Beberapa hari lalu saya mengirimkan satu
artikel ttg seorang teman untuk teman Jepang saya. Artikel itu adalah:
https://www.insideindonesia.org/a-heroine-for-humanity
Beberapa hari kemudian, teman Jepang itu
membalas imel saya dan mengatakan ingin berbicang-bincang dengan teman yang ada di
artikel tadi. Dia juga mengirimkan saya satu link yang menuliskan tentang
kegiatan lembaganya. Link itu adalah:
https://www.seedsasia.org/eng/past-activities/11
Saat saya buka link tadi, saya terkejut
karena saya kira lembaganya bekerja di Aceh karena wajah dan penampilan
perempuan yang ada didalam foto itu benar2 seperti perempuan-perempuan muslim
di Aceh. Saat membaca isi link itu, barulah saya tau jika foto itu diambil di
Maldevis. Di Indonesia lembaga teman saya tadi bekerja di Jogjakarta, bukan di
Aceh.
Tulisan ini bukan ingin mengkritisi
tentang kegiatan2 program yang mereka berikan, tapi saya ingin merenungi
tentang jilbab yang dipakai di foto2 itu.
Gaya jilbab yang dipakai oleh remaja
perempuan difoto itu pertama sekali saya lihat pada tahun 1996, saat saya
mengikuti salah satu program pertukaran pemuda Asia tenggara –Jepang. Beberapa
teman2 perempuan Malaysia menggunakan model Jilbab yang persis sama. Tahun
2003, saat berkunjung ke Pattani (sebagai turis) saya melihat perempuan2 muslim
disana juga menggunakan jilbab dengan model yang sama. Saat kembali ke Aceh
(hingga hari ini) banyak anak2 Aceh (dan tentunya
juga saya) menggunakan model jilbab yang sama seperti ini. Dan sekarang, saya
melihat bahwa perempuan muslim Maldevis juga menggunakan model jilbab yang
sama.
Lalu, saya melihat satu bentuk
keseragaman disini. Aceh, mungkin dipengaruhi dengan gaya jilbab dari Malaysia,
begitu juga Thailand bagian selatan, tempat yang pernah saya kunjungi tahun
2003 lalu. Malah saat ini di Aceh banyak terdapat jilbab yang didatangkan dari
Malaysia, sehingga terkenal dengan sebutan ‘jilbab Malaysia”. Namun
gaya jilbab di Maldavis membuat saya bertanya-tanya dari mana mereka mendapatkan
gaya jilbab yang seperti itu? Bagi Aceh dan Selatan Thailand, pengaruh model
berjilbab yang sama seperti di Malaysia tentu bukan perkara sulit, karena Aceh
dan Thailand selatan merupakan daerah tetangga Malaysia,sehingga, pengaruh dari
negara ini akan sangat mudah masuk ke kedua daerah tadi. Tapi setelah saya
mencoba mencari letak Maldavis di Google, saya kira pengaruh gaya jilbab di
Aceh, Malaysia dan Thailand selatan sepertinya sangat susah untuk bisa masuk
kesitu, karena wilayahnya yang terbilang jauh dari 3 daerah tadi.
Maka saya mencoba berasumsi bahwa gaya
jilbab yang seperti itu mereka dapatkan dari televisi. Dan karena mereka juga
berada di kawasan Asia, maka model jilbab yang mereka kenakan, mereka ikuti
seperti perempuan Asia lainnya yang mayoritas muslim, yaitu Malaysia dan
Indonesia (dalam hal ini Aceh).
Namun kemudian saya melihat betapa
seragam itu tidak menarik. Betapa gaya jilbab yang menjadi seragam itu membuat
kita kehilangan jati diri. Saya misalnya, saat saya melihat foto perempuan2
itu, saya langsung berfikir bahwa itu adalah perempuan2 Aceh. Setelah melihat
penjelasan di link tersebut saya baru tahu bahwa itu adalah perempuan Maldavis.
Kita lalu menjadi kehilangan jati diri.
Dan disinilah apa yang Socrates sebutkan tentang mengikuti suara mayoritas
menemukan contohnya. Kata Socrates, kita menjadi pengikut mayoritas karena
adanya tekanan yang menyeluruh yang membuat kita harus menjadi seperti yang
lain. Misalnya, kita takut kehilangan tempat dalam grup kita. Jadi, setuju
tidak setuju kita lalu setuju pada suara mayoritas.
Asumsi saya perempuan muslim Maldavis merasa nyaman jika bisa mengikuti kelompok mayoritas yang lain yaitu Indonesia dan Malaysia, karena dua negara ini merupakan mayoritas muslim terbesar di Asia Tenggara. Dan supaya tidak ditinggalkan kelompoknya, maka mereka mengikuti bagaimana kelompok muslim mayoritas berpakaian.
pengalaman lain adalah ketika di kelas belajar bersama dengan mahasiswa dari berbagai nengara. Ketika itu dosen bertanya apa yang kami ucapkan ketika berdo'a sebelum makan. teman dari Jepang mengucapkan do'a untuk makan. teman dari Portugal juga mengucapkan do;a dalam bahasa mereka. lalu teman dari Arab Saudi mengucapkan doa 'bismilahirrahmannirrahim'. ketika tiba di saya, yang duduk di sebelah teman Arab Saudi ini, saya katakan "sama". Lalu dosen bertanya lagi apa yang kami ucapkan ketika selesai makan. teman Jepang mengucapkan do'anya. Teman portugal juga menyampaikan do'anya. Lalu teman Saudi mengucapkan "alhamdulillah". ketika sampai di giliran saya, saya katakan "sama", sama seperti yang diucapkan teman dari Saudi. teman-teman saya keheranan. Teman Jepang bertanya "mengapa kamu harus mengatakan kata yang sama seperti yang dari Saudi? apakah kamu tidak punya kata sendiri?".
Waduh, saya tercenung. dan saya tidak merasa istimewa. saya merasa tidak punya identitas karena hanya untuk mengucapkan syukur saja saya harus menggunakan bahasa Arab.
Buat saya ini menjadi menyedihkan. Seperti yang saya sebutkan diatas, kita menjadi kehilangan jati diri. Tidakkah kita bisa menjadi muslim tanpa harus kehilangan jati diri?
Tahun 2000 saya sempat berkunjung ke Bali. Disana saya melihat bagaimana
perempuan- perempuan Bali masih tetap
menggunakan kain kebayanya tanpa harus menggunakan kain sari seperti di India. Padahal kita tahu Hindu awalnya berasal dari
India. Saya tidak tahu apakah ada orang2 Hindu lain diluar sana yang
menggunakan gaya berpakaian seperti orang-orang India atau Bali.
Maka, sepertinya Aceh (juga muslim Maldavis) sedang kehilangan identitas diri, seperti
apa yang dituliskan oleh Paul Zecola dalam artikel pertama diatas.
Entahlah…(mengutip status seorang teman).