Pasti banyak dari kita yang
sudah mengetahui tentang istilah PKI. Tapi apakah ada dari kita yang mencari
tau apa itu PKI? Mengapa santer sekali namanya dan apakah ada kisah yang
bercerita tentang korban terkait PKI? Atau mungkin mendengar/membaca cerita
dari mereka yang dijadikan korban karena dianggap PKI.
Saya sudah lama ingin
mengetahui tentang kisah mereka yang dianggap sebagai simpatisan PKI oleh Orde
Baru. Saya sudah membaca buku hasil disertasi dosen UI yang menulis tentang
perempuan-perempuan yang dituduh PKI yang di penjara di kamp Plantungan Jogja.
Saya juga sudah membaca nukilan kisah pendeta Meri di NTT yang ayahnya adalah
algojo pembunuh anggota atau simpatisan PKI. Pendeta Meri sekarang mempunyai gerakan
untuk mencoba merekonsiliasi keluarga mereka yang dituduh PKI dengan para
algojo-algojo itu.
Perbuatan yang sangat mulia.
Kali ini saya membaca buku
Memoir yang ditulis oleh Tedjabayu, seorang mahasiswa jurusan Geografi UGM pada
saat itu yang ditangkap karena bergabung di organisasi mahasiswa yang dianggap
sebagai underbow PKI yaitu organisasi Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia
(CGMI). Tedja menuliskan kisah hidupnya yang dipenjara dari satu penjara ke
penjara yang lain dan siksaan apa yang mereka alami tanpa tahu kesalahan apa
yang telah mereka buat. Ketika ditangkap dan ditahan Tedja menuliskan bahwa ia
mengira paling akhir Desember ia akan dikeluarkan dari penjara, akibat aktivitas
politiknya. Ternyata ia ditahan sampai 14 tahun. Ini mengingatkanku pada ‘masa
sulit’ tahun 2015 di Jakarta Ketika bertemu seorang teman Aceh yang ditahan
oleh aparat karena perbuatan yang dilakukan oleh staffnya (membakar foto
Megwawati). Ia dibawa ke kantor polisi dan ditahan. Saat itu ia berfikir paling
dia ditanahan hanya satu malam, ternyata malah sampai 6 bulan.
Buku Tedja ini sangat
mengagetkan bagi saya, betapa manusia bisa sesadis itu kepada manusia lain.
Tedja bercerita bagaimana ia
dan teman-temannya di tangkap oleh polisi-polisi yang menggiring mereka ke atas
truk. Saat itu mereka sedang melakukan aksi menjaga Gedung Chung Twa Tjung
Hwi (CHTH) yang diduga terancam diserbu oleh peserta rapat akbar “ganyang
PKI”. Mereka melakukan ini bersama dengan beberapa aktivis lainnya seperti dari
Pemuda Rakyat, aktivis sanggar dan pelukis rakyat. Ada juga anggota Himpunan
Sarjana Indonesia, dan para Tentara Pelajar. Gedung ini merupakan gedung yang dipakai
oleh aktivis ini untuk pertunjukkan kesenian mereka. Gedung ini adalah milik
universitas Ureca di Yogyakarta. Universitas Ureca ini sendiri adalah cikal
bakal dari Universitas Trisakti yang kita kenal sekarang ini.
Tapi ternyata demonstrasi
berjalan rusuh, para aktivis ini lalu ditangkapi polisi dan dibawa ke kantor
polisi Ngupasan. Disana mereka diregistrasi oleh polisi, ditanyai nama, alamat
dan asal organisasi. Tanpa merasa punya salah apapun para aktivis ini
memberikan nama dan organisasi mereka CGMI, Pemuda Rakyat bahkan PKI. Mereka
sama sekali tidak tau kalau nama organisasi mereka itu ternyata malah membawa
malapetaka besar untuk mereka.
Penjara pertama yang mereka
tinggali adalah penjara Wiragunan di Yogyakarta. Disini mereka makan lumayan mewah
(nasi, ikan asin, telur asin). Namun lama kelamaan menu ini berubah menjadi
hanya 75 butir jagung saja untuk sekali makan.
Para tahanan aktivis ini
ternyata bukan orang biasa. Mereka berasal dari kalangan terpelajar (ada yang
sudah menjadi dokter bahkan ada yang professor) selain itu ada juga yang
merupakan dari kalangan bangsawan Yogyakarta. Diantara mereka ada yang
mahasiswa doctoral di Fisipol UGM dan pengurus Badan Hukum Hubungan Kebudayaan
Indonesia-Uni Sovyet. Bahkan para mahasiswa yang ditahan ini banyak juga yang
berasal dari masyarakat Tionghoa yang juga menjadi anggota organisasi yang
dilarang oleh Orde Baru tersebut. Mereka ini ada yang mahasiswa di Fakultas
Ekonomi UGM, lalu ada yang menjadi mahasiswa tingkat doctoral di fakultas
Kehutanan UGM, dari fakultas Biologi UGM dan Fakultas MIPA UGM.
Di buku ini Tedjabayu juga
mengatakan bahwa ada seorang anak muda berasal dari Tanah Rencong bernama
Abdullah yang kuliah di Fakultas Tekhnik UGM yang juga ditahan bersama dirinya.
Ini menandakan bahwa ada juga anak Aceh yang dianggap ikut dalam kegiatan
keaktivisan golongan kiri atau PKI. Aku mencoba menanyakan pada seorang teman
Aceh apakah mereka mengenal siapa keturunan dari Abdullah yang ditulis oleh
TedjaBayu ini, tapi teman tersebut tidak mengetahuinya.
Di buku ini Tedja juga
menceritakan tentang interogasi yang dilakukan oleh dosen Sastra Inggris,
Fakultas Sastra UGM, Loekman Soetrisno dan mahasiswa-mahasiswa Fakultas
Kedokteran pada teman-temannya. Ketika kembali dari interogasi itu, pasti wajah
teman-temannya itu telah menjadi babak belur dan sembab karena tendangan dan
perilaku kasar lainnya. Menurut Tedja, mereka ini adalah “‘intelektual’ yang
entah dengan alasan apa punya rasa dendam terhadap apa saja yang berbau kiri”.
Para intelektual UGM ini mempunyai pengetahuan bagaimana menginterogasi (sambil
menyiksa) orang dengan cepat, efektive dan menyakitkan. Misalnya dengan
menggunakan sengatan listrik yang sangat spesial. Cara merakit sengatan listrik
spesial ini adalah hasil pengajaran yang diberikan oleh pihak militer (hal.
24). Dihalaman 42 Tedja menuliskan bahwa ternyata Loekman adalah Dr. Loekman
Soetrisno, lulusan Institute of Social Studies Den Haag dan Cornell
University of Ithaca. Terlihat bukan, bahwa pendidikan setinggi apapun ternyata
tidak bisa menumbuhkan rasa kemanusiaan seseorang.
Tedja menulis lagi “cara
favorit lain yang juga dipraktekkan para sarjana interrogator itu adalah
menindih jari-jari dan telapak tangan atau kaki dengan kaki-kaki kursi atau meja. Si interrogator
dengan kalem menduduki kursi atau meja sambil merokok dan tersenyum-senyum,
atau membentak-bentak dalam mengajukan pertanyaan, sementara rekanku
berteriak-teriak kesakitan. Lebih beruntung kalau kita digebuk dengan kayu,
potongan besi, gagang pistol, popor bedil atau dilempar kepalanya dengan mesin
ketik karena mereka biasanya langsung pingsan. Aku kerap berfikir dan
membenarkan pendapat teman-temanku bahwa mereka adalah sekawanan binatang
berbentuk manusia yang tidak berbudaya sama sekali meskipun berpendidikan
tinggi. Mereka adalah “Pancasilais” yang kurang lebih sama dengan pasukan Nazi
Jerman” (hal. 24).
Siksaan-siksaan itu tidak
hanya berhenti disitu. Tedja menuliskan
siksaan yang mereka, para tahanan ini, dapatkan pada malam Natal 1965.
“beberapa serdadu memukul keras-keras lutut kawan-kawan kami. Tentu saja mereka
terjerebab. Yang jatuh jadi sasaran empuk. Beramai-ramai mereka menginjak-injak
perut kawan yang sedang apes itu! Kami semua tanpa kecuali dipukuli. Di kepala,
diperut dan dipunggung. Mulutku terasa asin karena dipukul dengan bogem mentah
keras sekali, ditambah lagi dengan gebukan pakai rotan segede kepalan tangan di
punggung. Para serdadu yang konon paham hukum ini menggunakan apa saja yang
mereka temukan. Sebatang kayu bakar yang mungkin diambil dari dapur langsung
membuat badan kami terluka dan berdarah karena pinggir kayunya yang tidak rata.
Besi yang diambil dari petukangan di Blok B dan kawat berduri yang dicabut
entah dari mana juga dipakai. Ada yang mempraktekkan pukulan karate. Mungkin
baru saja dipelajari di pusdikif (Pusat Pendidikan Infanteri) karena mereka
adalah anak-anak muda yang paling-paling baru lulus SMP. (hal. 27)
Tahun 1966 para tahanan ini
dipindahkan ke Nusakambangan yang Tedja sebut sebagai Alcatraznya Indonesia.
Ada semacam kredo B3 yang berarti Bui, Buang, Bunuh yang sangat santer
terdengar saat itu. Tedja mengetahui istilah di’sukabumikan’ atau di’game’kan
sebagai kata pengganti oleh para tapol 65 ini untuk kata ‘dibunuh’.
Selain bercerita tentang
makanan yang semakin lama semakin sedikit diberikan, Tedja juga bercerita
tentang betapa aneh makanan yang mereka terima. Sayur untuk tapol ini diambil
dari sampah di Pasar Bringharjo. Bahkan ada dari mereka yang menemukan potongan
sandal jepit atau pecahan kaca di dalam sup mereka. Tedja menuliskan bahwa para
napi yang bekerja di dapur dan melayani para tapol ini bukan tidak tahu apa
yang mereka lakukan. Menurut Tedja “sampai sekarang aku masih yakin bahwa para
napi itu diperintahkan untuk melakukan hal-hal tersebut dengan sengaja. Belum
lagi kalau sedang sial. Sayur hari itu tercampur pecahan gelas yang membuat
kami harus ekstra hati-hati kalau tidak ingin lidah terluka. Repot juga. Kalau
tidak dimakan, kami kelaparan. Memang kami harus bersabar karena kami adalah sekawanan
pesakitan yang harus bersedia menerima nasib sebagai orang yang kalah di negeri
yang dasar negaranya adalah Pancasila”. (hal. 36).
Dari Wirogunan, Tedja dan
teman-temannya di pindah ke Nusakambangan. Di Nusakambangan ini penderitaan
mereka ternyata bukan bertambah ringan melainkan bertambah parah. Awal-awal
tinggal di salah satu rumah tahanan di
Nusakambangan, Permisan, mereka masih mendapatkan nasi untuk makan sehari-hari
sebanyak 300 gr. Jumlah ini masih terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jatah
narapidana biasa yang mendapat 650 gr. Namun lama kelamaan nasi itu bertambah
sedikit jumlahnya. Menurut pegawai LP, atas perintah Jakarta, jatah makan tapol
ini harus dikurangi menjadi hanya 250gr perhari. Lalu nasi ini berganti dengan
nasi yang dicampur dengan jagung. Terakhir di akhir bulan Mei 1966, nasi jagung
ini berganti dengan bulir jagung. Awalnya mereka mendapat 160 butir jagung
untuk sarapan, namun akhirnya mereka hanya mendapat 140 butir jagung per hari
perorang (hal 53-54). Tidak salah jika Tedja sebenarnya ingin menuliskan memoir
ini dengan judul pembersihan Ideologis, melihat apa yang Orde Baru lakukan pada
mereka. Usaha melunturkan ideologi mereka dengan membuat mereka kelaparan dan
melihat teman-teman mereka meninggal akibat siksaan dan kelaparan.
Tedja menulis lagi “Waduh,
fantastis benar Soeharto dan kawan-kawannya dalam melakukan pembersihan
ideologis ini. Cara membunuh yang praktis tanpa mengeluarkan sebutir peluru pun
meski akhirnya kami juga mendengar bahwa cara yang lebih praktis tanpa biaya
adalah apa yang terjadi di Medan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali yakni dengan
menggunakan sentiment massa untuk melakukan pembantaian. Saya juga dengar cara
lain yang sama murah dan praktisnya: dengan mengangkut sejumlah tapol dengan
truk untuk dibawa ke pinggir jurang yang sebenarnya sebuah lubang alam dalam
yang disebut luweng. Jurang semacam ini berakhir di dasar sungai bawah tanah
pegunungan karst yang dalamnya puluhan bahkan ratusan meter. Truk dimundurkan
sampai di bibir luweng, lalu para tapol bisa ditembaki semua sehingga
berjatuhan ke luweng atau bisa juga mereka diminta atau di dorong terjun begitu
saja ke jurang (hal.54).
Di Permisan Nusakambangan,
akibat jatah makan yang dikurangi, banyak dari para tapol ini yang jatuh sakit.
Fisik mereka menjadi lemah dan sering sekali mengalami pusing dan mengantuk.
Banyak dari mereka yang mengalami anemia dan busung lapar. Untuk mendapatkan
protein, banyak hal-hal yang menjijikkan yang harus mereka lalui. Misalnya
cerita tentang seseorang yang bermarga Siregar yang menelan langsung kecoa yang
mengerubungi tinja para tapol ini. Kecoa itu langsung ditelan hidup-hidup tanpa
dibersihkan dulu. Kecoa yang kaki-kakinya masih dilumuri tinja!! (hal. 55).
Cerita lain lagi adalah ketika
para tapol ini, untuk memenuhi kebutuhan protein mereka adalah dengan memakan
ari-ari dari bayi yang baru dilahirkan. Salah seorang tapol ini disuruh untuk
mengubur ari-ari dari bayi yang baru dilahirkan. Timbul fikirannya untuk
memasak ari-ari tersebut namun batinnya berkecamuk karena itu bertentangan
dengan apa yang diajarkan oleh agamanya. Ia merasa menjadi kanibal. Namun
kebutuhan untuk bertahan hidup mengalahkan ajaran agamanya, akhirnya ia merebus
ari-ari tadi dan memakannya. Hari itu, teman-temannya merasa heran, mengapa
hari itu mereka mendapat asupan daging:=D
Karena kekurangan makan dan
banyak yang mengalami busung lapar, satu demi satu teman-teman Tedja meninggal
dunia di penjara Permisan ini. Pada awalnya, ketika ada yang meninggal, para
tapol ini akan memberikan penghormatan terakhir mereka. Namun dengan semakin
banyaknya yang meninggal, sedangkan para tapol ini menjadi semakin lemah,
mereka tidak mempunyai tenaga lagi untuk berdiri memberi penghormatan pada
teman-teman mereka yang meninggal ini.
Dari Nusakambangan, Tedja dan
teman-temannya dipindah ke penjara di Ambarawa. Disini mereka ditahan bersama
dengan tahanan politik militer (tamil). Disini, sama seperti di Nusakambangan,
mereka juga kekurangan makanan. Akhirnya, untuk memenuhi kebutuhan perut ini,
banyak dari mereka yang memakan hidup-hidup anak tikus sawah (hal. 81).
Hal mengherankan adalah ketika
Orde Baru juga menahan mereka yang sebenarnya pejuang kemerdekaan Indonesia.
Tedja menuliskannya begini “Sudah menjadi pengetahuanku bahwa kawan-kawan
senior baik yang tapol sipil maupun militer kebanyakan adalah para pendiri
Republik kita yang dengan semena-mena dianggap pengkhianat bangsa dan makhluk
paling hina di dunia! Apalagi kalau kuingat pengalaman selanjutnya beberapa
tahun kemudian menjadi tapol rezim ini. Coba bayangkan, mereka yang menyambung
nyawa dan rela mati untuk Republik, bahkan mereka ikut membentuk negeri ini, setiap
saat bisa di dorong-dorong, diludahi serta disuruh merayap sambil dipukul pakai
popor bedil oleh seorang prada yang baru saja masuk TNI atau oleh seorang
perwira remaja yang seharusnya tahu etika sebagai manusia berpendidikan dan
lulusan Akademi Militer Nasional, nota bene yang umurnya saja seumur anak
kawan-kawan itu. Karena itu sebenarnya setiap hari aku merasa sakit hati kepada
serdadu TNI yang sekarang digunakan oleh penguasa untuk menindas kami. Aku
yakin para serdadu ini tidak tahu apa yang telah mereka lakukan, dan tidak tahu
siapa yang mereka tindas dan hadapi”. (hal. 83)
Tedja memberi keterangan di
catatan kakinya bahwa ia sengaja menggunakan kata ‘serdadu; karena tingkah laku
mereka memang seperti serdadu kilonial Belanda, bukan “prajurit TNI” yang ia
banggakan dan ia kenal Ketika ia masih berumur 4 tahun dan bergaul dengan mereka.
(hal.82-83). Di penjara Ambarawa ini Tedja bertemu dengan para tahanan militer
yang sangat handal, namun ditahan entah dengan alas an apa. Dibuku ini Tedja
menyebut mereka sebagai tahanan politik militer (tamil).
15 Juli 1970 Tedja dan
teman-temannya dipindahkan ke Pulau Buru, Maluku. Di pulau ini, ia dan
teman-teman membuka lahan baru dan ditanami padi. Masyarakat Maluku yang
biasanya memakan sagu jadi mengenal padi karena dikenalkan oleh para tahanan
politik ini. Perbedaan budaya juga menyebabkan permasalahan bagi para tapol
ini. Misalnya saja, Ketika para tapol ini telah menyemai padi dan akan di tanam
di petak-petak sawah, padi semaian ini dicabut oleh salah seorang dari tapol
ini. Tiba-tiba saja ia langsung dihajar menggunakan popor senjata dan
menyebabkan ia luka-luka. Ternyata, tentara yang bertugas yang berasal dari
Maluku itu tidak mengetahui tentang cara menanam padi. ia mengira tapol ini
hendak mensabotase tanaman yang sedang ditanam itu. Menggelikan tetapi juga
menyedihkan. Para tapol ini sebenarnya telah membawa budaya baru bagi para
penduduk yang ada di pulau Buru tersebut.
Hal yang tidak bisa dipahami
Tedja adalah kehidupan free sex dari perempuan-perempuan yang ada di Pulau Buru
tersebut. Kata Tedja” repotnya mereka penganut free sex pada saat masih single.
Tetapi apabila sudah terikat perkawinan, mereka berubah jadi teman hidup yang
setia. Gadis-gadis berumur 13-14 tahun sudah tidak perawan lagi, dan
primitifnya, hubungan seks bisa mereka lakukan disembarang tempat, misalnya di
kebun pisang, di alang-alang atau dipinggir sungai. Bahkan aku pernah melihay
dengan mata kepala sendiri seorag anggota tonwal berbuat begitu dengan seorang
gadis Marloso yang waktu itu baru berumur 12-13 tahun hanya dengan bersandar di
pohon cengkih saja. Sedih sekali aku waktu itu, begitu berbedanya tingkat
kebudayaan mereka dengan kita” (hal 195).
Tedja menuliskan renungannya
yang berkenaan dengan Agama dan Rohaniwan. Ia katakan “ Aku sendiri percaya
akan adanya Tuhan, atau apalah Namanya, tetapi bukan Tuhan yang menakutkan,
seperti yang digambarkan guru-guru agama. Misalnya, kalau kita mencuri akan
masuk api neraka, kalau tidak taat beribadah pasti akan dijauhi Tuhan. Aku
percaya kepada sebuah kekuatan di luar jangkauan nalar manusia yang mengatur
segala sesuatu yang sangat luar biasa. Dan kepercayaan itu tidak perlu
dipikirkan akal sehat sekarang. Yang paling penting adalah berbuat baik dan
mencintai sesame makhluk di bumi, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan,
bahkan, diluar bumi yang kecil sekali ini kalau kita bandingkan dengan alam
semesta” (hal. 239).
Tulisnya lagi” aku menganggap
semua agama itu dasarnya sama, kasih. Karena itu aku sangat setuju dengan
kata-kata bijak Dalai Lama, “Buddja was not a Buddhist, Jesus was not a
Christian, Muhammad was not a Muslim. They were teachers who taugh love. Love
is their religion”. (hal. 239)
Kami menjadi pragmatis,
dipaksa oleh pihak penguasa untuk memilih salah satu dari lima agama yang
diakui secara hukum. Dan penguasa tidak memberi ihin pada tapol intuk tidak
beragama. Pertimbangan kawan-kawan akhirnya memilih agama mana yang paling
mungkin dilakukan atau yang paling tidak membebani kerja kami sehari-hari yang
sudah membuat kami kelelahan. Bagi mereka yang kejawen, banyak yang
mengelompokkan diri ke Hindu atau Buddha. Yang paling kasihan adalah
teman-teman yang beragama Islam karena mereka harus menjalankan shalat lima
waktu. Subuh betul-betul berat bagi mereka karena belum selesai capeknya
bekerja seharian, merkea harus bangun pagi untuk berwudhu di sungai yang
dingin, belum lagi mereka harus waspada terhadap ular dan babi hutan yang lewat
(hal 240).
Pulau Buru, selain dijadikan
sebagai tempat tahanan tapol ternyata juga dijadikan sebagai daerah pemukiman
baru, meski sudah ada penduduk local yang tinggal disana. Pemerintah kala itu
mendatangkan keluarga para tapol ini untuk tinggal menetap disana. Selain itu
pemerintah juga mendatangkan para transmigrant dari Jawa (Madiun, Bondowoso,
Kediri dan Malang Selatan) ke pulau Buru. Umumnya mereka berbahasa Madura. Tedja
menceritakan betapa sengsaranya para transmigrant yang datang ke pulau Buru
saat itu. Mereka datang dengan membawa bungkusan dan kopor butut. Anak-anak dan
orang tua yang kurus-kurus dan wajah mereka menunjukkan kondisi yang lebih
memprihatinkan dari para para tapol itu. Mereka malnutrisi. Ketika sampai di
Gedung kesenian, yang dijadikan tempat menerima para transmigrant ini, mereka
makan dengan tergesa-gesa apa yang disediakan oleh tapol. Minum air dengan
berebut dan Sebagian menyiramkannya ke tubuh karena udara yang panas. Hanya
Sebagian dari mereka yang muat yang diangkut oleh truk dari Pelabuhan ke Gedung
kesenian, sebagiannya lagi harus berjalan kaki. Mereka kelelahan. Matanya
mencari apa yang bisa dimakan. Peluh mengucur disekujur badan. Dalam hati Tedja
membatin “kurang ajar Orde Baru ini!”. (hal. 281).
Tedjabayu dan teman-teman
tapol lainnya dibebaskan pada tahun 1979. Mereka diangkut oleh kapal dari pulau
Buru menuju ke daerah-daerah asal dimana para tapol itu ingin diturunkan. Tedja
memilih untuk Kembali ke Jakarta daripada ke Yogyakarta, karena ia dilahirkan
disana dan ia ingin tinggal Bersama adik laki-lakinya.
Dalam salah satu percakapan
Tedja dengan salah seorang perwira, Mayor Kanan, berkata “ terus terang ya Mas,
saya tidak tahu politik sekarang ini. Tenaga pandai-pandai bahkan brilian malah
dibuang. Sementara di tanah air masih banyak persoalan pembangunan yang bisa
bapak-bapak tangani”.
Apa yang disampaikan oleh
Mayor Dukanan ini mengingatkan saya pada diskusi yang kami adakah di PPISB
Unsyiah beberapa tahun lalu, bahwa negeri ini telah kehilangan satu generasi
para intelektual akibat kekejaman Orde Baru kurun waktu 1965 hingga 1970. Dan
ini sepertinya tercermin dari apa yang dikatakan oleh Mayor Dulkanan tersebut.
Memoir yang ditulis Tedjabayu
ini menunjukkan bagaimana pada saat itu, para intelektual ini begitu fasih
berbahasa Inggris. Buku yang mereka baca, yang diselundupkan oleh susteran dari
gereja Katolik di Pulau Buru mereka baca sebagai bahan bacaan penambah informasi, begitu juga majalah-majalah
berbahasa Inggris.
Selain karena lawan politik,
alas an menjadi tahanan juga karena factor sakit hati. Misalnya kisah tentang
seorang pelatih silat bernama Saleh yang mengorbankan murid-muridnya untuk
ditangkapi polisi dan dibawa ke pulau Buru.
Buku ini membuka mata bagi para generasi muda yang sedikit sekali mengetahui tentang sejarah dibalik kejadian G=30S/PKI. Ketika pihak yang menang yang menciptakan sejarah maka pihak yang kalah selalu tidak pernah mendapatkan panggung untuk menceritakan sejarah dalam versi mereka. Tedja yang merupakan korban dari sejarah getir itu telah meninggalkan warisan luar biasa untuk pelusuran sejarah negara ini.