Hari ini aku mengalami
banyak kisah karena mengunjungi tempat yang berbeda. Yang pertama, menemani
Pak James (bukan nama sebenarnya) bertemu dengan ketua prodi disalah satu fakultas di kampusku. Kenapa saya bisa bertemu pak James? Ini karena
Henni meWA saya dan berkata bahwa ada dosen dari Amrik yang ingin bertemu dan
mewawancara. Jadi, jadilah saya bertemu pak James dan ngobrol banyak. Akhirnya
di ujung pembicaraan dia bilang bahwa dia ingin membawa mahasiswanya untuk
berkunjung ke Aceh. Aku menyarankan ia bertemu dengan ketua jurusan salah satu prodidikampusku karena aku juga mengajar di fakultas tersebut.
Maka aku sms sibapak ketua jurusan,
minta waktu untuk bertemu beliau. Ia setuju untuk ketemu aku di sore hari, pas
di jam aku akan mengaja. Ketika ketemu beliau, aku
sampaikan “Pak, tadi saya ketemu dosen dari Santa Clara University,California. Ia ingin membawa mahasiswa untuk belajar agama di Aceh. Jadi, saya
usulkan untuk bertemu dengan bapak, mungkin bisa menjembatani kegiatan ini bisa
berlangsung di Aceh. Dari pembicaraan kami kemarin, sepertinya ia ingin
melakukan persis sama dengan apa yang saya lakukan sehingga saya berkasus dulu
itu. Tapi kan tidak bisa lagi saya bawa dari Fakultas Dakwah. Mumpung saya juga
mengajar di jurusan bapak, saya bilang mending ketemu dengan bapak saja untuk
membicarakan lebih lanjut”. Beliau tertegun, langsung katanya “oh bisa”.
Saya usulkan untuk ketemu
di Jum’at sore. Tapi Pak Kajur meminta untuk ketemu di hari Minggu. Aku
bilang, Senin dia sudah kembali ke Amerika. Akhirnya pak kajur minta untuk
ketemu Jum’at pagi saja, karena Jum’at sore ia harus bertemu dengan
Asesor.
Jum’at pagi jam 10.30, Pak James dan Pak Edi (driver) ke kampus. Aku sudah menunggu disitu dan
menelpon pak Kajur mengabarkan kami telah di fakultas. Pak Kajur membawa kami
ke ruangan pertemuan Dekan yang sangat besar, yang isinya hanya pak Kajur, Pak James, Pak Edi dan saya (ruangan pak Kajur tidak bisa di pakai karena penuh
dengan buku-buku untuk bahan pemeriksaan Asesor).
Pak James memperkenalkan
diri ke Pak Kajur, siapa dia dan tinggal dimana. Tapi sama sekali tidak
menyebutkan untuk apa dia datang ke Aceh. Aku udah khawatir, jangan-jangan pak Kajur berfikir “oh..ini orang hanya untuk mengadakan penelitian saja”.
Namun, secara personal,
saya banyak mendapat informasi dari Pak Kajur dan Pak James tentang bagaimana situasi keislaman orang-orang saat ini.
Misalnya; pak James berkata bahwa tadi malam adalah malam thanks Giving, acara
yang diperingati masyarakat Amerika. Di Banda Aceh ini, pak James merayakan
acara tersebut dengan makan malam bersama beberapa orang Amerika yang tinggal
di Banda Aceh; entah karena bekerja, entah karena menikah dengan orang Aceh.
Dipertemuan itu Pak James mendengarkan cerita dari salah seorang Amerika yang
mengajar bahasa Inggris di salah satu kursus di Banda Aceh. Ketika ia
menawarkan minuman botol kepada
muridnya, murid-murid itu tidak mau minum karena mereka takut kalau air itu
sudah dirapali sehingga ayat-ayat yang sudah mereka hafal akan hilang.
Saya betul-betul
terperangah mendengar cerita pak James.
Menurut pak Kajur, cerita
itu bisa difahami, karena anak-anak di Aceh, khususnya di Banda Aceh, banyak
yang masuk kesekolah-sekolah SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu), sekolah yang
menyatukan system secular dan agama. Murid-murid ini diharuskan menghafal
Alqur’an, sehingga karena anak-anak itu sudah menghafal Alqur’an mereka takut
air yang sudah ‘disihir’ itu akan menghilangkan hafalan mereka.
Saya menambahkan bahwa
saya mendapat cerita yang hampir sama. Seorang laki2 Amerika yang menikah
dengan seorang perempuan Aceh mempunyai anak laki-laki yang sekolah di sekolah
SDIT itu. Ketika seorang Amerika yang lain datang bertamu kerumahnya, ia
bertanya “what is your name?”, si tamu berkatanya “……”, si anak bertanya lagi
“what is your religion?”, si tamu bilang “I am Christian”, si anak menjawab
spontan “ you’re going to hell”.
Mendengar cerita yang
disampaikan oleh teman saya ketika itu, saya betul-betul kaget sampai tidak tau
harus bicara apa.
(lagi-lagi) Pak Kajur
bilang, ini bukan sesuatu yang patut diherankan. Murid-murid itu yang
bersekolah di SDIT adalah anak-anak yang dididik oleh guru-guru yang
berafiliasi pada partai politik PKS dan organisasi massa HTI, sehingga cara
berfikir guru yang begitu ultra konservatif tersebut diteruskan kepada
murid-murid itu. Dua contoh tadi merupakan hasil dari pendidikan yang didapat
oleh murid-murid di sekolah yang label agama. Saya kira, SDIT itu adalah
sekolah versi modern madrasah. Di Aceh sekarang, bagi orang tua yang kurang
mampu, mereka akan memasukkan anak mereka ke madrasah (MIN, MTsN atau MAN,
meski di Banda Aceh sudah ada MTs model dan MAN model). Tapi bagi orang tua
kaya mereka akan memasukkan anak-anak mereka ke SDIT karena menganggap
anak-anak mereka akan dibekali dengan ilmu agama yang memadai disana ketimbang
di sekolah SDN.
Usai bertemu dengan pak Kajur, kami lanjutkan mengunjungi anak-anak Kristen yang sekolah alkitab. Kegiatan
ini dibuat setiap jumat dari jam 12-2 siang. Anak-anak ini adalah mereka yang
sekolah di sekolah umum dan tidak mendapatkan pelajaran agama. Karenanya, ada
inisiative untuk memberikan anak-anak ini pelajaran dari al kitab sehingga
nanti ketika semester selesai mereka bisa memberikan nilai tersebut kepada
gurunya. Ketika kami sampai keruangan dimana proses belajar mengajar tadi
diadakan, ada sekitar 12 siswa setingkat smp dan 6 anak setingkat SD yangs
sedang belajar diruangan tadi. Ruangan kecil itu tidak mempunyai bangku untuk
belajar, jadi anak-anak itu duduk dilantai yang beralas karpet tipis dan
membaca alkitab, ditemani oleh seorang guru. Anak-anak itu duduk terpisah.
Disebelah kanan saya anak laki-laki dan disebelah kiri saya anak perempuan. Ketika
pulang anak-anak itu menyalami saya dan beberapa tamu yang ada. Menyalami lalu
meletakkan tangan kami kekening mereka, persis seperti anak-anak muslim
melakkukan salam pada orang yang lebih tua. Saya Tanya pada teman Kristen yang
ikut diacara itu, apakah memang anak-anak ini melakukan salam seperti anak-anak
muslim? Katanya salam yang seperti itu hanya untuk orang tua saja. Tapi kini
mereka lakukan juga pada orang lain yang dianggap dihormati dan dituakan.
Ketika memasuki ruangan
itu, seorang siswi berseru, terkejut. Dia melihat saya lama.
Saya diminta
memperkenalkan diri, begitu juga pak James. Ketika tiba waktu untuk bertanya,
si anak perempuan yang tadi berseru kaget, bertanya. Sebelum bertanya dia
bilang “bu..maaf ya kalau pertanyaannya ga sopan”. Waaah..anak SMP, tapi
ngomongnya sopan sekali. Saya langsung bilang “oh gapapa…saya ga akan
tersinggung”. Katanya” apakah ibu muslim?”. Saya bilang “iya..saya muslim”.
Katanya “tadi saya kaget lihat ibu pake jilbab, koq mau masuk ke sini”. Saya
bilang “apa salahnya masuk kesini? Kan saya tidak mau menceramahi kalian’
sambil cengengesan. “Bagaimana kita bisa saling kenal dan menjadi teman kalau
tidak saling mengunjungi? Saya ingin orang-orang Tionghoa dan komunitas Kristen
bisa menerima saya, karena dengan cara saling kenal dan berteman maka kita akan
bisa memunculkan persahabatan dan rasa percaya. Ketika kita sudah percaya satu
sama lain, maka kita bisa membangun Aceh ini bersama-sama”.
Ape yang saya katakan di
amini oleh Pak James. Beliau juga mengenalkan dirinya pada siswa yang ada
disitu.
Dalam bincang-bincang itu
saya bertanya pada mereka, apakah mereka punya teman Muslim? Kata mereka iya,
disekolah, tapi bukan sahabat. Hanya sebagai teman saja. “teman muslim itu ga
bisa dipercaya”, kata salah seorang dari mereka. Teman yang lain juga bilang
mereka sering sekali di bully. Dulu waktu SD dia sekolah di sekolah Methodist
(sekolah swasta milik yayasan Kristen yang mayoritas muridnya adalah Tionghoa
dan kelas elitis). Ketika SMP ayahnya memasukkan ke sekolah negeri karena
menurut si ayah lebih bermutu. Ketika masuk ke sekolah itu, dia langsung
dibully oleh teman muslim karena tidak pake jilbab. Dibilang ‘kerak neraka’.
Bahkan guru IPS mengatakan bahwa injil
mereka itu penipu.
Waaah…..mulut saya tidak
tertutup ketika mendegar penuturan mereka. Terperangah terus.
Anak-anak tersebut belajar
di ruko lantai tiga. Lantai satu sebagai
garasi, lantai dua untuk tempat tinggal dan lantai tiga sebagai menara do’a,
atau rumah do’a. Rumah do’a adalah tempat dimana umat Kristen yang berbeda
denominasi (kalau di Islam disebut mazhab) bisa berdo’a. Gereja berfungsi untuk
melaksanakan kegiatan ritual (berdo’a dipimpin pendeta dan nyanyi-nyayian),
sedangkan rumah do’a khusus untuk berdo’a saja.
Anak-anak ini belajar
tanpa memiliki meja atau kursi. Jadi mereka hanya berselonjor duduk di lantai
yang diberi karpet tipis. Ketika sedang belajar, tiba-tiba lampu mati.
Anak-anak itu terpaksa harus menggunakan lampu hape mereka untuk membaca
alkitab.
Kata seorang teman yang
mengajar di kelas Jum’at itu, sebenarnya dulu mereka telah berkegiatan di salah
satu gereja diBanda Aceh, tapi karena dana untuk pendidikan anak-anak itu tidak
disokong oleh pemerintah, gereja lalu tidak mengizinkan anak-anak ini untuk
belajar di gereja (sepertinya pihak gereja keberatan ruang mereka di pakai
tanpa support dana dari pihak pemerintah. Padahal nilai yang diberikan untuk
anak-anak itu dibawah komando pihak kemenag. Saya bisa memaklumi kejengkelan
pihak gereja. Listrik disitu perlu dibayar dong..belum lagi kertas dan
bahan-bahan yang difotokopi tentunya butuh dana. Begitu juga dana untuk guru
yang mengajar. Tapi semua itu dilakukan dengan ikhlas oleh guru-guru (yang
semuanya perempuan itu). Bahan yang perlu difotokopi, dikerjakan oleh satu
yayasan yang direkturnya juga jadi relawan yang mengajar anak-anak itu.
Sedih melihat anak-anak
itu harus belajar ditengah keterbatasan. Namun senang melihat minat belajar
mereka yang begitu besar. Meski banyak kekurangan, tapi mereka tetap semangat
untuk belajar. Menurut salah seorang pengajar, tahun depan mereka akan meminta
sedikit dana dari pihak orang tua murid, sehingga biaya listrik tidak terlalu
terbeban pada rumah do’a.
Ketika masih berada di
UIN, pak Edi (driver) berkata padaku bahwa anak yang berkata “well, you’re
going to hell” adalah anak seorang tetangganya dan anak itu berteman baik
dengan anaknya. Wah, dunia ini sempit sekali ternyata. Menurut Pak Edi, sianak
memang suka sekali berkata kasar, terutama pada orang Kristen. Tapi setelah
bergaul dengan anak Pak Edi (yang nota bene Kristen) si anak menjadi lebih
toleran. Mungkin menyadari kalau temannya juga Kristen.
Cerita yang lain saya
dapat dari teman dosen yang melanjutkan sekolahnya di Jogja. Ternyata, anaknya
berteman baik dengan salah seorang anak sahabat dekatku (yang Katolik) ketika
S2 di Jogja dulu. Menurut temanku yang dosen ini, ia bersyukur bahwa anaknya
bisa berteman dengan anak temanku tadi, karena karena anak teman inilah yang
membuat anaknya aware terhadap komunitas Kristen. Si anak dosen ini pernah
bertnya padanya, “yah…bagaimana si …..?”. Pertanyaan ini dia sampaikan ke
si ayah karena melihat banyak sekali kebencian terhadap komunitas Kristen. Saya kira, ia khawatir pada keselamatan temannya, oleh karena itu ia tanyakan bagaimana kondisi temannya itu kepada si ayah.
Jadi, untuk melumerkan
kebencian yang begitu banyak terhadap komunitas Kristen, maka sudah selayaknya
jika ada kegiatan bersama yang dilakukan secure lintas iman. Ini akan membantu
anak-anak muda kedepan untuk menghilangkan prasangka karena perbedaan agama.