Karena
mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh Yayasan Pantau, saya mendapat
beberapa buku yang sebaiknya kami baca, sebagai peserta kegiatan. Saya baru
saja menyelesaikan buku berjudul “Cerita Hidup Rosidi”, salah satu buku yang
kami terima. Buku setebal 260 halam ini berkisah tentang perjalanan hidup
seorang tahanan politik, yang dianggap PKI pada tahun 1965. Ia masih hidup
hingga buku ini ditulis tahun 2016, entah sekarang. Ia berusia 80 tahun Ketika buku
ini ditulis.
Buku
ini menarik, karena pasti masih banyak Rosidi-Rosidi yang lain, yang cerita
hidupnya selama masa kelam itu belum terdokumentasikan.
Saya
pribadi lebih menyukai buku Tedjabayu, Mutiara di Padang Ilalang, karena buku
itu adalah buku yang ditulis sendiri oleh Tedjabayu. Berbeda dengan kisah hidup
Rosidi, yang dituliskan oleh Tosca Santoso. Tedja, sama halnya seperti Rosidi,
adalah korban 65, masyarakat biasa yang dituduh sebagai anggota PKI. Tedja
ditangkap di Jogjakarta, ketika sedang mengikuti rapat di organisasi yang
dianggap underbow PKI. Sedangkan Rosidi ditangkap karena memiliki kartu Sarbupri,
organisasi buruh yang dianggap sebagai organisasi underbouw PKI. Sarbupri,
Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia, didirikan tanggal 17 Februari
1947.
Sebenarnya,
yang akan ditangkap tentara adalah paman Rosidi, Salna. Naas, Rosidi sedang
mengunjungi pamannya dan karena Rosidi berkata pamannya tidak ada, tentara
meminta kartu identitas Rosidi dan Rosidi memberikan kartu anggota Sarbupri,
iapun diangkut tentara dan dibawa ke kantor polisi Sukanegara. Rosidi mengira
ia hanya di periksa sebentar, namun ternyata ‘sebentar’ itu sampai mencapai 13
tahun. 13 tahun sebagai tahanan politik, tanpa pernah diadili. Pernah suatu
masa ia memiliki KTP yang bertanda “ET” (eks-tapol). Selama masa Orde baru ia
dan keluarganya dianggap sebagai ancaman dan tidak boleh ikut pemilu. Para
eks-tapol ini menikahkan anak-anak mereka dengan keturunan sesama eks-tapol
akibat stigma yang mereka terima. Mereka dijauhkan dari masyarakat.
Dari
kantor polisi para tahanan ini dibawa ke kamp tahanan Panembong. Disini tenaga
mereka dikuras, dijadikan sebagai pekerja tanpa bayaran, mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan kasar yang diperintahkan atasan. Mereka membuat jalan,
membuat jembatan, menebang pohon, menggali pasir, memecah batu, berkebun untuk
kebutuhan atasan dan pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya. Pernah suatu waktu mereka diculik,
dipekerjaan illegal untuk kepentingan pimpinan yang lain diluar kamp.
Tiba-tiba, suatu malam, Rosidi dan Endang dipaksa masuk ke jok belakang sebuah
mobil. Ternyata mereka dibawa ke kolam ikan dan disuruh untuk mengeringkan
kolam dan mengambil ikan-ikan disana. Seharian mereka menguras kolam tersebut
dan menangkapi ikannya. Setelah selesai mereka kembali dimasukkan ke jok
belakang mobil dan dibawa kembali ke kamp, tanpa diberi makan. Kata Rosidi,
“boro-boro dikasih ikan, makan siang saja tidak dapat”. (hal 68). Dilain waktu
pernah ia diculik lagi dan dibawa ke wilayah Puncak. Sesampai di sana ia diberi
kampak dan gergaji. “cepat potong pinus untuk pohon Natal” kata petugas yang
membawanya. Rosidi memotong pohon cemara tadi dan merapikannya didalam mobil.
Ia diperintahkan jongkok di jok belakang dan diturunkan di kamp Panembong,
tanpa dibayar. Pohon itu dibawa kerumah pejabat tentara yang akan merayakan
Natal.
Kisah
lain adalah ketika ia ditugaskan bersama beberapa teman-temannya mencari baru
di sungai. Mereka dipaksa bekerja tanpa diberi makan siang dan tanpa digaji.
Setelah seharian mencari dan memecah batu, Rosidi ke pasar menjadi kuli
panggul. Uang sebagai kuli panggul itu yang ia pergunakan untuk membeli makan
siang. Biasanya ia simpan tenaganya di pagi hari untuk dia gunakan lagi di
siang hari, sebagai kuli panggul.
Kerja
paksa tanpa gaji ini, menurut International People’s Tribunal di Den Haag 2016
dikategorikan sebagai perbudakan. Hal ini bertentangan dengan konvensi Anti
Perbudakan yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia (hal. 44).
Jika
dalam memoarnya Tedja menuliskan bahwa mereka diberi makanan yang bercampur
beling, Rosidi mengisahkan mereka diberi makan nasi beunyeur, nasi yang
diolah dari remah-remah beras yang bahkan sering sekali bercampur dengan
kerikil. Makan nasi beunyeur ini sama sekali tidak mengenyangkan (hal.
58).
Beberapa
dari para tapol ini ada yang dipindah ke pulau Buru, tapi tidak untuk Rosidi.
Ia tetap tinggal di kamp. Kehidupan di kamp membosankan bagi Rosidi karena ia
yang sudah terbiasa hidup bebas. Oleh karena itu, jika ada tawaran bekerja di
luar ia sering sekali langsung mengacungkan tangan bersedia, walaupun terkadang
ia tidak punya keahlian untuk itu. Buatnya, yang penting ia bisa menghirup
udara bebas diluar sana, walaupun kemudian di malam hari-setelah selesai
bekerja- ia harus kembali lagi ke kamp. Rosidi pernah bekerja di restaurant
atau bekerja sebagai penebang kayu untuk kepentingan penguasa kamp.
Bagi
tapol yang tinggal di kamp Panembong, mereka diizinkan untuk membawa keluarga.
Rosidi membawa istrinya, Oneh dan mereka memiliki 3 anak yang lahir di kamp
tersebut. Keuntungan lain tinggal di kamp adalah para tapol ini diizinkan
bekerja mencari uang sendiri sepanjang uang tersebut sebagiannya disetorkan ke
pengurus kamp. Rosidi dan beberapa tapol lain memilih mencari kodok yang
disebut dengan ngobor. Meski ia harus bekerja semalaman dan berjalan
kaki belasan kilometer untuk kembali ke kamp Panembong, Rosidi memilih
pekerjaan ini. Menurutnya inilah cara ia menghidupi 4 orang yang tinggal
bersamanya di kamp Panembong. Meski demikian status tapol yang disandangnya
sering membuatnya merasa grogi. Sering sekali ia tidak diizinkan naik angkutan
umum oleh sopir-sopir angkot. Mereka tidak mau berhenti ketika melihat
orang-orang yang membawa perlengkapan ngobor yang memberhentikan mobil
mereka. Para sopir ini telah diberi tahu bahwa orang yang ngobor itu
adalah para komunis yang ditahan di Kamp Panembong. Para penjahat yang membunuh
para jendral di Jakarta. Termakan hasutan itu, para sopir itu tidak mau
menghentikan mobil mereka. Ini memaksa Rosidi berjalan belasan kilometer lagi
untuk sampai di Kamp Panembong setelah semalaman bekerja mencari kodok.
Yang
berbeda dari buku Cerita Hidup Rosidi ini adalah perihal memaafkan dari para
korban dan pelaku. Hal yang tidak ada di buku Tedjabayu. Rosidi, setelah 13
tahun menjadi tahanan politik, sempat menjenguk bekas komandan kamp Panembong,
Dadang Mulyadi. Waktu itu Dadang sedang sakit dan Rosidi menjenguknya. Dadang
meminta agar Rosidi tidak dendam padanya dan mau memaafkannya. Rosidi memaafkan
sambil berkata “sudah saya maafkan. Bapak kan hanya menjalankan tugas”.
Buku
ini menceritakan sisi lain dari para tahanan politik yang ditangkap Oktober
1965. Jika Tedjabayu menuliskan memoarnya setelah melewati beberapa kamp
tahanan sampai kemudian di buang ke Pulau Buru, Rosidi menceritakan kisah
pilunya sebagai orang yang ditahan di wilayah Jawa Barat. Namun kedua buku ini
bercerita hal yang sama, betapa kejam perlakuan yang mereka dapatkan, padahal
mereka sendiri tidak tau kesalahan apa yang telah mereka lakukan. Mereka
ditahan tanpa ada proses pengadilan dan dipaksa bekerja tanpa dibayar. Saya
betul-betul tidak menyangka bahwa ternyata pemimpin Indonesia pernah
memperlakukan anak bangsa seperti ini, jauh dari rasa kemanusiaan.
