Selasa, 13 April 2021

Nukilan Buku: Mutiara di Padang Ilalang


 

Pasti banyak dari kita yang sudah mengetahui tentang istilah PKI. Tapi apakah ada dari kita yang mencari tau apa itu PKI? Mengapa santer sekali namanya dan apakah ada kisah yang bercerita tentang korban terkait PKI? Atau mungkin mendengar/membaca cerita dari mereka yang dijadikan korban karena dianggap PKI.

Saya sudah lama ingin mengetahui tentang kisah mereka yang dianggap sebagai simpatisan PKI oleh Orde Baru. Saya sudah membaca buku hasil disertasi dosen UI yang menulis tentang perempuan-perempuan yang dituduh PKI yang di penjara di kamp Plantungan Jogja. Saya juga sudah membaca nukilan kisah pendeta Meri di NTT yang ayahnya adalah algojo pembunuh anggota atau simpatisan PKI. Pendeta Meri sekarang mempunyai gerakan untuk mencoba merekonsiliasi keluarga mereka yang dituduh PKI dengan para algojo-algojo itu.

Perbuatan yang sangat mulia.

 

Kali ini saya membaca buku Memoir yang ditulis oleh Tedjabayu, seorang mahasiswa jurusan Geografi UGM pada saat itu yang ditangkap karena bergabung di organisasi mahasiswa yang dianggap sebagai underbow PKI yaitu organisasi Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Tedja menuliskan kisah hidupnya yang dipenjara dari satu penjara ke penjara yang lain dan siksaan apa yang mereka alami tanpa tahu kesalahan apa yang telah mereka buat. Ketika ditangkap dan ditahan Tedja menuliskan bahwa ia mengira paling akhir Desember ia akan dikeluarkan dari penjara, akibat aktivitas politiknya. Ternyata ia ditahan sampai 14 tahun. Ini mengingatkanku pada ‘masa sulit’ tahun 2015 di Jakarta Ketika bertemu seorang teman Aceh yang ditahan oleh aparat karena perbuatan yang dilakukan oleh staffnya (membakar foto Megwawati). Ia dibawa ke kantor polisi dan ditahan. Saat itu ia berfikir paling dia ditanahan hanya satu malam, ternyata malah sampai 6 bulan.

 

Buku Tedja ini sangat mengagetkan bagi saya, betapa manusia bisa sesadis itu kepada manusia lain.

 

Tedja bercerita bagaimana ia dan teman-temannya di tangkap oleh polisi-polisi yang menggiring mereka ke atas truk. Saat itu mereka sedang melakukan aksi menjaga Gedung Chung Twa Tjung Hwi (CHTH) yang diduga terancam diserbu oleh peserta rapat akbar “ganyang PKI”. Mereka melakukan ini bersama dengan beberapa aktivis lainnya seperti dari Pemuda Rakyat, aktivis sanggar dan pelukis rakyat. Ada juga anggota Himpunan Sarjana Indonesia, dan para Tentara Pelajar. Gedung ini merupakan gedung yang dipakai oleh aktivis ini untuk pertunjukkan kesenian mereka. Gedung ini adalah milik universitas Ureca di Yogyakarta. Universitas Ureca ini sendiri adalah cikal bakal dari Universitas Trisakti yang kita kenal sekarang ini.

Tapi ternyata demonstrasi berjalan rusuh, para aktivis ini lalu ditangkapi polisi dan dibawa ke kantor polisi Ngupasan. Disana mereka diregistrasi oleh polisi, ditanyai nama, alamat dan asal organisasi. Tanpa merasa punya salah apapun para aktivis ini memberikan nama dan organisasi mereka CGMI, Pemuda Rakyat bahkan PKI. Mereka sama sekali tidak tau kalau nama organisasi mereka itu ternyata malah membawa malapetaka besar untuk mereka.

Penjara pertama yang mereka tinggali adalah penjara Wiragunan di Yogyakarta. Disini mereka makan lumayan mewah (nasi, ikan asin, telur asin). Namun lama kelamaan menu ini berubah menjadi hanya 75 butir jagung saja untuk sekali makan.

Para tahanan aktivis ini ternyata bukan orang biasa. Mereka berasal dari kalangan terpelajar (ada yang sudah menjadi dokter bahkan ada yang professor) selain itu ada juga yang merupakan dari kalangan bangsawan Yogyakarta. Diantara mereka ada yang mahasiswa doctoral di Fisipol UGM dan pengurus Badan Hukum Hubungan Kebudayaan Indonesia-Uni Sovyet. Bahkan para mahasiswa yang ditahan ini banyak juga yang berasal dari masyarakat Tionghoa yang juga menjadi anggota organisasi yang dilarang oleh Orde Baru tersebut. Mereka ini ada yang mahasiswa di Fakultas Ekonomi UGM, lalu ada yang menjadi mahasiswa tingkat doctoral di fakultas Kehutanan UGM, dari fakultas Biologi UGM dan Fakultas MIPA UGM.

Di buku ini Tedjabayu juga mengatakan bahwa ada seorang anak muda berasal dari Tanah Rencong bernama Abdullah yang kuliah di Fakultas Tekhnik UGM yang juga ditahan bersama dirinya. Ini menandakan bahwa ada juga anak Aceh yang dianggap ikut dalam kegiatan keaktivisan golongan kiri atau PKI. Aku mencoba menanyakan pada seorang teman Aceh apakah mereka mengenal siapa keturunan dari Abdullah yang ditulis oleh TedjaBayu ini, tapi teman tersebut tidak mengetahuinya.

 

Di buku ini Tedja juga menceritakan tentang interogasi yang dilakukan oleh dosen Sastra Inggris, Fakultas Sastra UGM, Loekman Soetrisno dan mahasiswa-mahasiswa Fakultas Kedokteran pada teman-temannya. Ketika kembali dari interogasi itu, pasti wajah teman-temannya itu telah menjadi babak belur dan sembab karena tendangan dan perilaku kasar lainnya. Menurut Tedja, mereka ini adalah “‘intelektual’ yang entah dengan alasan apa punya rasa dendam terhadap apa saja yang berbau kiri”. Para intelektual UGM ini mempunyai pengetahuan bagaimana menginterogasi (sambil menyiksa) orang dengan cepat, efektive dan menyakitkan. Misalnya dengan menggunakan sengatan listrik yang sangat spesial. Cara merakit sengatan listrik spesial ini adalah hasil pengajaran yang diberikan oleh pihak militer (hal. 24). Dihalaman 42 Tedja menuliskan bahwa ternyata Loekman adalah Dr. Loekman Soetrisno, lulusan Institute of Social Studies Den Haag dan Cornell University of Ithaca. Terlihat bukan, bahwa pendidikan setinggi apapun ternyata tidak bisa menumbuhkan rasa kemanusiaan seseorang.

 

Tedja menulis lagi “cara favorit lain yang juga dipraktekkan para sarjana interrogator itu adalah menindih jari-jari dan telapak tangan atau kaki dengan  kaki-kaki kursi atau meja. Si interrogator dengan kalem menduduki kursi atau meja sambil merokok dan tersenyum-senyum, atau membentak-bentak dalam mengajukan pertanyaan, sementara rekanku berteriak-teriak kesakitan. Lebih beruntung kalau kita digebuk dengan kayu, potongan besi, gagang pistol, popor bedil atau dilempar kepalanya dengan mesin ketik karena mereka biasanya langsung pingsan. Aku kerap berfikir dan membenarkan pendapat teman-temanku bahwa mereka adalah sekawanan binatang berbentuk manusia yang tidak berbudaya sama sekali meskipun berpendidikan tinggi. Mereka adalah “Pancasilais” yang kurang lebih sama dengan pasukan Nazi Jerman” (hal. 24).

Siksaan-siksaan itu tidak hanya berhenti disitu. Tedja menuliskan  siksaan yang mereka, para tahanan ini, dapatkan pada malam Natal 1965. “beberapa serdadu memukul keras-keras lutut kawan-kawan kami. Tentu saja mereka terjerebab. Yang jatuh jadi sasaran empuk. Beramai-ramai mereka menginjak-injak perut kawan yang sedang apes itu! Kami semua tanpa kecuali dipukuli. Di kepala, diperut dan dipunggung. Mulutku terasa asin karena dipukul dengan bogem mentah keras sekali, ditambah lagi dengan gebukan pakai rotan segede kepalan tangan di punggung. Para serdadu yang konon paham hukum ini menggunakan apa saja yang mereka temukan. Sebatang kayu bakar yang mungkin diambil dari dapur langsung membuat badan kami terluka dan berdarah karena pinggir kayunya yang tidak rata. Besi yang diambil dari petukangan di Blok B dan kawat berduri yang dicabut entah dari mana juga dipakai. Ada yang mempraktekkan pukulan karate. Mungkin baru saja dipelajari di pusdikif (Pusat Pendidikan Infanteri) karena mereka adalah anak-anak muda yang paling-paling baru lulus SMP. (hal. 27)

Tahun 1966 para tahanan ini dipindahkan ke Nusakambangan yang Tedja sebut sebagai Alcatraznya Indonesia. Ada semacam kredo B3 yang berarti Bui, Buang, Bunuh yang sangat santer terdengar saat itu. Tedja mengetahui istilah di’sukabumikan’ atau di’game’kan sebagai kata pengganti oleh para tapol 65 ini untuk kata ‘dibunuh’.

Selain bercerita tentang makanan yang semakin lama semakin sedikit diberikan, Tedja juga bercerita tentang betapa aneh makanan yang mereka terima. Sayur untuk tapol ini diambil dari sampah di Pasar Bringharjo. Bahkan ada dari mereka yang menemukan potongan sandal jepit atau pecahan kaca di dalam sup mereka. Tedja menuliskan bahwa para napi yang bekerja di dapur dan melayani para tapol ini bukan tidak tahu apa yang mereka lakukan. Menurut Tedja “sampai sekarang aku masih yakin bahwa para napi itu diperintahkan untuk melakukan hal-hal tersebut dengan sengaja. Belum lagi kalau sedang sial. Sayur hari itu tercampur pecahan gelas yang membuat kami harus ekstra hati-hati kalau tidak ingin lidah terluka. Repot juga. Kalau tidak dimakan, kami kelaparan. Memang kami harus bersabar karena kami adalah sekawanan pesakitan yang harus bersedia menerima nasib sebagai orang yang kalah di negeri yang dasar negaranya adalah Pancasila”. (hal. 36).

 

Dari Wirogunan, Tedja dan teman-temannya di pindah ke Nusakambangan. Di Nusakambangan ini penderitaan mereka ternyata bukan bertambah ringan melainkan bertambah parah. Awal-awal tinggal di salah satu rumah tahanan  di Nusakambangan, Permisan, mereka masih mendapatkan nasi untuk makan sehari-hari sebanyak 300 gr. Jumlah ini masih terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jatah narapidana biasa yang mendapat 650 gr. Namun lama kelamaan nasi itu bertambah sedikit jumlahnya. Menurut pegawai LP, atas perintah Jakarta, jatah makan tapol ini harus dikurangi menjadi hanya 250gr perhari. Lalu nasi ini berganti dengan nasi yang dicampur dengan jagung. Terakhir di akhir bulan Mei 1966, nasi jagung ini berganti dengan bulir jagung. Awalnya mereka mendapat 160 butir jagung untuk sarapan, namun akhirnya mereka hanya mendapat 140 butir jagung per hari perorang (hal 53-54). Tidak salah jika Tedja sebenarnya ingin menuliskan memoir ini dengan judul pembersihan Ideologis, melihat apa yang Orde Baru lakukan pada mereka. Usaha melunturkan ideologi mereka dengan membuat mereka kelaparan dan melihat teman-teman mereka meninggal akibat siksaan dan kelaparan.

 

Tedja menulis lagi “Waduh, fantastis benar Soeharto dan kawan-kawannya dalam melakukan pembersihan ideologis ini. Cara membunuh yang praktis tanpa mengeluarkan sebutir peluru pun meski akhirnya kami juga mendengar bahwa cara yang lebih praktis tanpa biaya adalah apa yang terjadi di Medan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali yakni dengan menggunakan sentiment massa untuk melakukan pembantaian. Saya juga dengar cara lain yang sama murah dan praktisnya: dengan mengangkut sejumlah tapol dengan truk untuk dibawa ke pinggir jurang yang sebenarnya sebuah lubang alam dalam yang disebut luweng. Jurang semacam ini berakhir di dasar sungai bawah tanah pegunungan karst yang dalamnya puluhan bahkan ratusan meter. Truk dimundurkan sampai di bibir luweng, lalu para tapol bisa ditembaki semua sehingga berjatuhan ke luweng atau bisa juga mereka diminta atau di dorong terjun begitu saja ke jurang (hal.54).

Di Permisan Nusakambangan, akibat jatah makan yang dikurangi, banyak dari para tapol ini yang jatuh sakit. Fisik mereka menjadi lemah dan sering sekali mengalami pusing dan mengantuk. Banyak dari mereka yang mengalami anemia dan busung lapar. Untuk mendapatkan protein, banyak hal-hal yang menjijikkan yang harus mereka lalui. Misalnya cerita tentang seseorang yang bermarga Siregar yang menelan langsung kecoa yang mengerubungi tinja para tapol ini. Kecoa itu langsung ditelan hidup-hidup tanpa dibersihkan dulu. Kecoa yang kaki-kakinya masih dilumuri tinja!! (hal. 55).

Cerita lain lagi adalah ketika para tapol ini, untuk memenuhi kebutuhan protein mereka adalah dengan memakan ari-ari dari bayi yang baru dilahirkan. Salah seorang tapol ini disuruh untuk mengubur ari-ari dari bayi yang baru dilahirkan. Timbul fikirannya untuk memasak ari-ari tersebut namun batinnya berkecamuk karena itu bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agamanya. Ia merasa menjadi kanibal. Namun kebutuhan untuk bertahan hidup mengalahkan ajaran agamanya, akhirnya ia merebus ari-ari tadi dan memakannya. Hari itu, teman-temannya merasa heran, mengapa hari itu mereka mendapat asupan daging:=D

Karena kekurangan makan dan banyak yang mengalami busung lapar, satu demi satu teman-teman Tedja meninggal dunia di penjara Permisan ini. Pada awalnya, ketika ada yang meninggal, para tapol ini akan memberikan penghormatan terakhir mereka. Namun dengan semakin banyaknya yang meninggal, sedangkan para tapol ini menjadi semakin lemah, mereka tidak mempunyai tenaga lagi untuk berdiri memberi penghormatan pada teman-teman mereka yang meninggal ini.

Dari Nusakambangan, Tedja dan teman-temannya dipindah ke penjara di Ambarawa. Disini mereka ditahan bersama dengan tahanan politik militer (tamil). Disini, sama seperti di Nusakambangan, mereka juga kekurangan makanan. Akhirnya, untuk memenuhi kebutuhan perut ini, banyak dari mereka yang memakan hidup-hidup anak tikus sawah (hal. 81).

 

Hal mengherankan adalah ketika Orde Baru juga menahan mereka yang sebenarnya pejuang kemerdekaan Indonesia. Tedja menuliskannya begini “Sudah menjadi pengetahuanku bahwa kawan-kawan senior baik yang tapol sipil maupun militer kebanyakan adalah para pendiri Republik kita yang dengan semena-mena dianggap pengkhianat bangsa dan makhluk paling hina di dunia! Apalagi kalau kuingat pengalaman selanjutnya beberapa tahun kemudian menjadi tapol rezim ini. Coba bayangkan, mereka yang menyambung nyawa dan rela mati untuk Republik, bahkan mereka ikut membentuk negeri ini, setiap saat bisa di dorong-dorong, diludahi serta disuruh merayap sambil dipukul pakai popor bedil oleh seorang prada yang baru saja masuk TNI atau oleh seorang perwira remaja yang seharusnya tahu etika sebagai manusia berpendidikan dan lulusan Akademi Militer Nasional, nota bene yang umurnya saja seumur anak kawan-kawan itu. Karena itu sebenarnya setiap hari aku merasa sakit hati kepada serdadu TNI yang sekarang digunakan oleh penguasa untuk menindas kami. Aku yakin para serdadu ini tidak tahu apa yang telah mereka lakukan, dan tidak tahu siapa yang mereka tindas dan hadapi”. (hal. 83)

Tedja memberi keterangan di catatan kakinya bahwa ia sengaja menggunakan kata ‘serdadu; karena tingkah laku mereka memang seperti serdadu kilonial Belanda, bukan “prajurit TNI” yang ia banggakan dan ia kenal Ketika ia masih berumur 4 tahun dan bergaul dengan mereka. (hal.82-83). Di penjara Ambarawa ini Tedja bertemu dengan para tahanan militer yang sangat handal, namun ditahan entah dengan alas an apa. Dibuku ini Tedja menyebut mereka sebagai tahanan politik militer (tamil).

 

15 Juli 1970 Tedja dan teman-temannya dipindahkan ke Pulau Buru, Maluku. Di pulau ini, ia dan teman-teman membuka lahan baru dan ditanami padi. Masyarakat Maluku yang biasanya memakan sagu jadi mengenal padi karena dikenalkan oleh para tahanan politik ini. Perbedaan budaya juga menyebabkan permasalahan bagi para tapol ini. Misalnya saja, Ketika para tapol ini telah menyemai padi dan akan di tanam di petak-petak sawah, padi semaian ini dicabut oleh salah seorang dari tapol ini. Tiba-tiba saja ia langsung dihajar menggunakan popor senjata dan menyebabkan ia luka-luka. Ternyata, tentara yang bertugas yang berasal dari Maluku itu tidak mengetahui tentang cara menanam padi. ia mengira tapol ini hendak mensabotase tanaman yang sedang ditanam itu. Menggelikan tetapi juga menyedihkan. Para tapol ini sebenarnya telah membawa budaya baru bagi para penduduk yang ada di pulau Buru tersebut.

Hal yang tidak bisa dipahami Tedja adalah kehidupan free sex dari perempuan-perempuan yang ada di Pulau Buru tersebut. Kata Tedja” repotnya mereka penganut free sex pada saat masih single. Tetapi apabila sudah terikat perkawinan, mereka berubah jadi teman hidup yang setia. Gadis-gadis berumur 13-14 tahun sudah tidak perawan lagi, dan primitifnya, hubungan seks bisa mereka lakukan disembarang tempat, misalnya di kebun pisang, di alang-alang atau dipinggir sungai. Bahkan aku pernah melihay dengan mata kepala sendiri seorag anggota tonwal berbuat begitu dengan seorang gadis Marloso yang waktu itu baru berumur 12-13 tahun hanya dengan bersandar di pohon cengkih saja. Sedih sekali aku waktu itu, begitu berbedanya tingkat kebudayaan mereka dengan kita” (hal 195).

 

Tedja menuliskan renungannya yang berkenaan dengan Agama dan Rohaniwan. Ia katakan “ Aku sendiri percaya akan adanya Tuhan, atau apalah Namanya, tetapi bukan Tuhan yang menakutkan, seperti yang digambarkan guru-guru agama. Misalnya, kalau kita mencuri akan masuk api neraka, kalau tidak taat beribadah pasti akan dijauhi Tuhan. Aku percaya kepada sebuah kekuatan di luar jangkauan nalar manusia yang mengatur segala sesuatu yang sangat luar biasa. Dan kepercayaan itu tidak perlu dipikirkan akal sehat sekarang. Yang paling penting adalah berbuat baik dan mencintai sesame makhluk di bumi, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, bahkan, diluar bumi yang kecil sekali ini kalau kita bandingkan dengan alam semesta” (hal. 239).

Tulisnya lagi” aku menganggap semua agama itu dasarnya sama, kasih. Karena itu aku sangat setuju dengan kata-kata bijak Dalai Lama, “Buddja was not a Buddhist, Jesus was not a Christian, Muhammad was not a Muslim. They were teachers who taugh love. Love is their religion”. (hal. 239)

Kami menjadi pragmatis, dipaksa oleh pihak penguasa untuk memilih salah satu dari lima agama yang diakui secara hukum. Dan penguasa tidak memberi ihin pada tapol intuk tidak beragama. Pertimbangan kawan-kawan akhirnya memilih agama mana yang paling mungkin dilakukan atau yang paling tidak membebani kerja kami sehari-hari yang sudah membuat kami kelelahan. Bagi mereka yang kejawen, banyak yang mengelompokkan diri ke Hindu atau Buddha. Yang paling kasihan adalah teman-teman yang beragama Islam karena mereka harus menjalankan shalat lima waktu. Subuh betul-betul berat bagi mereka karena belum selesai capeknya bekerja seharian, merkea harus bangun pagi untuk berwudhu di sungai yang dingin, belum lagi mereka harus waspada terhadap ular dan babi hutan yang lewat (hal 240).

Pulau Buru, selain dijadikan sebagai tempat tahanan tapol ternyata juga dijadikan sebagai daerah pemukiman baru, meski sudah ada penduduk local yang tinggal disana. Pemerintah kala itu mendatangkan keluarga para tapol ini untuk tinggal menetap disana. Selain itu pemerintah juga mendatangkan para transmigrant dari Jawa (Madiun, Bondowoso, Kediri dan Malang Selatan) ke pulau Buru. Umumnya mereka berbahasa Madura. Tedja menceritakan betapa sengsaranya para transmigrant yang datang ke pulau Buru saat itu. Mereka datang dengan membawa bungkusan dan kopor butut. Anak-anak dan orang tua yang kurus-kurus dan wajah mereka menunjukkan kondisi yang lebih memprihatinkan dari para para tapol itu. Mereka malnutrisi. Ketika sampai di Gedung kesenian, yang dijadikan tempat menerima para transmigrant ini, mereka makan dengan tergesa-gesa apa yang disediakan oleh tapol. Minum air dengan berebut dan Sebagian menyiramkannya ke tubuh karena udara yang panas. Hanya Sebagian dari mereka yang muat yang diangkut oleh truk dari Pelabuhan ke Gedung kesenian, sebagiannya lagi harus berjalan kaki. Mereka kelelahan. Matanya mencari apa yang bisa dimakan. Peluh mengucur disekujur badan. Dalam hati Tedja membatin “kurang ajar Orde Baru ini!”. (hal. 281).

Tedjabayu dan teman-teman tapol lainnya dibebaskan pada tahun 1979. Mereka diangkut oleh kapal dari pulau Buru menuju ke daerah-daerah asal dimana para tapol itu ingin diturunkan. Tedja memilih untuk Kembali ke Jakarta daripada ke Yogyakarta, karena ia dilahirkan disana dan ia ingin tinggal Bersama adik laki-lakinya.

Dalam salah satu percakapan Tedja dengan salah seorang perwira, Mayor Kanan, berkata “ terus terang ya Mas, saya tidak tahu politik sekarang ini. Tenaga pandai-pandai bahkan brilian malah dibuang. Sementara di tanah air masih banyak persoalan pembangunan yang bisa bapak-bapak tangani”.

 

Apa yang disampaikan oleh Mayor Dukanan ini mengingatkan saya pada diskusi yang kami adakah di PPISB Unsyiah beberapa tahun lalu, bahwa negeri ini telah kehilangan satu generasi para intelektual akibat kekejaman Orde Baru kurun waktu 1965 hingga 1970. Dan ini sepertinya tercermin dari apa yang dikatakan oleh Mayor Dulkanan tersebut.

 

Memoir yang ditulis Tedjabayu ini menunjukkan bagaimana pada saat itu, para intelektual ini begitu fasih berbahasa Inggris. Buku yang mereka baca, yang diselundupkan oleh susteran dari gereja Katolik di Pulau Buru mereka baca sebagai bahan bacaan penambah  informasi, begitu juga majalah-majalah berbahasa Inggris.

Selain karena lawan politik, alas an menjadi tahanan juga karena factor sakit hati. Misalnya kisah tentang seorang pelatih silat bernama Saleh yang mengorbankan murid-muridnya untuk ditangkapi polisi dan dibawa ke pulau Buru.  

Buku ini membuka mata bagi para generasi muda yang sedikit sekali mengetahui tentang sejarah dibalik kejadian G=30S/PKI. Ketika pihak yang menang yang menciptakan sejarah maka pihak yang kalah selalu tidak pernah mendapatkan panggung untuk menceritakan sejarah dalam versi mereka. Tedja yang merupakan korban dari sejarah getir itu telah meninggalkan warisan luar biasa untuk pelusuran sejarah negara ini. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar