Rabu, 20 Oktober 2021

Entahlah..

 

    Beberapa hari lalu saya mengirimkan satu artikel ttg seorang teman untuk teman Jepang saya. Artikel itu adalah:

https://www.insideindonesia.org/a-heroine-for-humanity

    Beberapa hari kemudian, teman Jepang itu membalas imel saya dan mengatakan ingin berbicang-bincang dengan teman yang ada di artikel tadi. Dia juga mengirimkan saya satu link yang menuliskan tentang kegiatan lembaganya. Link itu adalah:

https://www.seedsasia.org/eng/past-activities/11

    Saat saya buka link tadi, saya terkejut karena saya kira lembaganya bekerja di Aceh karena wajah dan penampilan perempuan yang ada didalam foto itu benar2 seperti perempuan-perempuan muslim di Aceh. Saat membaca isi link itu, barulah saya tau jika foto itu diambil di Maldevis. Di Indonesia lembaga teman saya tadi bekerja di Jogjakarta, bukan di Aceh.

    Tulisan ini bukan ingin mengkritisi tentang kegiatan2 program yang mereka berikan, tapi saya ingin merenungi tentang jilbab yang dipakai di foto2 itu.

    Gaya jilbab yang dipakai oleh remaja perempuan difoto itu pertama sekali saya lihat pada tahun 1996, saat saya mengikuti salah satu program pertukaran pemuda Asia tenggara –Jepang. Beberapa teman2 perempuan Malaysia menggunakan model Jilbab yang persis sama. Tahun 2003, saat berkunjung ke Pattani (sebagai turis) saya melihat perempuan2 muslim disana juga menggunakan jilbab dengan model yang sama. Saat kembali ke Aceh (hingga hari ini) banyak anak2 Aceh (dan tentunya juga saya) menggunakan model jilbab yang sama seperti ini. Dan sekarang, saya melihat bahwa perempuan muslim Maldevis juga menggunakan model jilbab yang sama.

    Lalu, saya melihat satu bentuk keseragaman disini. Aceh, mungkin dipengaruhi dengan gaya jilbab dari Malaysia, begitu juga Thailand bagian selatan, tempat yang pernah saya kunjungi tahun 2003 lalu. Malah saat ini di Aceh banyak terdapat jilbab yang didatangkan dari Malaysia, sehingga terkenal dengan sebutan ‘jilbab Malaysia”. Namun gaya jilbab di Maldavis membuat saya bertanya-tanya dari mana mereka mendapatkan gaya jilbab yang seperti itu? Bagi Aceh dan Selatan Thailand, pengaruh model berjilbab yang sama seperti di Malaysia tentu bukan perkara sulit, karena Aceh dan Thailand selatan merupakan daerah tetangga Malaysia,sehingga, pengaruh dari negara ini akan sangat mudah masuk ke kedua daerah tadi. Tapi setelah saya mencoba mencari letak Maldavis di Google, saya kira pengaruh gaya jilbab di Aceh, Malaysia dan Thailand selatan sepertinya sangat susah untuk bisa masuk kesitu, karena wilayahnya yang terbilang jauh dari 3 daerah tadi.

    Maka saya mencoba berasumsi bahwa gaya jilbab yang seperti itu mereka dapatkan dari televisi. Dan karena mereka juga berada di kawasan Asia, maka model jilbab yang mereka kenakan, mereka ikuti seperti perempuan Asia lainnya yang mayoritas muslim, yaitu Malaysia dan Indonesia (dalam hal ini Aceh).

    Namun kemudian saya melihat betapa seragam itu tidak menarik. Betapa gaya jilbab yang menjadi seragam itu membuat kita kehilangan jati diri. Saya misalnya, saat saya melihat foto perempuan2 itu, saya langsung berfikir bahwa itu adalah perempuan2 Aceh. Setelah melihat penjelasan di link tersebut saya baru tahu bahwa itu adalah perempuan Maldavis.

    Kita lalu menjadi kehilangan jati diri. Dan disinilah apa yang Socrates sebutkan tentang mengikuti suara mayoritas menemukan contohnya. Kata Socrates, kita menjadi pengikut mayoritas karena adanya tekanan yang menyeluruh yang membuat kita harus menjadi seperti yang lain. Misalnya, kita takut kehilangan tempat dalam grup kita. Jadi, setuju tidak setuju kita lalu setuju pada suara mayoritas.

    Asumsi saya perempuan muslim Maldavis merasa nyaman jika bisa mengikuti kelompok mayoritas yang lain yaitu Indonesia dan Malaysia, karena dua negara ini merupakan mayoritas muslim terbesar di Asia Tenggara. Dan supaya tidak ditinggalkan kelompoknya, maka mereka mengikuti bagaimana kelompok muslim mayoritas berpakaian.

    pengalaman lain adalah ketika di kelas belajar bersama dengan mahasiswa dari berbagai nengara. Ketika itu dosen bertanya apa yang kami ucapkan ketika berdo'a sebelum makan. teman dari Jepang mengucapkan do'a untuk makan. teman dari Portugal juga mengucapkan do;a dalam bahasa mereka. lalu teman dari Arab Saudi mengucapkan doa 'bismilahirrahmannirrahim'. ketika tiba di saya, yang duduk di sebelah teman Arab Saudi ini, saya katakan "sama". Lalu dosen bertanya lagi apa yang kami ucapkan ketika selesai makan. teman Jepang mengucapkan do'anya. Teman portugal juga menyampaikan do'anya. Lalu teman Saudi mengucapkan "alhamdulillah". ketika sampai di giliran saya, saya katakan "sama", sama seperti yang diucapkan teman dari Saudi. teman-teman saya keheranan. Teman Jepang bertanya "mengapa kamu harus mengatakan kata yang sama seperti yang dari Saudi? apakah kamu tidak punya kata sendiri?".

Waduh, saya tercenung. dan saya tidak merasa istimewa. saya merasa tidak punya identitas karena hanya untuk mengucapkan syukur saja saya harus menggunakan bahasa Arab.

Buat saya ini menjadi menyedihkan. Seperti yang saya sebutkan diatas, kita menjadi kehilangan jati diri. Tidakkah kita bisa menjadi muslim tanpa harus kehilangan jati diri?


Tahun 2000 saya sempat berkunjung ke Bali. Disana saya melihat bagaimana perempuan
- perempuan Bali masih tetap menggunakan kain kebayanya tanpa harus menggunakan kain sari seperti di India. Padahal kita tahu Hindu awalnya berasal dari India. Saya tidak tahu apakah ada orang2 Hindu lain diluar sana yang menggunakan gaya berpakaian seperti orang-orang India atau Bali.

    Maka, sepertinya Aceh (juga muslim Maldavis) sedang kehilangan identitas diri, seperti apa yang dituliskan oleh Paul Zecola dalam artikel pertama diatas.

Entahlah…(mengutip status seorang teman).

Aceh Seperti Kelantan (?)

 Berikut ini adalah tulisan lama saya yang pernah saya posting di blog lama. Blog tersebut terpaksa di nonaktivekan karena kasus dulu itu. Saya temukan tulisan ini di blog seseorang, jadi saya pindahkan ke sini.

==============================

Awal Januari 2009 saya berkunjung ke Malaysia, tepatnya ke Kelantan. Salah seoarang teman Malaysia yang ada di Aceh berkata bahwa Banda Aceh sama seperti Kelantan 10 tahun lalu. Mendengar komentarnya ini saya ingin segera berangkat ke sana untuk membuktikan kalau Kelantan lebih hebat dari Aceh.

Pesawat yang kami tumpangi adaalh AirAsia yang membawa kami ke Kuala Lumpur. Di KL kami menginap satu malam dan esok paginya berangkat lagi ke bandara dan terbang menuju Kelantan. Ada pengalaman menarik yang saya dapatkan di Kelantan. Saya perhatikan kalau nama jalan dan kantor ditulis dalam dua bahasa, bahasa Melayu dan bahasa Arab Melayu. Pengalaman ini persis sama saat saya berkunjung ke Pattani, wilayah selatan Thailand. Tulisan yang dipakai di kantor dan toko adalah bahasa Thai dan bahasa Arab Melayu. Baliho yang dipasang juga memakai model perempuan yang menggunakan jilbab. Persis seperti di Kelantan dan Banda Aceh.

Saat mengunjungi Dinas perempuan, keluarga dan olahraga kami juga menemukan pengalaman yang menarik. Dari wawancara dengan mereka, dikatakan bahwa di Kelantan diterapkan Syariat Islam, salah satunya adalah pemisahan laki-laki dan perempuan diruang publik. Sehingga mereka mempunyai pemimpin perempuan yang cukup banyak karena para perempuan-perempuan itu harus mengurusi perempuan-perempuan lainnya. Bahkan, mereka punya ruangan khusus untuk pertunjukkan kesenian yang diperbolehkan didatangi perempuan. Di gedung kesenian itu, yang boleh bernyanyi hanya lelaki, yang ditonton oleh perempuan. Salah seorang anggota dewan (perempuan) yang bertemu dengan kami saat itu menjelaskan bahwa suara perempuan adalah aurat, jadi tidak boleh bernyanyi. Sedangkan suara laki-laki bukan aurat, jadi suara laki-laki itu bisa dinikmati oleh penonton perempuan.

Saat mereka menjelaskan tentang pemisahan ruang laki-laki dan perempuan sehingga mereka mempunyai pemimpin2 perempuan, saya sempat tercenung mendengar apa yang mereka lakukan. Perempuan tidak dibangun pemikirannya bahwa perempuan juga bisa memimpin. Disatu sisi apa yang mereka lakukan memberikan kontribusi positif bagi perempuan, yaitu lahirnya pemimpin-pemimpin perempuan. Tapi sisi negatifnya adalah, para perempuan itu tidak terbangun pemikirannya bahwa perempuanpun bisa jadi pemimpin bagi laki-laki.

Beberapa perempuan yang saya temui dalam pertemuan itu berkata bahwa pemimpin mereka adalah orang yang sangat menghargai perempuan, jadi kegiatan apapun, sepajang itu berdasarkan Al-qur’an dan hadist maka kegiatan itu akan diACC.

Sistem pemerintahan Penang juga unik. anggota dewan yang saya temui itu mengatakan bahwa kegiatan akan dijalankan jika sudah disepakati oleh Majelis ulama mereka. Bagi saya ini terbilang unik, karena bagaimana mungkin sekumpulan Ulama bisa melegalisir kegiatan yang bersifat duniawi? Apakah mereka cukup mengerti tentang ekonomi, hukum dan hal-hal lain yang bersifat duniawi?

Malamnya, saya berbincang-bincang dengan teman Malaysia yang datang ke penginapan. Saya sampaikan keterkejutanku tentang betapa besar peran ulama didalam sistem pemerintahan di Kelantan. Kata beliau, menangya partai PAS adalah karena pemimpin mereka yang zuhud, dan karena kezuhudannya korupsi bisa dikatakan tidak ada.

Tapi pertanyaannya, apakah Aceh mempunyai pemimpin seperti itu?

Hal menarik kedua adalah saat shalat disalah satu mesjid di kota Kelantan. Mungkin ini adalah mesjid terbesar di daerah itu. Sayangnya saya hanya berasumsi karena tidak ada orang yang bisa saya tanyai.Sebenarnya, mesjid ini hanya satu, tapi uniknya mesjid ini dibagi dua sehingga membentuk dua mesjid yang persis sama. Kedua mesjid ini disambungkan oleh koridor yang memisahkan antara mesjid yang digunakan oleh laki-laki dan mesjid yang digunakan oleh perempuan. posisi mesjid ini sama sekali bukan seperti posisi dalam shalat, yaitu perempuan di belakang laki-laki. Tapi, mesjid ini dibuat beriringan, sehingga jemaah perempuan beriringan dengan jemaah laki-laki. Ada loudspeaker yang dipasang ditempat mesjid perempuan sehingga saat shalat, perempuan juga bisa mendengarkan azan atau do’a imam(pemimpin shalat) yang ada dimesjid para lelaki.

Hal lain lagi yang menjadi pengamatanku adalah bagaimana perempuan-perempuan diKelantan menggunakan baju kurung. Dalam kunjungan yg hanya dua hari itu, saya hampir tidak melihat ada perempuan yang menggunakan sepeda motor. Ada sepeda motor yang lalu lalang, tapi tidak banyak dan semuanya dikendarai oleh laki-laki. Bisa dikatakan tidak ada perempuan yang lalu lalang di jalan yang menggunakan celana panjang. Saya tidak tahu apakah baju kurung memang baju asli masyarakat di Kelantan atau merupakan baju nasional di Malaysia. Seperti kita di Indonesia yang menggunakan kebaya sebagai baju nasional bagi perempuan. Saat saya perhatikan, ternyata perempuan-perempuan itu tidak ada yang menaiki sepeda motor. Mereka semua menggunakan mobil. Teman saya sempat nyeletuk ”salah besar memaksakan perempuan-perempuan Aceh pake rok, lha… kita kan ga semakmur orang-orang disini. Coba… semua kita dikasih mobil, pasti kita pada pake rok semua. Ini… yang kita punya cuma kereta (penjelasan, di Aceh sepeda motor kami sebut dengan kereta), gimana mau make rok tiap hari?”.

Disinilah terlihat bahwa budaya suatu bangsa tidak bisa dipaksakan pada budaya yang lain.

Jika dilihat secara kasat mata, Kelantan memang makmur. Ukuran makmur yang saya pakai disini adalah ada beberapa gedung tinggi yang sepertinya bertingkat 8 atau 10. Jika dilihat dari gedung ini, mungkin benar seperti teman Malaysia saya yang ada di Aceh yang mengatakan bahwa Banda Aceh sekarang sama seperti Kelantan 11 tahun lalu. Karena di banda Aceh, sepanjang yang saya ingat tidak ada gedung berlantai 8 hingga10. Selain itu kebanyakan orang-orang disana menggunakan mobil. Jika di Aceh, orang yang bermobil hanyalah mereka yang sudah mapan secara ekonomi.

Maka, untuk bisa membuat Aceh menjadi seperti Kelantan, hal pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana membuat masyarakatnya menjadi makmur sehingga perempuan bisa mempunyai mobil sendiri dan mengendarai mobilnya dengan nyaman. Dan saya berasumsi bahwa sebagian perempuan2 ini tentu tidak akan menolak jika diminta menggunakan rok, karena pasti akan nyaman sekali menggunakan rok saat mengendarai mobil daripada saat mengendarai sepeda motor.

Melihat kondisi Aceh yang menurut sensus tahun 2009 sebagai daerah termiskin no 6 di Indonesia(info dari Acehkita komunitas) maka menjadikan Aceh seperti Kelantan tentunya membutuhkan usaha yang luar biasa berat. Butuh komitmen bersama.