bali.

Saat berada di Bangkok tahun 2003, teman saya yang berasal dari UGM bercerita. Hampir setiap bertemu seseorang ia akan ditanyai berasal dari mana, ia menjawab dari Indonesia. Dan orang yang bertanya berkata “oh..I’ve been to Bali’. Sejak saat itu temanku selalu membawa peta Indonesia dan jika ada orang yang bertanya dia dari mana, dan jawabannya sama dengan yang diatas (I am from Indonesia) dan disambut dengan kata-kata “I’ve been to Bali”, teman ini langsung menggelar petanya, menunjukkan “ini Indonesia dan ini Bali dan saya berasal dari sini (sambil menunjukkan pulau Jawa)”.

Saat berada di kedutaan Indonesia di Washington DC tahun 2008, saya bertanya pada atase politik yang menerima kami. Saat itu meeting kami sudah selesai dan pak Atase membawa kami jalan-jalan menuju ruang tamu di kedutaan. Lalu saya lihat ada lukisan Pangeran Diponegoro dan Jendral Sudirman yang sangat besar. Saya katakan”… maaf ya pak, mungkin ini agak sensitive. Koq yang saya lihat disini hanya lukisan Diponegoro dan Sudirman? Ini kan hanya representative Jawa. Si Bapak terdiam sejenak dan lalu menjawab bahwa ada foto Cut Nyak Dhien di rumah Pak Duta Besar dan foto Pangeran Hasanuddin di ruangan yang lain lagi.

Saya sendiri tidak tau mengapa saya berani bertanya seperti itu. Mungkin karena belakangan, setelah meeting selesai, saya tahu bahwa beliau juga tamatan Hubungan Internasional Fisipol UGM (sama seperti saya, meski angkatan berbeda), ada kedekatan psikologis yg menyebabkan saya berani bertanya seperti itu.

Saat saya ceritakan hal ini pada salah seorang teman yang berasal dari Papua, ternyata ia mempunyai cerita yang sama. Katanya, pengalaman saya persis sama seperti yang dialami oleh seorang perempuan Papua saat diundang ke istana merdeka. Menurut Lusi (teman saya tadi), kasus Freeport (demo yang dilakukan oleh orang Papua di Freeport) mengundang keinginatahuan presiden SBY untuk mendengar lebih jauh dari masyarakat Papua sendiri. Lalu diundanglah beberapa orang dari kawasan Freeport untuk datang ke Istana merdeka. Saat diistana, setelah Presiden menyampaikan kata sambutannya,seorang ibu berdiri dan bertanya “ Pak, mengapa saya tidak melihat orang-orang kami di foto-foto yang ada diruangan ini? Apa yang salah dengan kami?”.
 Pak SBY langsung tercenung, tidak bisa berkata apa-apa dan matanya berkaca-kaca.
Ternyata sebelum memasuki ruangan pertemuan, banyak foto pahlawan Indonesia yang dipasang dilorong menuju tempat pertemuan. Dan itulah yang dilihat oleh si ibu tadi sehingga dia berani menanyakan, mengapa tidak ada orang yang mempunyai performa seperti dirinya
(berambut keriting dan berkulit hitam) dipajang di lorong tersebut.

Saya kira kita semua mengetahui bahwa memang daerah Indonesia yang sudah sangat terkenal secara internasional adalah Jawa dan Bali. Dan karena itu, Indonesia akan sangat mudah  diperkenalkan dengan menggunakan kedua daerah tadi. Namun sayang sekali, banyak sekali daerah-daerah lain yang ada di Indonesia menjadi tidak terwakilkan dalam kegiatan-kegiatan atas nama Indonesia. Salah seorang teman yang kuliah di Flinders juga sempat menemui salah seorang dosen dan menyampaikan keheranannya mengapa hanya ada batik yang merepresentasikan Indonesia di setiap kegiatan atas nama Indonesia. Karenanya, teman ini tadi meninggalkan kain tapis Lampung miliknya sebagai cendera mata saat dia akan pulang ke Lampung, setelah kuliahnya selesai.

Mungkin, butuh kerja  ekstra keras untuk memperkenalkan pada masyarakat dunia bahwa Indonesia bukan hanya Jawa dan Bali.

Selamat Ulang Tahun Indonesiaku…semoga kedepan akan lebih banyak lagi perwakilan-perwakilan dari tanahmu yang muncul di luar Indonesia, sehingga dunia tau bahwa Indonesia itu bukan hanya beretnis Jawa dan Bali.

(tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menyinggung perasaan teman-teman yang beretnis Jawa atau Bali)

Rosnida Sari

Wakil Aceh untuk MEP 2006, Presiden PPIA Flinders University (2009-2010)