Selasa, 30 Januari 2018

Ziarah Kubur



Hari ini Henny menelpon, mengajak ziarah kesalah seorang anggota MAF yang tewas tenggelam tahun 2010 lalu. Ceritanya, pada saat itu si bule sedang berenang di Lhoknga, tiba-tiba ada anak umur 12 tahun yang akan tenggelam. Dia langsung menolong anak tadi. Sayangnya dia dan anak tadi malah ikut tenggelam. Temannya yang lain, yang ikut menolong, selamat. Tapi dia tidak terselamatkan. Sianak menghilang, satu hari kemudian ditemukan, masih di pantai Lhoknga, sudah menjadi mayat.
Aku sering mendengar cerita ini dari Henny. Dia sering bercerita bagaimana tegarnya istri si penolong ini tadi. Ternyata hari ini beliau datang ke Aceh dan ingin mengunjungi makam suaminya, bersama sang anak yang kini sudah berumur 10 tahun. Henny bercerita bagaimana si anak, ketika ayahnya meninggal malah sangat senang karena banyak sekali orang dirumah. Si anak ketika itu berumur 2 tahun, sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi dirumah mereka.


Kini, si istri dan si anak datang lagi ke Aceh. Mereka mengunjungi makam suami dan ayah mereka. Biaya kedatangan di tanggung oleh perusahaan dimana si suami dulu bekerja. Karena perusahaan ini akan tutup di Aceh, perusahaan memberi kesempatan untuk si istri dan anaknya melihat makam suaminya untuk terakhir kalinya.

Dari apa yang aku dengar dari teman yang mengajakku mengunjungi makam ini, Ben (demikian nama si korban) sudah mengetahui bahwa dia akan mati muda. Ben lahir tahun 1980 dan meninggal tahun 2010. Ketika ia masih pacaran dengan si istri, ia telah memberitahu bahwa ia akan mati muda dan menanyakan pada si istri apakah dia masih akan mau menikah dengannya. Mungkin karena sudah diberitahu terlebih dahulu, menurut cerita temanku,si istri terlihat begitu tegar ketika mengetahui kematian suaminya. 

Kini, setelah 8 tahun, si istri dan anaknya datang ke Aceh untuk menjenguk makam si suami. Tadi, kami bertujuh datang mengunjungi makam itu. Makam itu mempunyai pusara yang berbeda dengan makam lainnya. Makam Ben dibuat dari batu kecil-kecil (batu yang lebih besar sedikit dari pasir) dan ada nisan disertai dengan foto Ben di nisan itu. Juga ada testimony yang tertulis di nisan itu.

Yang menarik adalah ternyata tiga tahun lalu si istri menikah lagi. Kini dia punya dua anak dari suaminya yang sekarang, Jordan (2th) dan Juli (6 bln). Suami yang sekarang adalah teman baik suaminya yang dulu. Aku sempat terpana ketika melihat bagaimana si istri menggunakan handphonenya menelpon si suami di Amerika sana dan menshoot makam tadi. Bagi pemikiran mereka yang konservatif (aku termasuk kali ya, hehehe) sangat heran melihat si suami yang tenang-tenang saja menerima shootingan istrinya, dan si suami tidak cemburu dengan apa yang dilakukan oleh si istri. Bagi sebagian orang, mungkin kehidupan yang lalu sudah selesai dan tidak perlu diungkit-ungkit kepada suami yang baru. Tapi untuk kasus ini lain. Saya sangat kagum melihat bagaimana si istri begitu tenangnya menunjukkan gambar makam almarhum suaminya pada suaminya sekarang. Sianak yang sudah berumur 10 tahun juga terlihat biasa saja ketika mengatakan pada ayah tirinya, bahwa ia sedang berada di makam ayahnya. 

Aku termangu melihat moment itu.

Temanku bercerita bahwa anaknya itu sangat mirip bapaknya yang telah meninggal. Selain mirip wajah, si anak juga punya kemiripan yang lain dengan si ayah almarhum, yaitu hobi pada hal mekanik. Ayah tiri yang sekarang adalah seorang seniman, sehingga si ayah sekarang suka kelabakan untuk menjawab pertanyaan si anak yang melulu berkaitan dengan mekanik. Menurut Henny, mungkin inilah yang menjadi permasalahan bagi mereka yang mempunyai anak tiri. Terkadang karena perbedaan selera dan minat membuat orang tua tiri tidak bisa dekat dengan anaknya.

Pengalaman hari ini begitu berharga. Saya jadi mengetahui bahwa terkadang kita tidak bisa hanya bersandar pada cinta. Toh cinta itu bisa hilang seketika. Dalam cinta, ada hal realistis yang juga perlu difikirkan. Life must go on….





Berita tentang Ben:
 
(http://beritasore.com/2010/11/11/pantai-lhoknga-berbahaya-warga-as-tewas-tenggelam/) 

Perempuan Aceh Award, akankah berlanjut?



Tulisan ini mencoba melihat tentang gerakan perempuan di Aceh yang mencoba mengangkat harkat dan martabat perempuan-perempuan akar rumput yang telah berbuat banyak untuk masyarakat, tetapi miskin penghargaan. Kerja-kerja perempuan selama ini sering hanya dilihat di lingkungan domestic, sehingga kerja-kerja mereka yang lain, yang berkaitan dengan isu-isu public, terkadang sering diremehkan. Akibatnya, kerja-kerja mulia yang telah dilakukan oleh mereka ini sering tidak dianggap.

Gerakan Perempuan Aceh telah melakukan kerja-kerja yang tidak sedikit. Diantara kegiatan tersebut adalah pemberdayaan perempuan dibidang ekonomi dan politik. Namun ditulisan ini, tema yang akan diangkat adalah usaha membangkitkan kesadaran masyarakat lewat pemberian penghargaan bagi perempuan-perempuan dipedesaan atas pengabdian mereka pada kemanusiaan.

Aceh telah lama dikenal sebagai daerah yang mempunyai banyak pejuang perempuan. Selain Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dan Malahayati yang sudah begitu mendunia namanya, Aceh masih mempunyai banyak pahlawan perempuan. Tercatat ada 18 perempuan berpengaruh dalam sejarah Aceh yang tercatat dari tahun 1353-1920. Dengan begitu banyaknya perempuan berkapasitas yang tercatat dalam sejarah Aceh, tidak heran jika hingga saat ini juga semangat para pejuang itu mengalir dalam darah perempuan Aceh. Hal ini ditambah lagi dengan konflik berkepanjangan yang terjadi di Aceh sehingga membentuk karakter perempuan Aceh menjadi begitu kuat.

Banyak sekali tulisan yang menuliskan tentang proses perdamaian di Aceh. Namun sedikit sekali yang menuliskan tentang peran perempuan sebagai agen perdamaian. Padahal, dalam salah satu perbincangan dengan seorang perempuan aktivis dikatakannya bahwa ketika konflik terjadi, perempuan menjadi salah satu actor yang menghentikan peperangan untuk sementara. Ketika terjadi baku tembak antara GAM dan TNI pada tahun 1990an, para ibu-ibu sedang menanam padi di sawah. Ibu-ibu tersebut berbagi peran untuk mendatangi mereka yang sedang bertikai. Mereka berkata “hentikan dulu perang kalian. Kami sedang menanam padi. Kalau kami tidak nanam, nanti anak-anak kami tidak bisa makan”. Maka perangpun berhenti untuk saat itu. Cerita yang lain datang dari seorang perempuan muda. Ketika konflik dia masih SMU. Disebelah sekolahnya terdapat pos TNI. Ketika sedang belajar didalam kelas, ia kerap mendengar erangan dan rintihan pemuda yang ditangkap karena dianggap GAM ataupun simpatisan GAM. Akibatnya, dia dan teman-temannya tidak konsentrasi belajar. Ia kemudian mendatangi pos TNI tersebut dan berkata kepada petugas yang dia kenal disana untuk tidak menyiksa tahanan ketika jam belajar mengajar, karena mengganggu konsetrasi mereka. Keesokan harinya, ia tidak lagi mendengar suara-suara erangan dan jeritan laki-laki dari pos TNI itu. Dua cerita diatas menunjukkan bagaimana pada masa konflik perempuan juga mempunyai daya negosiasi sehingga keinginan mereka tercapai. 

Kerja-kerja perempuan yang seperti cerita diatas jarang ditulis dan dihargai. Oleh karenanya gerakan perempuan Aceh mencoba menginisiasi kegiatan untuk memberikan penghargaan bagi perempuan-perempuan hebat yang ada di Aceh, sehingga kerja-kerja mereka bisa menginspirasi perempuan-perempuan lain. 

Yang akan saya fokuskan dalam tulisan ini adalah kegiatan yang dilakukan oleh gerakan perempuan Aceh yang diberi nama Perempuan Aceh Award.  Ide membuat kegiatan Perempuan Aceh Award ini diinisiasi oleh beberapa perempuan Aceh. Ide ini datang ketika pemerintah Aceh memberikan penghargaan pada perempuan-perempuan yang terlibat dalam usaha membangun perdamaian di Aceh. Namun, kriteria siapa yang menerima penghargaan tersebut tidak jelas. Satu yang ditangkap oleh para aktivis perempuan Aceh bahwa penerima penghargaan tersebut bukan dari komunitas akar rumput. Para penerima penghargaan tersebut adalah mereka yang mempunyai akses pada ekonomi dan kekuasaan sehingga penghargaan tersebut bukan hal yang istimewa. Para aktivis perempuan Aceh lalu mencoba membuat kegiatan satire, memberikan penghargaan bukan untuk para aktivis perempuan, melainkan pada perempuan-perempuan yang berasal dari kalangan bawah yang tidak mempunyai finansial berlebih dan kekuasaan, tapi masih tetap konsisten untuk bekerja membantu sesama. 

Kegiatan pertama diadakan di salah satu cafee di Banda Aceh pada tanggal 8 Maret 2009 bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional. Saat itu kegiatan ini belum bernama Perempuan Aceh Award, lebih dikenal sebagai kegiatan Hari Perempuan Internasional. Kegiatan pemberian penghargaan yang berbentuk sertifikat ini dibagi dalam beberapa kategori seperti kategori pendidikan dan kesehatan.   Dana untuk pelaksanaan kegiatan tersebut didapat dari hasil patungan para aktivis perempuan. Dana tersebut kemudian diberikan sebagai hadiah bagi para pemenang masing-masing Rp. 500.000 dan sertifikat. 

Ketika acara pertama ini sukses, mulai muncul ide untuk menseriusi kegiatan ini dikalangan gerakan perempuan Aceh. Terlebih lagi, kegiatan ini adalah hasil mandat refleksi gerakan perempuan Aceh yang diadakan di Hotel Mekah. Beberapa aktivis perempuan dan aktivis laki-laki yang concern pada gerakan perempuan mulai membuat konsep acara Perempuan Aceh Award. Hasilnya adalah Pelaksanaan Perempuan Aceh Award tahun 2010.  Dana kegiatan ini berasal dari Oxfam yang terdapat di beberapa lembaga seperti  RPuK, ADF, KPI dan MaTa  dalam bentuk program bernama Raising Her Voice. Salah satu aktivitas yang dirancang dalam program itu adalah pemberian award itu. Oleh karena itu, PAA mulai resmi digunakan pada tahun 2010 dan dikenal sebagai PAA pertama. Kesan sartire yang tujuannya untuk menyindir pemerintah bahwa seharusnya reward ini diberikan oleh pemerintah, terasa di PAA ini. Pihak penyelenggara juga mengundang para pembuat kebijakan untuk datang di acara ini, karena menurut mereka kegiatan ini harusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam kewajibannya dalam pemenuhan hak masyarakat yaitu ‘to fulfill, to promote and to protect’. Gubernur masa itu, Irwandi Yusuf, beserta ketua DPRA, Hasbi Abdullah, ikut hadir di Sultan Selim, tempat pelaksanaan acara. 

PAA kedua dilaksanakan pada tahun 2012 yang didanai oleh pemerintah dan bantuan lembaga internasional, Logica. Acara ini juga dilaksanakan di Sultan Selim. Namun tidak ada pihak pemerintah dari eksekutif yang datang di acara ini, kecuali ketua DPRA Hasbi Abdullah. Saat itu, atas ‘desakan’ UNwomen dan Logica, eksekutif yang diwakili oleh ketua BP3A bersama dengan ketua DPRA saat itu menandatangani MoU bahwa kedepan pemerintah akan membantu pelaksanaan PAA selanjutnya.

PAA ketiga dilaksanakan pada tahun 2015. Namun pendanaan kali itu bukan dari dana pemerintah secare langsung, melainkan dari dana aspirasi salah seorang anggota dewan. Ketika itu gerakan perempuan Aceh sudah berusaha untuk mencari dana lain dari anggota dewan yang lain, namun saat itu dana aspirasi si anggota dewan ini telah diberikan untuk kegiatan yang lain, sehingga tidak ada dana tersisa untuk kegiatan PAA. 

Gerakan perempuan Aceh mempunyai andil yang sangat besar untuk membangkitkan semangat dan kegiatan perempuan-perempuan di Aceh. Namun sayangnya, seiring dengan semakin sedikitnya dana dan pekerja yang bersedia menyediakan waktunya untuk mengurus kegiatan ini, menyebabkan kegiatan ini, sepertinya, mati perlahan-lahan. Jika dilihat dari agenda dua tahunan, PAA harusnya sudah dilaksanakan pada tahun lalu. Meski masih banyak suara yang menginginkan acara ini dilaksanakan lagi, namun masih dibutuhkan, bukan saja semangat tapi juga bantuan dalam hal-hal lainnya agar kegiatan ini bisa terlaksana kembali.

Perempuan Aceh Award telah memberi semangat dan rasa dihargai bagi perempuan-perempuan yang telah mendapatkan penghargaan tersebut. Aceh memang membutuhkan perempuan-perempuan seperti ini, dan lewat penghargaan yang mereka dapatkan semakin membangkitkan rasa percaya diri mereka. Dan kepercayaan diri itu telah membuat mereka mengepakkan sayap mereka hingga dikenal, tidak saja oleh lingkungan di sekitar mereka, namun oleh nasional bahkan internasional. Misalnya, pemenang PAA pertama, Ummi Hanisah, mendapatkan bantuan dari satu lembaga Jepang untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan sosialnya. Pemenang PAA kedua,Asnaini, mendapat penghargaan Saparinah Sadli Award di Jakarta. Pemenang PAA ketiga, Badriah, mengikuti kegiatan kementrian Pemberdayaan Perempuan di Jakarta dan menjadi pembicara. Dari keberhasilan-keberhasilan ini terlihat bahwa PAA telah menghadirkan banyak perempuan potensial yang bisa membantu pemerintah mengentaskan kemiskinan dan kebodohan dilingkungan mereka.  

Semoga saja, PAA tidak mati perlahan-lahan, namun malah semakin bertumbuh dan bisa menambah jumlah perempuan potensial di Aceh.

The Call



I knew this word three years ago, when I have a case. That time I took my students to a church to learn about how church perspective about gender. However, that action didn’t satisfied most of Acehnese people and it caused me in trouble. One American friend sent me a card and wrote about ‘the call’.


Today (29/1/2018), I met a wonderful young American guy who tells me about his call. I just met him yesterday when another American friend introduced me to him. During our dinner, I had no chance to talk a lot with him because there were many other friends. Yesterday (28/1/2018), excepted him, there were two friends from Malaysia who came to Aceh. I had never met her for 20 years. So, I spent most of my time with these Malay friends because they would go to Sabang- a tiny island of Aceh, for diving.


Today I had a chance to speak with him. Yesterday he said he want to study (or work) here in Aceh. It is weird. This is a first time for him to come to Aceh and suddenly he already said that he want to study or work here. However, I said that I will help him if he wants to study in Aceh. I said, there is a US Education center in my university, I can take him there and asked the staff whether it is possible to be a foreign student in my university. I also contact Elisa, another American friend, who said that she has a contact of American student who do an exchange student at Syiah Kuala University. 


During lunch time, Jack (the exchange student), Ruben (an American who has an English course here), Donald (an American guy who wants to study in Aceh) and I had lunch together. In this small meeting Jack tells his experience about how to get scholarship which is benefit for Donald. Our lunch time was quite quick because I had another skype meeting with my foster parents in Adelaide. However, Donald still can meet Jack in the afternoon.


My Skype meeting is about 30 minutes. Geoff and Joy asked about the process of my transfer to Jakarta or Jogja. After having this Skype meeting, I had a little dialogue with Donald. I asked him why he wants to stay, study and working in Aceh. I am a Gayonese, but I want to move from here. And Donald told me that this is his calling. He tells me about his life. He grew up in Christian tradition, however he become an atheist because of a church where he join has a person who is an atheist. When he became an atheist, he was a bad guy. He drunk, drug addict and smoke a lot. He can’t stop it until the police catch him. When the police catch him, he found peace. He said, that is wird, why when police catch him he felt peace. He said, that time he felt that police will help him to stop drugs and his bad habit. He tried to stop all that bad things but until he released it did not stop yet. Her mother sent her to a seminary. Surprisingly, even though he reject it but he put his clothes in the bag (weird, isn’t it?). Then, he spent his time in the seminary.


He told me that during in the seminary, most of people pray for 1-2 hours, but he could not do that. He did know how to pray. Until one day, he woke up at night and tried to pray. That time he found it relaxing. He could spend 2 hours to pray. It was amazing for him. He found God answering all of his anxiety. He felt like the Holy Spirit come in to his body and he felt it was not him who control his body anymore, but the Holy Spirit.


He decided to go to Nias to doing a voluntary work. In Nias, he had a dream that The Holy Spirit to go to Aceh. That time, there were some people who also want to go to Aceh with him, but he did not know why at last minutes all of these people canceled their trip to Aceh. Donald though that the doors closed to him.


When he arrived in Aceh, he found that a lot of doors open for him, and it strengthen his will. He said he met Henny, Amber, Jack, Ruben and I. He felt the doors open because all of these people help him. It makes him so excited to study and serve in Aceh. This is what he calls as “The Call”.


He also tells his story about his uncle in Rusia. His uncle became a priest in Rusia when his uncle was 29 years old. When his uncle was there, he had more than 500 followers. But suddenly it decreased become, 300, 100, 50 and the last 15 followers. His uncle did not know why it happened, until he opened the radio. In that radio said that the church where his uncle work was supported by CIA (you know how badly the relation of US and USSR, right?) and it made people did not want to come anymore. That new was spread by an Orthodox Church priest. I realize it was because the priest afraid his follower moved to Donald’s uncle church that why he made that news in the radio.


He also tell his story when he works in Nias. He said most of people who live there are Christian. However, they do not live as Christian. They do not know about Jesus because they just come to the church not to find what Jesus is, but it is just a ritual. It reminds me for what happen in Muslim community as well. Most of them are doing ritual rather than finding what God is. They are lack of happiness. 


I was so amaze with his stories. An atheist, who found his own way about God and God’s calling.