Tulisan
ini mencoba melihat tentang gerakan perempuan di Aceh yang mencoba mengangkat
harkat dan martabat perempuan-perempuan akar rumput yang telah berbuat banyak
untuk masyarakat, tetapi miskin penghargaan. Kerja-kerja perempuan selama ini
sering hanya dilihat di lingkungan domestic, sehingga kerja-kerja mereka yang
lain, yang berkaitan dengan isu-isu public, terkadang sering diremehkan.
Akibatnya, kerja-kerja mulia yang telah dilakukan oleh mereka ini sering tidak
dianggap.
Gerakan
Perempuan Aceh telah melakukan kerja-kerja yang tidak sedikit. Diantara
kegiatan tersebut adalah pemberdayaan perempuan dibidang ekonomi dan politik.
Namun ditulisan ini, tema yang akan diangkat adalah usaha membangkitkan
kesadaran masyarakat lewat pemberian penghargaan bagi perempuan-perempuan
dipedesaan atas pengabdian mereka pada kemanusiaan.
Aceh
telah lama dikenal sebagai daerah yang mempunyai banyak pejuang perempuan.
Selain Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dan Malahayati yang sudah begitu mendunia
namanya, Aceh masih mempunyai banyak pahlawan perempuan. Tercatat ada 18 perempuan
berpengaruh dalam sejarah Aceh yang tercatat dari tahun 1353-1920. Dengan
begitu banyaknya perempuan berkapasitas yang tercatat dalam sejarah Aceh, tidak
heran jika hingga saat ini juga semangat para pejuang itu mengalir dalam darah
perempuan Aceh. Hal ini ditambah lagi dengan konflik berkepanjangan yang
terjadi di Aceh sehingga membentuk karakter perempuan Aceh menjadi begitu kuat.
Banyak
sekali tulisan yang menuliskan tentang proses perdamaian di Aceh. Namun sedikit
sekali yang menuliskan tentang peran perempuan sebagai agen perdamaian.
Padahal, dalam salah satu perbincangan dengan seorang perempuan aktivis
dikatakannya bahwa ketika konflik terjadi, perempuan menjadi salah satu actor
yang menghentikan peperangan untuk sementara. Ketika terjadi baku tembak antara
GAM dan TNI pada tahun 1990an, para ibu-ibu sedang menanam padi di sawah.
Ibu-ibu tersebut berbagi peran untuk mendatangi mereka yang sedang bertikai.
Mereka berkata “hentikan dulu perang kalian. Kami sedang menanam padi. Kalau
kami tidak nanam, nanti anak-anak kami tidak bisa makan”. Maka perangpun
berhenti untuk saat itu. Cerita yang lain datang dari seorang perempuan muda.
Ketika konflik dia masih SMU. Disebelah sekolahnya terdapat pos TNI. Ketika
sedang belajar didalam kelas, ia kerap mendengar erangan dan rintihan pemuda
yang ditangkap karena dianggap GAM ataupun simpatisan GAM. Akibatnya, dia dan
teman-temannya tidak konsentrasi belajar. Ia kemudian mendatangi pos TNI
tersebut dan berkata kepada petugas yang dia kenal disana untuk tidak menyiksa
tahanan ketika jam belajar mengajar, karena mengganggu konsetrasi mereka.
Keesokan harinya, ia tidak lagi mendengar suara-suara erangan dan jeritan
laki-laki dari pos TNI itu. Dua cerita diatas menunjukkan bagaimana pada masa
konflik perempuan juga mempunyai daya negosiasi sehingga keinginan mereka
tercapai.
Kerja-kerja
perempuan yang seperti cerita diatas jarang ditulis dan dihargai. Oleh
karenanya gerakan perempuan Aceh mencoba menginisiasi kegiatan untuk memberikan
penghargaan bagi perempuan-perempuan hebat yang ada di Aceh, sehingga
kerja-kerja mereka bisa menginspirasi perempuan-perempuan lain.
Yang
akan saya fokuskan dalam tulisan ini adalah kegiatan yang dilakukan oleh
gerakan perempuan Aceh yang diberi nama Perempuan Aceh Award. Ide membuat kegiatan Perempuan Aceh Award ini
diinisiasi oleh beberapa perempuan Aceh. Ide ini datang ketika pemerintah Aceh
memberikan penghargaan pada perempuan-perempuan yang terlibat dalam usaha
membangun perdamaian di Aceh. Namun, kriteria siapa yang menerima penghargaan
tersebut tidak jelas. Satu yang ditangkap oleh para aktivis perempuan Aceh
bahwa penerima penghargaan tersebut bukan dari komunitas akar rumput. Para
penerima penghargaan tersebut adalah mereka yang mempunyai akses pada ekonomi
dan kekuasaan sehingga penghargaan tersebut bukan hal yang istimewa. Para
aktivis perempuan Aceh lalu mencoba membuat kegiatan satire, memberikan penghargaan
bukan untuk para aktivis perempuan, melainkan pada perempuan-perempuan yang
berasal dari kalangan bawah yang tidak mempunyai finansial berlebih dan
kekuasaan, tapi masih tetap konsisten untuk bekerja membantu sesama.
Kegiatan
pertama diadakan di salah satu cafee di Banda Aceh pada tanggal 8 Maret 2009
bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional. Saat itu kegiatan ini belum
bernama Perempuan Aceh Award, lebih dikenal sebagai kegiatan Hari Perempuan
Internasional. Kegiatan pemberian penghargaan yang berbentuk sertifikat ini
dibagi dalam beberapa kategori seperti kategori pendidikan dan kesehatan. Dana untuk pelaksanaan kegiatan tersebut
didapat dari hasil patungan para aktivis perempuan. Dana tersebut kemudian
diberikan sebagai hadiah bagi para pemenang masing-masing Rp. 500.000 dan
sertifikat.
Ketika
acara pertama ini sukses, mulai muncul ide untuk menseriusi kegiatan ini
dikalangan gerakan perempuan Aceh. Terlebih lagi, kegiatan ini adalah hasil mandat
refleksi gerakan perempuan Aceh yang diadakan di Hotel Mekah. Beberapa aktivis
perempuan dan aktivis laki-laki yang concern pada gerakan perempuan mulai
membuat konsep acara Perempuan Aceh Award. Hasilnya adalah Pelaksanaan
Perempuan Aceh Award tahun 2010. Dana
kegiatan ini berasal dari Oxfam yang terdapat di beberapa lembaga seperti RPuK, ADF, KPI dan MaTa dalam bentuk program bernama Raising Her Voice. Salah satu aktivitas
yang dirancang dalam program itu adalah pemberian award itu. Oleh karena itu,
PAA mulai resmi digunakan pada tahun 2010 dan dikenal sebagai PAA pertama.
Kesan sartire yang tujuannya untuk menyindir pemerintah bahwa seharusnya reward
ini diberikan oleh pemerintah, terasa di PAA ini. Pihak penyelenggara juga
mengundang para pembuat kebijakan untuk datang di acara ini, karena menurut
mereka kegiatan ini harusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam
kewajibannya dalam pemenuhan hak masyarakat yaitu ‘to fulfill, to promote and to protect’. Gubernur masa itu, Irwandi
Yusuf, beserta ketua DPRA, Hasbi Abdullah, ikut hadir di Sultan Selim, tempat
pelaksanaan acara.
PAA
kedua dilaksanakan pada tahun 2012 yang didanai oleh pemerintah dan bantuan
lembaga internasional, Logica. Acara ini juga dilaksanakan di Sultan Selim.
Namun tidak ada pihak pemerintah dari eksekutif yang datang di acara ini,
kecuali ketua DPRA Hasbi Abdullah. Saat itu, atas ‘desakan’ UNwomen dan Logica,
eksekutif yang diwakili oleh ketua BP3A bersama dengan ketua DPRA saat itu
menandatangani MoU bahwa kedepan pemerintah akan membantu pelaksanaan PAA
selanjutnya.
PAA
ketiga dilaksanakan pada tahun 2015. Namun pendanaan kali itu bukan dari dana
pemerintah secare langsung, melainkan dari dana aspirasi salah seorang anggota
dewan. Ketika itu gerakan perempuan Aceh sudah berusaha untuk mencari dana lain
dari anggota dewan yang lain, namun saat itu dana aspirasi si anggota dewan ini
telah diberikan untuk kegiatan yang lain, sehingga tidak ada dana tersisa untuk
kegiatan PAA.
Gerakan
perempuan Aceh mempunyai andil yang sangat besar untuk membangkitkan semangat
dan kegiatan perempuan-perempuan di Aceh. Namun sayangnya, seiring dengan
semakin sedikitnya dana dan pekerja yang bersedia menyediakan waktunya untuk
mengurus kegiatan ini, menyebabkan kegiatan ini, sepertinya, mati
perlahan-lahan. Jika dilihat dari agenda dua tahunan, PAA harusnya sudah
dilaksanakan pada tahun lalu. Meski masih banyak suara yang menginginkan acara
ini dilaksanakan lagi, namun masih dibutuhkan, bukan saja semangat tapi juga
bantuan dalam hal-hal lainnya agar kegiatan ini bisa terlaksana kembali.
Perempuan
Aceh Award telah memberi semangat dan rasa dihargai bagi perempuan-perempuan
yang telah mendapatkan penghargaan tersebut. Aceh memang membutuhkan
perempuan-perempuan seperti ini, dan lewat penghargaan yang mereka dapatkan
semakin membangkitkan rasa percaya diri mereka. Dan kepercayaan diri itu telah
membuat mereka mengepakkan sayap mereka hingga dikenal, tidak saja oleh
lingkungan di sekitar mereka, namun oleh nasional bahkan internasional.
Misalnya, pemenang PAA pertama, Ummi Hanisah, mendapatkan bantuan dari satu
lembaga Jepang untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan sosialnya. Pemenang PAA
kedua,Asnaini, mendapat penghargaan Saparinah Sadli Award di Jakarta. Pemenang
PAA ketiga, Badriah, mengikuti kegiatan kementrian Pemberdayaan Perempuan di
Jakarta dan menjadi pembicara. Dari keberhasilan-keberhasilan ini terlihat
bahwa PAA telah menghadirkan banyak perempuan potensial yang bisa membantu
pemerintah mengentaskan kemiskinan dan kebodohan dilingkungan mereka.
Semoga
saja, PAA tidak mati perlahan-lahan, namun malah semakin bertumbuh dan bisa
menambah jumlah perempuan potensial di Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar