Minggu, 27 November 2016

Sehari Jumat dengan Kisah Beragam



Hari ini aku mengalami banyak kisah karena mengunjungi tempat yang berbeda. Yang pertama, menemani Pak James (bukan nama sebenarnya) bertemu dengan ketua prodi disalah satu fakultas di kampusku.  Kenapa saya bisa bertemu pak James? Ini karena Henni meWA saya dan berkata bahwa ada dosen dari Amrik yang ingin bertemu dan mewawancara. Jadi, jadilah saya bertemu pak James dan ngobrol banyak. Akhirnya di ujung pembicaraan dia bilang bahwa dia ingin membawa mahasiswanya untuk berkunjung ke Aceh. Aku menyarankan ia bertemu dengan ketua jurusan salah satu prodidikampusku karena aku juga mengajar di fakultas tersebut. 

Maka aku sms sibapak ketua jurusan, minta waktu untuk bertemu beliau. Ia setuju untuk ketemu aku di sore hari, pas di jam aku akan mengaja. Ketika ketemu beliau, aku sampaikan “Pak, tadi saya ketemu dosen dari Santa Clara University,California. Ia ingin membawa mahasiswa untuk belajar agama di Aceh. Jadi, saya usulkan untuk bertemu dengan bapak, mungkin bisa menjembatani kegiatan ini bisa berlangsung di Aceh. Dari pembicaraan kami kemarin, sepertinya ia ingin melakukan persis sama dengan apa yang saya lakukan sehingga saya berkasus dulu itu. Tapi kan tidak bisa lagi saya bawa dari Fakultas Dakwah. Mumpung saya juga mengajar di jurusan bapak, saya bilang mending ketemu dengan bapak saja untuk membicarakan lebih lanjut”. Beliau tertegun, langsung katanya “oh bisa”. 

Saya usulkan untuk ketemu di Jum’at sore. Tapi Pak Kajur meminta untuk ketemu di hari Minggu. Aku bilang, Senin dia sudah kembali ke Amerika. Akhirnya pak kajur minta untuk ketemu Jum’at pagi saja, karena Jum’at sore ia harus bertemu dengan Asesor. 

Jum’at pagi jam 10.30, Pak James dan Pak Edi (driver) ke kampus. Aku sudah menunggu disitu dan menelpon pak Kajur mengabarkan kami telah di fakultas. Pak Kajur membawa kami ke ruangan pertemuan Dekan yang sangat besar, yang isinya hanya pak Kajur, Pak James, Pak Edi dan saya (ruangan pak Kajur tidak bisa di pakai karena penuh dengan buku-buku untuk bahan pemeriksaan Asesor). 

Pak James memperkenalkan diri ke Pak Kajur, siapa dia dan tinggal dimana. Tapi sama sekali tidak menyebutkan untuk apa dia datang ke Aceh. Aku udah khawatir, jangan-jangan pak Kajur berfikir “oh..ini orang hanya untuk mengadakan penelitian saja”. 

Namun, secara personal, saya banyak mendapat informasi dari  Pak Kajur dan Pak James tentang bagaimana situasi keislaman orang-orang saat ini. Misalnya; pak James berkata bahwa tadi malam adalah malam thanks Giving, acara yang diperingati masyarakat Amerika. Di Banda Aceh ini, pak James merayakan acara tersebut dengan makan malam bersama beberapa orang Amerika yang tinggal di Banda Aceh; entah karena bekerja, entah karena menikah dengan orang Aceh. Dipertemuan itu Pak James mendengarkan cerita dari salah seorang Amerika yang mengajar bahasa Inggris di salah satu kursus di Banda Aceh. Ketika ia menawarkan  minuman botol kepada muridnya, murid-murid itu tidak mau minum karena mereka takut kalau air itu sudah dirapali sehingga ayat-ayat yang sudah mereka hafal akan hilang. 

Saya betul-betul terperangah mendengar cerita pak James.

Menurut pak Kajur, cerita itu bisa difahami, karena anak-anak di Aceh, khususnya di Banda Aceh, banyak yang masuk kesekolah-sekolah SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu), sekolah yang menyatukan system secular dan agama. Murid-murid ini diharuskan menghafal Alqur’an, sehingga karena anak-anak itu sudah menghafal Alqur’an mereka takut air yang sudah ‘disihir’ itu akan menghilangkan hafalan mereka. 

Saya menambahkan bahwa saya mendapat cerita yang hampir sama. Seorang laki2 Amerika yang menikah dengan seorang perempuan Aceh mempunyai anak laki-laki yang sekolah di sekolah SDIT itu. Ketika seorang Amerika yang lain datang bertamu kerumahnya, ia bertanya “what is your name?”, si tamu berkatanya “……”, si anak bertanya lagi “what is your religion?”, si tamu bilang “I am Christian”, si anak menjawab spontan “ you’re going to hell”. 

Mendengar cerita yang disampaikan oleh teman saya ketika itu, saya betul-betul kaget sampai tidak tau harus bicara apa.

(lagi-lagi) Pak Kajur bilang, ini bukan sesuatu yang patut diherankan. Murid-murid itu yang bersekolah di SDIT adalah anak-anak yang dididik oleh guru-guru yang berafiliasi pada partai politik PKS dan organisasi massa HTI, sehingga cara berfikir guru yang begitu ultra konservatif tersebut diteruskan kepada murid-murid itu. Dua contoh tadi merupakan hasil dari pendidikan yang didapat oleh murid-murid di sekolah yang label agama. Saya kira, SDIT itu adalah sekolah versi modern madrasah. Di Aceh sekarang, bagi orang tua yang kurang mampu, mereka akan memasukkan anak mereka ke madrasah (MIN, MTsN atau MAN, meski di Banda Aceh sudah ada MTs model dan MAN model). Tapi bagi orang tua kaya mereka akan memasukkan anak-anak mereka ke SDIT karena menganggap anak-anak mereka akan dibekali dengan ilmu agama yang memadai disana ketimbang di sekolah SDN.

Usai bertemu dengan pak Kajur, kami lanjutkan mengunjungi anak-anak Kristen yang sekolah alkitab. Kegiatan ini dibuat setiap jumat dari jam 12-2 siang. Anak-anak ini adalah mereka yang sekolah di sekolah umum dan tidak mendapatkan pelajaran agama. Karenanya, ada inisiative untuk memberikan anak-anak ini pelajaran dari al kitab sehingga nanti ketika semester selesai mereka bisa memberikan nilai tersebut kepada gurunya. Ketika kami sampai keruangan dimana proses belajar mengajar tadi diadakan, ada sekitar 12 siswa setingkat smp dan 6 anak setingkat SD yangs sedang belajar diruangan tadi. Ruangan kecil itu tidak mempunyai bangku untuk belajar, jadi anak-anak itu duduk dilantai yang beralas karpet tipis dan membaca alkitab, ditemani oleh seorang guru. Anak-anak itu duduk terpisah. Disebelah kanan saya anak laki-laki dan disebelah kiri saya anak perempuan.   Ketika pulang anak-anak itu menyalami saya dan beberapa tamu yang ada. Menyalami lalu meletakkan tangan kami kekening mereka, persis seperti anak-anak muslim melakkukan salam pada orang yang lebih tua. Saya Tanya pada teman Kristen yang ikut diacara itu, apakah memang anak-anak ini melakukan salam seperti anak-anak muslim? Katanya salam yang seperti itu hanya untuk orang tua saja. Tapi kini mereka lakukan juga pada orang lain yang dianggap dihormati dan dituakan.  


Ketika memasuki ruangan itu, seorang siswi berseru, terkejut. Dia melihat saya lama.
Saya diminta memperkenalkan diri, begitu juga pak James. Ketika tiba waktu untuk bertanya, si anak perempuan yang tadi berseru kaget, bertanya. Sebelum bertanya dia bilang “bu..maaf ya kalau pertanyaannya ga sopan”. Waaah..anak SMP, tapi ngomongnya sopan sekali. Saya langsung bilang “oh gapapa…saya ga akan tersinggung”. Katanya” apakah ibu muslim?”. Saya bilang “iya..saya muslim”. Katanya “tadi saya kaget lihat ibu pake jilbab, koq mau masuk ke sini”. Saya bilang “apa salahnya masuk kesini? Kan saya tidak mau menceramahi kalian’ sambil cengengesan. “Bagaimana kita bisa saling kenal dan menjadi teman kalau tidak saling mengunjungi? Saya ingin orang-orang Tionghoa dan komunitas Kristen bisa menerima saya, karena dengan cara saling kenal dan berteman maka kita akan bisa memunculkan persahabatan dan rasa percaya. Ketika kita sudah percaya satu sama lain, maka kita bisa membangun Aceh ini bersama-sama”. 

Ape yang saya katakan di amini oleh Pak James. Beliau juga mengenalkan dirinya pada siswa yang ada disitu.

Dalam bincang-bincang itu saya bertanya pada mereka, apakah mereka punya teman Muslim? Kata mereka iya, disekolah, tapi bukan sahabat. Hanya sebagai teman saja. “teman muslim itu ga bisa dipercaya”, kata salah seorang dari mereka. Teman yang lain juga bilang mereka sering sekali di bully. Dulu waktu SD dia sekolah di sekolah Methodist (sekolah swasta milik yayasan Kristen yang mayoritas muridnya adalah Tionghoa dan kelas elitis). Ketika SMP ayahnya memasukkan ke sekolah negeri karena menurut si ayah lebih bermutu. Ketika masuk ke sekolah itu, dia langsung dibully oleh teman muslim karena tidak pake jilbab. Dibilang ‘kerak neraka’. Bahkan guru IPS mengatakan bahwa  injil mereka itu penipu. 

Waaah…..mulut saya tidak tertutup ketika mendegar penuturan mereka. Terperangah terus.


Anak-anak tersebut belajar di ruko lantai tiga. Lantai satu  sebagai garasi, lantai dua untuk tempat tinggal dan lantai tiga sebagai menara do’a, atau rumah do’a. Rumah do’a adalah tempat dimana umat Kristen yang berbeda denominasi (kalau di Islam disebut mazhab) bisa berdo’a. Gereja berfungsi untuk melaksanakan kegiatan ritual (berdo’a dipimpin pendeta dan nyanyi-nyayian), sedangkan rumah do’a khusus untuk berdo’a saja.


Anak-anak ini belajar tanpa memiliki meja atau kursi. Jadi mereka hanya berselonjor duduk di lantai yang diberi karpet tipis. Ketika sedang belajar, tiba-tiba lampu mati. Anak-anak itu terpaksa harus menggunakan lampu hape mereka untuk membaca alkitab.

Kata seorang teman yang mengajar di kelas Jum’at itu, sebenarnya dulu mereka telah berkegiatan di salah satu gereja diBanda Aceh, tapi karena dana untuk pendidikan anak-anak itu tidak disokong oleh pemerintah, gereja lalu tidak mengizinkan anak-anak ini untuk belajar di gereja (sepertinya pihak gereja keberatan ruang mereka di pakai tanpa support dana dari pihak pemerintah. Padahal nilai yang diberikan untuk anak-anak itu dibawah komando pihak kemenag. Saya bisa memaklumi kejengkelan pihak gereja. Listrik disitu perlu dibayar dong..belum lagi kertas dan bahan-bahan yang difotokopi tentunya butuh dana. Begitu juga dana untuk guru yang mengajar. Tapi semua itu dilakukan dengan ikhlas oleh guru-guru (yang semuanya perempuan itu). Bahan yang perlu difotokopi, dikerjakan oleh satu yayasan yang direkturnya juga jadi relawan yang mengajar anak-anak itu.


Sedih melihat anak-anak itu harus belajar ditengah keterbatasan. Namun senang melihat minat belajar mereka yang begitu besar. Meski banyak kekurangan, tapi mereka tetap semangat untuk belajar. Menurut salah seorang pengajar, tahun depan mereka akan meminta sedikit dana dari pihak orang tua murid, sehingga biaya listrik tidak terlalu terbeban pada rumah do’a.

Ketika masih berada di UIN, pak Edi (driver) berkata padaku bahwa anak yang berkata “well, you’re going to hell” adalah anak seorang tetangganya dan anak itu berteman baik dengan anaknya. Wah, dunia ini sempit sekali ternyata. Menurut Pak Edi, sianak memang suka sekali berkata kasar, terutama pada orang Kristen. Tapi setelah bergaul dengan anak Pak Edi (yang nota bene Kristen) si anak menjadi lebih toleran. Mungkin menyadari kalau temannya juga Kristen.

Cerita yang lain saya dapat dari teman dosen yang melanjutkan sekolahnya di Jogja. Ternyata, anaknya berteman baik dengan salah seorang anak sahabat dekatku (yang Katolik) ketika S2 di Jogja dulu. Menurut temanku yang dosen ini, ia bersyukur bahwa anaknya bisa berteman dengan anak temanku tadi, karena karena anak teman inilah yang membuat anaknya aware terhadap komunitas Kristen. Si anak dosen ini pernah bertnya padanya, “yah…bagaimana si …..?”. Pertanyaan ini dia sampaikan ke si ayah karena melihat banyak sekali kebencian terhadap komunitas Kristen.  Saya kira, ia khawatir pada keselamatan temannya, oleh karena itu ia tanyakan bagaimana kondisi temannya itu kepada si ayah.

Jadi, untuk melumerkan kebencian yang begitu banyak terhadap komunitas Kristen, maka sudah selayaknya jika ada kegiatan bersama yang dilakukan secure lintas iman. Ini akan membantu anak-anak muda kedepan untuk menghilangkan prasangka karena perbedaan agama.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar