Selasa, 04 Mei 2021

Cerita Hidup Rosidi

 






Karena mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh Yayasan Pantau, saya mendapat beberapa buku yang sebaiknya kami baca, sebagai peserta kegiatan. Saya baru saja menyelesaikan buku berjudul “Cerita Hidup Rosidi”, salah satu buku yang kami terima. Buku setebal 260 halam ini berkisah tentang perjalanan hidup seorang tahanan politik, yang dianggap PKI pada tahun 1965. Ia masih hidup hingga buku ini ditulis tahun 2016, entah sekarang. Ia berusia 80 tahun Ketika buku ini ditulis.

Buku ini menarik, karena pasti masih banyak Rosidi-Rosidi yang lain, yang cerita hidupnya selama masa kelam itu belum terdokumentasikan.

Saya pribadi lebih menyukai buku Tedjabayu, Mutiara di Padang Ilalang, karena buku itu adalah buku yang ditulis sendiri oleh Tedjabayu. Berbeda dengan kisah hidup Rosidi, yang dituliskan oleh Tosca Santoso. Tedja, sama halnya seperti Rosidi, adalah korban 65, masyarakat biasa yang dituduh sebagai anggota PKI. Tedja ditangkap di Jogjakarta, ketika sedang mengikuti rapat di organisasi yang dianggap underbow PKI. Sedangkan Rosidi ditangkap karena memiliki kartu Sarbupri, organisasi buruh yang dianggap sebagai organisasi underbouw PKI. Sarbupri, Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia, didirikan tanggal 17 Februari 1947.

Sebenarnya, yang akan ditangkap tentara adalah paman Rosidi, Salna. Naas, Rosidi sedang mengunjungi pamannya dan karena Rosidi berkata pamannya tidak ada, tentara meminta kartu identitas Rosidi dan Rosidi memberikan kartu anggota Sarbupri, iapun diangkut tentara dan dibawa ke kantor polisi Sukanegara. Rosidi mengira ia hanya di periksa sebentar, namun ternyata ‘sebentar’ itu sampai mencapai 13 tahun. 13 tahun sebagai tahanan politik, tanpa pernah diadili. Pernah suatu masa ia memiliki KTP yang bertanda “ET” (eks-tapol). Selama masa Orde baru ia dan keluarganya dianggap sebagai ancaman dan tidak boleh ikut pemilu. Para eks-tapol ini menikahkan anak-anak mereka dengan keturunan sesama eks-tapol akibat stigma yang mereka terima. Mereka dijauhkan dari masyarakat.

Dari kantor polisi para tahanan ini dibawa ke kamp tahanan Panembong. Disini tenaga mereka dikuras, dijadikan sebagai pekerja tanpa bayaran, mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar yang diperintahkan atasan. Mereka membuat jalan, membuat jembatan, menebang pohon, menggali pasir, memecah batu, berkebun untuk kebutuhan atasan dan pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya.  Pernah suatu waktu mereka diculik, dipekerjaan illegal untuk kepentingan pimpinan yang lain diluar kamp. Tiba-tiba, suatu malam, Rosidi dan Endang dipaksa masuk ke jok belakang sebuah mobil. Ternyata mereka dibawa ke kolam ikan dan disuruh untuk mengeringkan kolam dan mengambil ikan-ikan disana. Seharian mereka menguras kolam tersebut dan menangkapi ikannya. Setelah selesai mereka kembali dimasukkan ke jok belakang mobil dan dibawa kembali ke kamp, tanpa diberi makan. Kata Rosidi, “boro-boro dikasih ikan, makan siang saja tidak dapat”. (hal 68). Dilain waktu pernah ia diculik lagi dan dibawa ke wilayah Puncak. Sesampai di sana ia diberi kampak dan gergaji. “cepat potong pinus untuk pohon Natal” kata petugas yang membawanya. Rosidi memotong pohon cemara tadi dan merapikannya didalam mobil. Ia diperintahkan jongkok di jok belakang dan diturunkan di kamp Panembong, tanpa dibayar. Pohon itu dibawa kerumah pejabat tentara yang akan merayakan Natal.

Kisah lain adalah ketika ia ditugaskan bersama beberapa teman-temannya mencari baru di sungai. Mereka dipaksa bekerja tanpa diberi makan siang dan tanpa digaji. Setelah seharian mencari dan memecah batu, Rosidi ke pasar menjadi kuli panggul. Uang sebagai kuli panggul itu yang ia pergunakan untuk membeli makan siang. Biasanya ia simpan tenaganya di pagi hari untuk dia gunakan lagi di siang hari, sebagai kuli panggul.

Kerja paksa tanpa gaji ini, menurut International People’s Tribunal di Den Haag 2016 dikategorikan sebagai perbudakan. Hal ini bertentangan dengan konvensi Anti Perbudakan yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia (hal. 44).

Jika dalam memoarnya Tedja menuliskan bahwa mereka diberi makanan yang bercampur beling, Rosidi mengisahkan mereka diberi makan nasi beunyeur, nasi yang diolah dari remah-remah beras yang bahkan sering sekali bercampur dengan kerikil. Makan nasi beunyeur ini sama sekali tidak mengenyangkan (hal. 58).

Beberapa dari para tapol ini ada yang dipindah ke pulau Buru, tapi tidak untuk Rosidi. Ia tetap tinggal di kamp. Kehidupan di kamp membosankan bagi Rosidi karena ia yang sudah terbiasa hidup bebas. Oleh karena itu, jika ada tawaran bekerja di luar ia sering sekali langsung mengacungkan tangan bersedia, walaupun terkadang ia tidak punya keahlian untuk itu. Buatnya, yang penting ia bisa menghirup udara bebas diluar sana, walaupun kemudian di malam hari-setelah selesai bekerja- ia harus kembali lagi ke kamp. Rosidi pernah bekerja di restaurant atau bekerja sebagai penebang kayu untuk kepentingan penguasa kamp.

Bagi tapol yang tinggal di kamp Panembong, mereka diizinkan untuk membawa keluarga. Rosidi membawa istrinya, Oneh dan mereka memiliki 3 anak yang lahir di kamp tersebut. Keuntungan lain tinggal di kamp adalah para tapol ini diizinkan bekerja mencari uang sendiri sepanjang uang tersebut sebagiannya disetorkan ke pengurus kamp. Rosidi dan beberapa tapol lain memilih mencari kodok yang disebut dengan ngobor. Meski ia harus bekerja semalaman dan berjalan kaki belasan kilometer untuk kembali ke kamp Panembong, Rosidi memilih pekerjaan ini. Menurutnya inilah cara ia menghidupi 4 orang yang tinggal bersamanya di kamp Panembong. Meski demikian status tapol yang disandangnya sering membuatnya merasa grogi. Sering sekali ia tidak diizinkan naik angkutan umum oleh sopir-sopir angkot. Mereka tidak mau berhenti ketika melihat orang-orang yang membawa perlengkapan ngobor yang memberhentikan mobil mereka. Para sopir ini telah diberi tahu bahwa orang yang ngobor itu adalah para komunis yang ditahan di Kamp Panembong. Para penjahat yang membunuh para jendral di Jakarta. Termakan hasutan itu, para sopir itu tidak mau menghentikan mobil mereka. Ini memaksa Rosidi berjalan belasan kilometer lagi untuk sampai di Kamp Panembong setelah semalaman bekerja mencari kodok.

Yang berbeda dari buku Cerita Hidup Rosidi ini adalah perihal memaafkan dari para korban dan pelaku. Hal yang tidak ada di buku Tedjabayu. Rosidi, setelah 13 tahun menjadi tahanan politik, sempat menjenguk bekas komandan kamp Panembong, Dadang Mulyadi. Waktu itu Dadang sedang sakit dan Rosidi menjenguknya. Dadang meminta agar Rosidi tidak dendam padanya dan mau memaafkannya. Rosidi memaafkan sambil berkata “sudah saya maafkan. Bapak kan hanya menjalankan tugas”.

Buku ini menceritakan sisi lain dari para tahanan politik yang ditangkap Oktober 1965. Jika Tedjabayu menuliskan memoarnya setelah melewati beberapa kamp tahanan sampai kemudian di buang ke Pulau Buru, Rosidi menceritakan kisah pilunya sebagai orang yang ditahan di wilayah Jawa Barat. Namun kedua buku ini bercerita hal yang sama, betapa kejam perlakuan yang mereka dapatkan, padahal mereka sendiri tidak tau kesalahan apa yang telah mereka lakukan. Mereka ditahan tanpa ada proses pengadilan dan dipaksa bekerja tanpa dibayar. Saya betul-betul tidak menyangka bahwa ternyata pemimpin Indonesia pernah memperlakukan anak bangsa seperti ini, jauh dari rasa kemanusiaan.