Rabu, 20 Oktober 2021

Entahlah..

 

    Beberapa hari lalu saya mengirimkan satu artikel ttg seorang teman untuk teman Jepang saya. Artikel itu adalah:

https://www.insideindonesia.org/a-heroine-for-humanity

    Beberapa hari kemudian, teman Jepang itu membalas imel saya dan mengatakan ingin berbicang-bincang dengan teman yang ada di artikel tadi. Dia juga mengirimkan saya satu link yang menuliskan tentang kegiatan lembaganya. Link itu adalah:

https://www.seedsasia.org/eng/past-activities/11

    Saat saya buka link tadi, saya terkejut karena saya kira lembaganya bekerja di Aceh karena wajah dan penampilan perempuan yang ada didalam foto itu benar2 seperti perempuan-perempuan muslim di Aceh. Saat membaca isi link itu, barulah saya tau jika foto itu diambil di Maldevis. Di Indonesia lembaga teman saya tadi bekerja di Jogjakarta, bukan di Aceh.

    Tulisan ini bukan ingin mengkritisi tentang kegiatan2 program yang mereka berikan, tapi saya ingin merenungi tentang jilbab yang dipakai di foto2 itu.

    Gaya jilbab yang dipakai oleh remaja perempuan difoto itu pertama sekali saya lihat pada tahun 1996, saat saya mengikuti salah satu program pertukaran pemuda Asia tenggara –Jepang. Beberapa teman2 perempuan Malaysia menggunakan model Jilbab yang persis sama. Tahun 2003, saat berkunjung ke Pattani (sebagai turis) saya melihat perempuan2 muslim disana juga menggunakan jilbab dengan model yang sama. Saat kembali ke Aceh (hingga hari ini) banyak anak2 Aceh (dan tentunya juga saya) menggunakan model jilbab yang sama seperti ini. Dan sekarang, saya melihat bahwa perempuan muslim Maldevis juga menggunakan model jilbab yang sama.

    Lalu, saya melihat satu bentuk keseragaman disini. Aceh, mungkin dipengaruhi dengan gaya jilbab dari Malaysia, begitu juga Thailand bagian selatan, tempat yang pernah saya kunjungi tahun 2003 lalu. Malah saat ini di Aceh banyak terdapat jilbab yang didatangkan dari Malaysia, sehingga terkenal dengan sebutan ‘jilbab Malaysia”. Namun gaya jilbab di Maldavis membuat saya bertanya-tanya dari mana mereka mendapatkan gaya jilbab yang seperti itu? Bagi Aceh dan Selatan Thailand, pengaruh model berjilbab yang sama seperti di Malaysia tentu bukan perkara sulit, karena Aceh dan Thailand selatan merupakan daerah tetangga Malaysia,sehingga, pengaruh dari negara ini akan sangat mudah masuk ke kedua daerah tadi. Tapi setelah saya mencoba mencari letak Maldavis di Google, saya kira pengaruh gaya jilbab di Aceh, Malaysia dan Thailand selatan sepertinya sangat susah untuk bisa masuk kesitu, karena wilayahnya yang terbilang jauh dari 3 daerah tadi.

    Maka saya mencoba berasumsi bahwa gaya jilbab yang seperti itu mereka dapatkan dari televisi. Dan karena mereka juga berada di kawasan Asia, maka model jilbab yang mereka kenakan, mereka ikuti seperti perempuan Asia lainnya yang mayoritas muslim, yaitu Malaysia dan Indonesia (dalam hal ini Aceh).

    Namun kemudian saya melihat betapa seragam itu tidak menarik. Betapa gaya jilbab yang menjadi seragam itu membuat kita kehilangan jati diri. Saya misalnya, saat saya melihat foto perempuan2 itu, saya langsung berfikir bahwa itu adalah perempuan2 Aceh. Setelah melihat penjelasan di link tersebut saya baru tahu bahwa itu adalah perempuan Maldavis.

    Kita lalu menjadi kehilangan jati diri. Dan disinilah apa yang Socrates sebutkan tentang mengikuti suara mayoritas menemukan contohnya. Kata Socrates, kita menjadi pengikut mayoritas karena adanya tekanan yang menyeluruh yang membuat kita harus menjadi seperti yang lain. Misalnya, kita takut kehilangan tempat dalam grup kita. Jadi, setuju tidak setuju kita lalu setuju pada suara mayoritas.

    Asumsi saya perempuan muslim Maldavis merasa nyaman jika bisa mengikuti kelompok mayoritas yang lain yaitu Indonesia dan Malaysia, karena dua negara ini merupakan mayoritas muslim terbesar di Asia Tenggara. Dan supaya tidak ditinggalkan kelompoknya, maka mereka mengikuti bagaimana kelompok muslim mayoritas berpakaian.

    pengalaman lain adalah ketika di kelas belajar bersama dengan mahasiswa dari berbagai nengara. Ketika itu dosen bertanya apa yang kami ucapkan ketika berdo'a sebelum makan. teman dari Jepang mengucapkan do'a untuk makan. teman dari Portugal juga mengucapkan do;a dalam bahasa mereka. lalu teman dari Arab Saudi mengucapkan doa 'bismilahirrahmannirrahim'. ketika tiba di saya, yang duduk di sebelah teman Arab Saudi ini, saya katakan "sama". Lalu dosen bertanya lagi apa yang kami ucapkan ketika selesai makan. teman Jepang mengucapkan do'anya. Teman portugal juga menyampaikan do'anya. Lalu teman Saudi mengucapkan "alhamdulillah". ketika sampai di giliran saya, saya katakan "sama", sama seperti yang diucapkan teman dari Saudi. teman-teman saya keheranan. Teman Jepang bertanya "mengapa kamu harus mengatakan kata yang sama seperti yang dari Saudi? apakah kamu tidak punya kata sendiri?".

Waduh, saya tercenung. dan saya tidak merasa istimewa. saya merasa tidak punya identitas karena hanya untuk mengucapkan syukur saja saya harus menggunakan bahasa Arab.

Buat saya ini menjadi menyedihkan. Seperti yang saya sebutkan diatas, kita menjadi kehilangan jati diri. Tidakkah kita bisa menjadi muslim tanpa harus kehilangan jati diri?


Tahun 2000 saya sempat berkunjung ke Bali. Disana saya melihat bagaimana perempuan
- perempuan Bali masih tetap menggunakan kain kebayanya tanpa harus menggunakan kain sari seperti di India. Padahal kita tahu Hindu awalnya berasal dari India. Saya tidak tahu apakah ada orang2 Hindu lain diluar sana yang menggunakan gaya berpakaian seperti orang-orang India atau Bali.

    Maka, sepertinya Aceh (juga muslim Maldavis) sedang kehilangan identitas diri, seperti apa yang dituliskan oleh Paul Zecola dalam artikel pertama diatas.

Entahlah…(mengutip status seorang teman).

Aceh Seperti Kelantan (?)

 Berikut ini adalah tulisan lama saya yang pernah saya posting di blog lama. Blog tersebut terpaksa di nonaktivekan karena kasus dulu itu. Saya temukan tulisan ini di blog seseorang, jadi saya pindahkan ke sini.

==============================

Awal Januari 2009 saya berkunjung ke Malaysia, tepatnya ke Kelantan. Salah seoarang teman Malaysia yang ada di Aceh berkata bahwa Banda Aceh sama seperti Kelantan 10 tahun lalu. Mendengar komentarnya ini saya ingin segera berangkat ke sana untuk membuktikan kalau Kelantan lebih hebat dari Aceh.

Pesawat yang kami tumpangi adaalh AirAsia yang membawa kami ke Kuala Lumpur. Di KL kami menginap satu malam dan esok paginya berangkat lagi ke bandara dan terbang menuju Kelantan. Ada pengalaman menarik yang saya dapatkan di Kelantan. Saya perhatikan kalau nama jalan dan kantor ditulis dalam dua bahasa, bahasa Melayu dan bahasa Arab Melayu. Pengalaman ini persis sama saat saya berkunjung ke Pattani, wilayah selatan Thailand. Tulisan yang dipakai di kantor dan toko adalah bahasa Thai dan bahasa Arab Melayu. Baliho yang dipasang juga memakai model perempuan yang menggunakan jilbab. Persis seperti di Kelantan dan Banda Aceh.

Saat mengunjungi Dinas perempuan, keluarga dan olahraga kami juga menemukan pengalaman yang menarik. Dari wawancara dengan mereka, dikatakan bahwa di Kelantan diterapkan Syariat Islam, salah satunya adalah pemisahan laki-laki dan perempuan diruang publik. Sehingga mereka mempunyai pemimpin perempuan yang cukup banyak karena para perempuan-perempuan itu harus mengurusi perempuan-perempuan lainnya. Bahkan, mereka punya ruangan khusus untuk pertunjukkan kesenian yang diperbolehkan didatangi perempuan. Di gedung kesenian itu, yang boleh bernyanyi hanya lelaki, yang ditonton oleh perempuan. Salah seorang anggota dewan (perempuan) yang bertemu dengan kami saat itu menjelaskan bahwa suara perempuan adalah aurat, jadi tidak boleh bernyanyi. Sedangkan suara laki-laki bukan aurat, jadi suara laki-laki itu bisa dinikmati oleh penonton perempuan.

Saat mereka menjelaskan tentang pemisahan ruang laki-laki dan perempuan sehingga mereka mempunyai pemimpin2 perempuan, saya sempat tercenung mendengar apa yang mereka lakukan. Perempuan tidak dibangun pemikirannya bahwa perempuan juga bisa memimpin. Disatu sisi apa yang mereka lakukan memberikan kontribusi positif bagi perempuan, yaitu lahirnya pemimpin-pemimpin perempuan. Tapi sisi negatifnya adalah, para perempuan itu tidak terbangun pemikirannya bahwa perempuanpun bisa jadi pemimpin bagi laki-laki.

Beberapa perempuan yang saya temui dalam pertemuan itu berkata bahwa pemimpin mereka adalah orang yang sangat menghargai perempuan, jadi kegiatan apapun, sepajang itu berdasarkan Al-qur’an dan hadist maka kegiatan itu akan diACC.

Sistem pemerintahan Penang juga unik. anggota dewan yang saya temui itu mengatakan bahwa kegiatan akan dijalankan jika sudah disepakati oleh Majelis ulama mereka. Bagi saya ini terbilang unik, karena bagaimana mungkin sekumpulan Ulama bisa melegalisir kegiatan yang bersifat duniawi? Apakah mereka cukup mengerti tentang ekonomi, hukum dan hal-hal lain yang bersifat duniawi?

Malamnya, saya berbincang-bincang dengan teman Malaysia yang datang ke penginapan. Saya sampaikan keterkejutanku tentang betapa besar peran ulama didalam sistem pemerintahan di Kelantan. Kata beliau, menangya partai PAS adalah karena pemimpin mereka yang zuhud, dan karena kezuhudannya korupsi bisa dikatakan tidak ada.

Tapi pertanyaannya, apakah Aceh mempunyai pemimpin seperti itu?

Hal menarik kedua adalah saat shalat disalah satu mesjid di kota Kelantan. Mungkin ini adalah mesjid terbesar di daerah itu. Sayangnya saya hanya berasumsi karena tidak ada orang yang bisa saya tanyai.Sebenarnya, mesjid ini hanya satu, tapi uniknya mesjid ini dibagi dua sehingga membentuk dua mesjid yang persis sama. Kedua mesjid ini disambungkan oleh koridor yang memisahkan antara mesjid yang digunakan oleh laki-laki dan mesjid yang digunakan oleh perempuan. posisi mesjid ini sama sekali bukan seperti posisi dalam shalat, yaitu perempuan di belakang laki-laki. Tapi, mesjid ini dibuat beriringan, sehingga jemaah perempuan beriringan dengan jemaah laki-laki. Ada loudspeaker yang dipasang ditempat mesjid perempuan sehingga saat shalat, perempuan juga bisa mendengarkan azan atau do’a imam(pemimpin shalat) yang ada dimesjid para lelaki.

Hal lain lagi yang menjadi pengamatanku adalah bagaimana perempuan-perempuan diKelantan menggunakan baju kurung. Dalam kunjungan yg hanya dua hari itu, saya hampir tidak melihat ada perempuan yang menggunakan sepeda motor. Ada sepeda motor yang lalu lalang, tapi tidak banyak dan semuanya dikendarai oleh laki-laki. Bisa dikatakan tidak ada perempuan yang lalu lalang di jalan yang menggunakan celana panjang. Saya tidak tahu apakah baju kurung memang baju asli masyarakat di Kelantan atau merupakan baju nasional di Malaysia. Seperti kita di Indonesia yang menggunakan kebaya sebagai baju nasional bagi perempuan. Saat saya perhatikan, ternyata perempuan-perempuan itu tidak ada yang menaiki sepeda motor. Mereka semua menggunakan mobil. Teman saya sempat nyeletuk ”salah besar memaksakan perempuan-perempuan Aceh pake rok, lha… kita kan ga semakmur orang-orang disini. Coba… semua kita dikasih mobil, pasti kita pada pake rok semua. Ini… yang kita punya cuma kereta (penjelasan, di Aceh sepeda motor kami sebut dengan kereta), gimana mau make rok tiap hari?”.

Disinilah terlihat bahwa budaya suatu bangsa tidak bisa dipaksakan pada budaya yang lain.

Jika dilihat secara kasat mata, Kelantan memang makmur. Ukuran makmur yang saya pakai disini adalah ada beberapa gedung tinggi yang sepertinya bertingkat 8 atau 10. Jika dilihat dari gedung ini, mungkin benar seperti teman Malaysia saya yang ada di Aceh yang mengatakan bahwa Banda Aceh sekarang sama seperti Kelantan 11 tahun lalu. Karena di banda Aceh, sepanjang yang saya ingat tidak ada gedung berlantai 8 hingga10. Selain itu kebanyakan orang-orang disana menggunakan mobil. Jika di Aceh, orang yang bermobil hanyalah mereka yang sudah mapan secara ekonomi.

Maka, untuk bisa membuat Aceh menjadi seperti Kelantan, hal pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana membuat masyarakatnya menjadi makmur sehingga perempuan bisa mempunyai mobil sendiri dan mengendarai mobilnya dengan nyaman. Dan saya berasumsi bahwa sebagian perempuan2 ini tentu tidak akan menolak jika diminta menggunakan rok, karena pasti akan nyaman sekali menggunakan rok saat mengendarai mobil daripada saat mengendarai sepeda motor.

Melihat kondisi Aceh yang menurut sensus tahun 2009 sebagai daerah termiskin no 6 di Indonesia(info dari Acehkita komunitas) maka menjadikan Aceh seperti Kelantan tentunya membutuhkan usaha yang luar biasa berat. Butuh komitmen bersama.

Selasa, 21 September 2021

Kebahagiaan menurut EPICIRUS

 

Bahagia adalah kata yang mudah untuk diucapkan, tapi ternyata-bagi kebanyakan orang-susah untuk mendapatkannya. EPICIRUS, seorang filosof yang hidup tahun 341 SM, berasal dari daerah yang sekarang berada di wilayah Turki modern, mengatakan bahwa bagi kebanyakan orang menemukan kebahagiaan itu mudah tapi terkadang kita menempuh jalan yang salah.

Kebanyakan kita berfikir bahwa kebahagiaan bisa dibeli. Seperti banyak yang dilakukan orang, menyenangkan diri adalah dengan membeli barang-barang di toko dan makan yang enak-enak. Karena EPICIRUS mengatakan bahwa kita harus menikmati hidup, maka sekarang para penganut paham luxurius eating lifestyle ini (gaya hidup makan makanan mahal ditempat yang mahal) disebut sebagai EPICURIAN. Padahal EPICURUS sendiri adalah sosok yang sangat jauh dari apa yang dilakukan oleh para penganut EPICURIAN.

EPICURUS mengatakan bahwa ada 3 hal yang membuat manusia bahagia. Ketiga hal itu adalah teman, kebebasan dan menganalisa hidup.

Bagi Epicirus,untuk mengaktualisasikan bahagia maka harus dilakukan terobosan untuk meraih kebahagiaan itu.

Bersama dengan teman-temannya, dia membeli satu rumah di daerah yang jauh dari kota, membentuk satu komunitas dan tinggal di rumah tersebut bersama dengan teman-temannya. Cara ini jika dilihat pada masa sekarang, mungkin sama seperti apa yang dilakukan oleh kelompok Amish di Amerika Serikat sana. Menurutnya dengan membentuk komunitas seperti ini dia juga akan mendapat kebahagiaan yang kedua, yaitu kebebasan. Bebas dari hiruk pikuk perpolitikan kota, bebas dari tekanan penguasa, bebas dari keuangan yang terkadang melillit orang untuk menjadi berhutang. Mereka hidup seadanya dan tidak perduli pada penampilan. Tapi mereka bahagia.

Hal ketiga yang menurut Epicirus perlu dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan adalah dengan menganalisa hidup. Menurutnya kita perlu menyisihkan waktu sejenak untuk merefleksikan apa yang kita cari dalam hidup. Cara ini bisa ditempuh sendiri atau bersama-sama dengan kelompok, seperti apa yang sudah Epicurus lakukan bersama komunitasnya.

Maka, mungkin ada hal yang bisa kita ikuti dari pendapat EPICURUS, bahwa kebahagiaan tidak bisa dibeli. Kebahagiaan tidak didapat dari materi. Maka, berbahagialah anda yang punya banyak teman, karena teman-menurut Epicurus-adalah salah satu syarat untuk mendapatkan kebahagiaan.

Selasa, 04 Mei 2021

Cerita Hidup Rosidi

 






Karena mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh Yayasan Pantau, saya mendapat beberapa buku yang sebaiknya kami baca, sebagai peserta kegiatan. Saya baru saja menyelesaikan buku berjudul “Cerita Hidup Rosidi”, salah satu buku yang kami terima. Buku setebal 260 halam ini berkisah tentang perjalanan hidup seorang tahanan politik, yang dianggap PKI pada tahun 1965. Ia masih hidup hingga buku ini ditulis tahun 2016, entah sekarang. Ia berusia 80 tahun Ketika buku ini ditulis.

Buku ini menarik, karena pasti masih banyak Rosidi-Rosidi yang lain, yang cerita hidupnya selama masa kelam itu belum terdokumentasikan.

Saya pribadi lebih menyukai buku Tedjabayu, Mutiara di Padang Ilalang, karena buku itu adalah buku yang ditulis sendiri oleh Tedjabayu. Berbeda dengan kisah hidup Rosidi, yang dituliskan oleh Tosca Santoso. Tedja, sama halnya seperti Rosidi, adalah korban 65, masyarakat biasa yang dituduh sebagai anggota PKI. Tedja ditangkap di Jogjakarta, ketika sedang mengikuti rapat di organisasi yang dianggap underbow PKI. Sedangkan Rosidi ditangkap karena memiliki kartu Sarbupri, organisasi buruh yang dianggap sebagai organisasi underbouw PKI. Sarbupri, Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia, didirikan tanggal 17 Februari 1947.

Sebenarnya, yang akan ditangkap tentara adalah paman Rosidi, Salna. Naas, Rosidi sedang mengunjungi pamannya dan karena Rosidi berkata pamannya tidak ada, tentara meminta kartu identitas Rosidi dan Rosidi memberikan kartu anggota Sarbupri, iapun diangkut tentara dan dibawa ke kantor polisi Sukanegara. Rosidi mengira ia hanya di periksa sebentar, namun ternyata ‘sebentar’ itu sampai mencapai 13 tahun. 13 tahun sebagai tahanan politik, tanpa pernah diadili. Pernah suatu masa ia memiliki KTP yang bertanda “ET” (eks-tapol). Selama masa Orde baru ia dan keluarganya dianggap sebagai ancaman dan tidak boleh ikut pemilu. Para eks-tapol ini menikahkan anak-anak mereka dengan keturunan sesama eks-tapol akibat stigma yang mereka terima. Mereka dijauhkan dari masyarakat.

Dari kantor polisi para tahanan ini dibawa ke kamp tahanan Panembong. Disini tenaga mereka dikuras, dijadikan sebagai pekerja tanpa bayaran, mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar yang diperintahkan atasan. Mereka membuat jalan, membuat jembatan, menebang pohon, menggali pasir, memecah batu, berkebun untuk kebutuhan atasan dan pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya.  Pernah suatu waktu mereka diculik, dipekerjaan illegal untuk kepentingan pimpinan yang lain diluar kamp. Tiba-tiba, suatu malam, Rosidi dan Endang dipaksa masuk ke jok belakang sebuah mobil. Ternyata mereka dibawa ke kolam ikan dan disuruh untuk mengeringkan kolam dan mengambil ikan-ikan disana. Seharian mereka menguras kolam tersebut dan menangkapi ikannya. Setelah selesai mereka kembali dimasukkan ke jok belakang mobil dan dibawa kembali ke kamp, tanpa diberi makan. Kata Rosidi, “boro-boro dikasih ikan, makan siang saja tidak dapat”. (hal 68). Dilain waktu pernah ia diculik lagi dan dibawa ke wilayah Puncak. Sesampai di sana ia diberi kampak dan gergaji. “cepat potong pinus untuk pohon Natal” kata petugas yang membawanya. Rosidi memotong pohon cemara tadi dan merapikannya didalam mobil. Ia diperintahkan jongkok di jok belakang dan diturunkan di kamp Panembong, tanpa dibayar. Pohon itu dibawa kerumah pejabat tentara yang akan merayakan Natal.

Kisah lain adalah ketika ia ditugaskan bersama beberapa teman-temannya mencari baru di sungai. Mereka dipaksa bekerja tanpa diberi makan siang dan tanpa digaji. Setelah seharian mencari dan memecah batu, Rosidi ke pasar menjadi kuli panggul. Uang sebagai kuli panggul itu yang ia pergunakan untuk membeli makan siang. Biasanya ia simpan tenaganya di pagi hari untuk dia gunakan lagi di siang hari, sebagai kuli panggul.

Kerja paksa tanpa gaji ini, menurut International People’s Tribunal di Den Haag 2016 dikategorikan sebagai perbudakan. Hal ini bertentangan dengan konvensi Anti Perbudakan yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia (hal. 44).

Jika dalam memoarnya Tedja menuliskan bahwa mereka diberi makanan yang bercampur beling, Rosidi mengisahkan mereka diberi makan nasi beunyeur, nasi yang diolah dari remah-remah beras yang bahkan sering sekali bercampur dengan kerikil. Makan nasi beunyeur ini sama sekali tidak mengenyangkan (hal. 58).

Beberapa dari para tapol ini ada yang dipindah ke pulau Buru, tapi tidak untuk Rosidi. Ia tetap tinggal di kamp. Kehidupan di kamp membosankan bagi Rosidi karena ia yang sudah terbiasa hidup bebas. Oleh karena itu, jika ada tawaran bekerja di luar ia sering sekali langsung mengacungkan tangan bersedia, walaupun terkadang ia tidak punya keahlian untuk itu. Buatnya, yang penting ia bisa menghirup udara bebas diluar sana, walaupun kemudian di malam hari-setelah selesai bekerja- ia harus kembali lagi ke kamp. Rosidi pernah bekerja di restaurant atau bekerja sebagai penebang kayu untuk kepentingan penguasa kamp.

Bagi tapol yang tinggal di kamp Panembong, mereka diizinkan untuk membawa keluarga. Rosidi membawa istrinya, Oneh dan mereka memiliki 3 anak yang lahir di kamp tersebut. Keuntungan lain tinggal di kamp adalah para tapol ini diizinkan bekerja mencari uang sendiri sepanjang uang tersebut sebagiannya disetorkan ke pengurus kamp. Rosidi dan beberapa tapol lain memilih mencari kodok yang disebut dengan ngobor. Meski ia harus bekerja semalaman dan berjalan kaki belasan kilometer untuk kembali ke kamp Panembong, Rosidi memilih pekerjaan ini. Menurutnya inilah cara ia menghidupi 4 orang yang tinggal bersamanya di kamp Panembong. Meski demikian status tapol yang disandangnya sering membuatnya merasa grogi. Sering sekali ia tidak diizinkan naik angkutan umum oleh sopir-sopir angkot. Mereka tidak mau berhenti ketika melihat orang-orang yang membawa perlengkapan ngobor yang memberhentikan mobil mereka. Para sopir ini telah diberi tahu bahwa orang yang ngobor itu adalah para komunis yang ditahan di Kamp Panembong. Para penjahat yang membunuh para jendral di Jakarta. Termakan hasutan itu, para sopir itu tidak mau menghentikan mobil mereka. Ini memaksa Rosidi berjalan belasan kilometer lagi untuk sampai di Kamp Panembong setelah semalaman bekerja mencari kodok.

Yang berbeda dari buku Cerita Hidup Rosidi ini adalah perihal memaafkan dari para korban dan pelaku. Hal yang tidak ada di buku Tedjabayu. Rosidi, setelah 13 tahun menjadi tahanan politik, sempat menjenguk bekas komandan kamp Panembong, Dadang Mulyadi. Waktu itu Dadang sedang sakit dan Rosidi menjenguknya. Dadang meminta agar Rosidi tidak dendam padanya dan mau memaafkannya. Rosidi memaafkan sambil berkata “sudah saya maafkan. Bapak kan hanya menjalankan tugas”.

Buku ini menceritakan sisi lain dari para tahanan politik yang ditangkap Oktober 1965. Jika Tedjabayu menuliskan memoarnya setelah melewati beberapa kamp tahanan sampai kemudian di buang ke Pulau Buru, Rosidi menceritakan kisah pilunya sebagai orang yang ditahan di wilayah Jawa Barat. Namun kedua buku ini bercerita hal yang sama, betapa kejam perlakuan yang mereka dapatkan, padahal mereka sendiri tidak tau kesalahan apa yang telah mereka lakukan. Mereka ditahan tanpa ada proses pengadilan dan dipaksa bekerja tanpa dibayar. Saya betul-betul tidak menyangka bahwa ternyata pemimpin Indonesia pernah memperlakukan anak bangsa seperti ini, jauh dari rasa kemanusiaan.

Selasa, 13 April 2021

Nukilan Buku: Mutiara di Padang Ilalang


 

Pasti banyak dari kita yang sudah mengetahui tentang istilah PKI. Tapi apakah ada dari kita yang mencari tau apa itu PKI? Mengapa santer sekali namanya dan apakah ada kisah yang bercerita tentang korban terkait PKI? Atau mungkin mendengar/membaca cerita dari mereka yang dijadikan korban karena dianggap PKI.

Saya sudah lama ingin mengetahui tentang kisah mereka yang dianggap sebagai simpatisan PKI oleh Orde Baru. Saya sudah membaca buku hasil disertasi dosen UI yang menulis tentang perempuan-perempuan yang dituduh PKI yang di penjara di kamp Plantungan Jogja. Saya juga sudah membaca nukilan kisah pendeta Meri di NTT yang ayahnya adalah algojo pembunuh anggota atau simpatisan PKI. Pendeta Meri sekarang mempunyai gerakan untuk mencoba merekonsiliasi keluarga mereka yang dituduh PKI dengan para algojo-algojo itu.

Perbuatan yang sangat mulia.

 

Kali ini saya membaca buku Memoir yang ditulis oleh Tedjabayu, seorang mahasiswa jurusan Geografi UGM pada saat itu yang ditangkap karena bergabung di organisasi mahasiswa yang dianggap sebagai underbow PKI yaitu organisasi Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Tedja menuliskan kisah hidupnya yang dipenjara dari satu penjara ke penjara yang lain dan siksaan apa yang mereka alami tanpa tahu kesalahan apa yang telah mereka buat. Ketika ditangkap dan ditahan Tedja menuliskan bahwa ia mengira paling akhir Desember ia akan dikeluarkan dari penjara, akibat aktivitas politiknya. Ternyata ia ditahan sampai 14 tahun. Ini mengingatkanku pada ‘masa sulit’ tahun 2015 di Jakarta Ketika bertemu seorang teman Aceh yang ditahan oleh aparat karena perbuatan yang dilakukan oleh staffnya (membakar foto Megwawati). Ia dibawa ke kantor polisi dan ditahan. Saat itu ia berfikir paling dia ditanahan hanya satu malam, ternyata malah sampai 6 bulan.

 

Buku Tedja ini sangat mengagetkan bagi saya, betapa manusia bisa sesadis itu kepada manusia lain.

 

Tedja bercerita bagaimana ia dan teman-temannya di tangkap oleh polisi-polisi yang menggiring mereka ke atas truk. Saat itu mereka sedang melakukan aksi menjaga Gedung Chung Twa Tjung Hwi (CHTH) yang diduga terancam diserbu oleh peserta rapat akbar “ganyang PKI”. Mereka melakukan ini bersama dengan beberapa aktivis lainnya seperti dari Pemuda Rakyat, aktivis sanggar dan pelukis rakyat. Ada juga anggota Himpunan Sarjana Indonesia, dan para Tentara Pelajar. Gedung ini merupakan gedung yang dipakai oleh aktivis ini untuk pertunjukkan kesenian mereka. Gedung ini adalah milik universitas Ureca di Yogyakarta. Universitas Ureca ini sendiri adalah cikal bakal dari Universitas Trisakti yang kita kenal sekarang ini.

Tapi ternyata demonstrasi berjalan rusuh, para aktivis ini lalu ditangkapi polisi dan dibawa ke kantor polisi Ngupasan. Disana mereka diregistrasi oleh polisi, ditanyai nama, alamat dan asal organisasi. Tanpa merasa punya salah apapun para aktivis ini memberikan nama dan organisasi mereka CGMI, Pemuda Rakyat bahkan PKI. Mereka sama sekali tidak tau kalau nama organisasi mereka itu ternyata malah membawa malapetaka besar untuk mereka.

Penjara pertama yang mereka tinggali adalah penjara Wiragunan di Yogyakarta. Disini mereka makan lumayan mewah (nasi, ikan asin, telur asin). Namun lama kelamaan menu ini berubah menjadi hanya 75 butir jagung saja untuk sekali makan.

Para tahanan aktivis ini ternyata bukan orang biasa. Mereka berasal dari kalangan terpelajar (ada yang sudah menjadi dokter bahkan ada yang professor) selain itu ada juga yang merupakan dari kalangan bangsawan Yogyakarta. Diantara mereka ada yang mahasiswa doctoral di Fisipol UGM dan pengurus Badan Hukum Hubungan Kebudayaan Indonesia-Uni Sovyet. Bahkan para mahasiswa yang ditahan ini banyak juga yang berasal dari masyarakat Tionghoa yang juga menjadi anggota organisasi yang dilarang oleh Orde Baru tersebut. Mereka ini ada yang mahasiswa di Fakultas Ekonomi UGM, lalu ada yang menjadi mahasiswa tingkat doctoral di fakultas Kehutanan UGM, dari fakultas Biologi UGM dan Fakultas MIPA UGM.

Di buku ini Tedjabayu juga mengatakan bahwa ada seorang anak muda berasal dari Tanah Rencong bernama Abdullah yang kuliah di Fakultas Tekhnik UGM yang juga ditahan bersama dirinya. Ini menandakan bahwa ada juga anak Aceh yang dianggap ikut dalam kegiatan keaktivisan golongan kiri atau PKI. Aku mencoba menanyakan pada seorang teman Aceh apakah mereka mengenal siapa keturunan dari Abdullah yang ditulis oleh TedjaBayu ini, tapi teman tersebut tidak mengetahuinya.

 

Di buku ini Tedja juga menceritakan tentang interogasi yang dilakukan oleh dosen Sastra Inggris, Fakultas Sastra UGM, Loekman Soetrisno dan mahasiswa-mahasiswa Fakultas Kedokteran pada teman-temannya. Ketika kembali dari interogasi itu, pasti wajah teman-temannya itu telah menjadi babak belur dan sembab karena tendangan dan perilaku kasar lainnya. Menurut Tedja, mereka ini adalah “‘intelektual’ yang entah dengan alasan apa punya rasa dendam terhadap apa saja yang berbau kiri”. Para intelektual UGM ini mempunyai pengetahuan bagaimana menginterogasi (sambil menyiksa) orang dengan cepat, efektive dan menyakitkan. Misalnya dengan menggunakan sengatan listrik yang sangat spesial. Cara merakit sengatan listrik spesial ini adalah hasil pengajaran yang diberikan oleh pihak militer (hal. 24). Dihalaman 42 Tedja menuliskan bahwa ternyata Loekman adalah Dr. Loekman Soetrisno, lulusan Institute of Social Studies Den Haag dan Cornell University of Ithaca. Terlihat bukan, bahwa pendidikan setinggi apapun ternyata tidak bisa menumbuhkan rasa kemanusiaan seseorang.

 

Tedja menulis lagi “cara favorit lain yang juga dipraktekkan para sarjana interrogator itu adalah menindih jari-jari dan telapak tangan atau kaki dengan  kaki-kaki kursi atau meja. Si interrogator dengan kalem menduduki kursi atau meja sambil merokok dan tersenyum-senyum, atau membentak-bentak dalam mengajukan pertanyaan, sementara rekanku berteriak-teriak kesakitan. Lebih beruntung kalau kita digebuk dengan kayu, potongan besi, gagang pistol, popor bedil atau dilempar kepalanya dengan mesin ketik karena mereka biasanya langsung pingsan. Aku kerap berfikir dan membenarkan pendapat teman-temanku bahwa mereka adalah sekawanan binatang berbentuk manusia yang tidak berbudaya sama sekali meskipun berpendidikan tinggi. Mereka adalah “Pancasilais” yang kurang lebih sama dengan pasukan Nazi Jerman” (hal. 24).

Siksaan-siksaan itu tidak hanya berhenti disitu. Tedja menuliskan  siksaan yang mereka, para tahanan ini, dapatkan pada malam Natal 1965. “beberapa serdadu memukul keras-keras lutut kawan-kawan kami. Tentu saja mereka terjerebab. Yang jatuh jadi sasaran empuk. Beramai-ramai mereka menginjak-injak perut kawan yang sedang apes itu! Kami semua tanpa kecuali dipukuli. Di kepala, diperut dan dipunggung. Mulutku terasa asin karena dipukul dengan bogem mentah keras sekali, ditambah lagi dengan gebukan pakai rotan segede kepalan tangan di punggung. Para serdadu yang konon paham hukum ini menggunakan apa saja yang mereka temukan. Sebatang kayu bakar yang mungkin diambil dari dapur langsung membuat badan kami terluka dan berdarah karena pinggir kayunya yang tidak rata. Besi yang diambil dari petukangan di Blok B dan kawat berduri yang dicabut entah dari mana juga dipakai. Ada yang mempraktekkan pukulan karate. Mungkin baru saja dipelajari di pusdikif (Pusat Pendidikan Infanteri) karena mereka adalah anak-anak muda yang paling-paling baru lulus SMP. (hal. 27)

Tahun 1966 para tahanan ini dipindahkan ke Nusakambangan yang Tedja sebut sebagai Alcatraznya Indonesia. Ada semacam kredo B3 yang berarti Bui, Buang, Bunuh yang sangat santer terdengar saat itu. Tedja mengetahui istilah di’sukabumikan’ atau di’game’kan sebagai kata pengganti oleh para tapol 65 ini untuk kata ‘dibunuh’.

Selain bercerita tentang makanan yang semakin lama semakin sedikit diberikan, Tedja juga bercerita tentang betapa aneh makanan yang mereka terima. Sayur untuk tapol ini diambil dari sampah di Pasar Bringharjo. Bahkan ada dari mereka yang menemukan potongan sandal jepit atau pecahan kaca di dalam sup mereka. Tedja menuliskan bahwa para napi yang bekerja di dapur dan melayani para tapol ini bukan tidak tahu apa yang mereka lakukan. Menurut Tedja “sampai sekarang aku masih yakin bahwa para napi itu diperintahkan untuk melakukan hal-hal tersebut dengan sengaja. Belum lagi kalau sedang sial. Sayur hari itu tercampur pecahan gelas yang membuat kami harus ekstra hati-hati kalau tidak ingin lidah terluka. Repot juga. Kalau tidak dimakan, kami kelaparan. Memang kami harus bersabar karena kami adalah sekawanan pesakitan yang harus bersedia menerima nasib sebagai orang yang kalah di negeri yang dasar negaranya adalah Pancasila”. (hal. 36).

 

Dari Wirogunan, Tedja dan teman-temannya di pindah ke Nusakambangan. Di Nusakambangan ini penderitaan mereka ternyata bukan bertambah ringan melainkan bertambah parah. Awal-awal tinggal di salah satu rumah tahanan  di Nusakambangan, Permisan, mereka masih mendapatkan nasi untuk makan sehari-hari sebanyak 300 gr. Jumlah ini masih terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jatah narapidana biasa yang mendapat 650 gr. Namun lama kelamaan nasi itu bertambah sedikit jumlahnya. Menurut pegawai LP, atas perintah Jakarta, jatah makan tapol ini harus dikurangi menjadi hanya 250gr perhari. Lalu nasi ini berganti dengan nasi yang dicampur dengan jagung. Terakhir di akhir bulan Mei 1966, nasi jagung ini berganti dengan bulir jagung. Awalnya mereka mendapat 160 butir jagung untuk sarapan, namun akhirnya mereka hanya mendapat 140 butir jagung per hari perorang (hal 53-54). Tidak salah jika Tedja sebenarnya ingin menuliskan memoir ini dengan judul pembersihan Ideologis, melihat apa yang Orde Baru lakukan pada mereka. Usaha melunturkan ideologi mereka dengan membuat mereka kelaparan dan melihat teman-teman mereka meninggal akibat siksaan dan kelaparan.

 

Tedja menulis lagi “Waduh, fantastis benar Soeharto dan kawan-kawannya dalam melakukan pembersihan ideologis ini. Cara membunuh yang praktis tanpa mengeluarkan sebutir peluru pun meski akhirnya kami juga mendengar bahwa cara yang lebih praktis tanpa biaya adalah apa yang terjadi di Medan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali yakni dengan menggunakan sentiment massa untuk melakukan pembantaian. Saya juga dengar cara lain yang sama murah dan praktisnya: dengan mengangkut sejumlah tapol dengan truk untuk dibawa ke pinggir jurang yang sebenarnya sebuah lubang alam dalam yang disebut luweng. Jurang semacam ini berakhir di dasar sungai bawah tanah pegunungan karst yang dalamnya puluhan bahkan ratusan meter. Truk dimundurkan sampai di bibir luweng, lalu para tapol bisa ditembaki semua sehingga berjatuhan ke luweng atau bisa juga mereka diminta atau di dorong terjun begitu saja ke jurang (hal.54).

Di Permisan Nusakambangan, akibat jatah makan yang dikurangi, banyak dari para tapol ini yang jatuh sakit. Fisik mereka menjadi lemah dan sering sekali mengalami pusing dan mengantuk. Banyak dari mereka yang mengalami anemia dan busung lapar. Untuk mendapatkan protein, banyak hal-hal yang menjijikkan yang harus mereka lalui. Misalnya cerita tentang seseorang yang bermarga Siregar yang menelan langsung kecoa yang mengerubungi tinja para tapol ini. Kecoa itu langsung ditelan hidup-hidup tanpa dibersihkan dulu. Kecoa yang kaki-kakinya masih dilumuri tinja!! (hal. 55).

Cerita lain lagi adalah ketika para tapol ini, untuk memenuhi kebutuhan protein mereka adalah dengan memakan ari-ari dari bayi yang baru dilahirkan. Salah seorang tapol ini disuruh untuk mengubur ari-ari dari bayi yang baru dilahirkan. Timbul fikirannya untuk memasak ari-ari tersebut namun batinnya berkecamuk karena itu bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agamanya. Ia merasa menjadi kanibal. Namun kebutuhan untuk bertahan hidup mengalahkan ajaran agamanya, akhirnya ia merebus ari-ari tadi dan memakannya. Hari itu, teman-temannya merasa heran, mengapa hari itu mereka mendapat asupan daging:=D

Karena kekurangan makan dan banyak yang mengalami busung lapar, satu demi satu teman-teman Tedja meninggal dunia di penjara Permisan ini. Pada awalnya, ketika ada yang meninggal, para tapol ini akan memberikan penghormatan terakhir mereka. Namun dengan semakin banyaknya yang meninggal, sedangkan para tapol ini menjadi semakin lemah, mereka tidak mempunyai tenaga lagi untuk berdiri memberi penghormatan pada teman-teman mereka yang meninggal ini.

Dari Nusakambangan, Tedja dan teman-temannya dipindah ke penjara di Ambarawa. Disini mereka ditahan bersama dengan tahanan politik militer (tamil). Disini, sama seperti di Nusakambangan, mereka juga kekurangan makanan. Akhirnya, untuk memenuhi kebutuhan perut ini, banyak dari mereka yang memakan hidup-hidup anak tikus sawah (hal. 81).

 

Hal mengherankan adalah ketika Orde Baru juga menahan mereka yang sebenarnya pejuang kemerdekaan Indonesia. Tedja menuliskannya begini “Sudah menjadi pengetahuanku bahwa kawan-kawan senior baik yang tapol sipil maupun militer kebanyakan adalah para pendiri Republik kita yang dengan semena-mena dianggap pengkhianat bangsa dan makhluk paling hina di dunia! Apalagi kalau kuingat pengalaman selanjutnya beberapa tahun kemudian menjadi tapol rezim ini. Coba bayangkan, mereka yang menyambung nyawa dan rela mati untuk Republik, bahkan mereka ikut membentuk negeri ini, setiap saat bisa di dorong-dorong, diludahi serta disuruh merayap sambil dipukul pakai popor bedil oleh seorang prada yang baru saja masuk TNI atau oleh seorang perwira remaja yang seharusnya tahu etika sebagai manusia berpendidikan dan lulusan Akademi Militer Nasional, nota bene yang umurnya saja seumur anak kawan-kawan itu. Karena itu sebenarnya setiap hari aku merasa sakit hati kepada serdadu TNI yang sekarang digunakan oleh penguasa untuk menindas kami. Aku yakin para serdadu ini tidak tahu apa yang telah mereka lakukan, dan tidak tahu siapa yang mereka tindas dan hadapi”. (hal. 83)

Tedja memberi keterangan di catatan kakinya bahwa ia sengaja menggunakan kata ‘serdadu; karena tingkah laku mereka memang seperti serdadu kilonial Belanda, bukan “prajurit TNI” yang ia banggakan dan ia kenal Ketika ia masih berumur 4 tahun dan bergaul dengan mereka. (hal.82-83). Di penjara Ambarawa ini Tedja bertemu dengan para tahanan militer yang sangat handal, namun ditahan entah dengan alas an apa. Dibuku ini Tedja menyebut mereka sebagai tahanan politik militer (tamil).

 

15 Juli 1970 Tedja dan teman-temannya dipindahkan ke Pulau Buru, Maluku. Di pulau ini, ia dan teman-teman membuka lahan baru dan ditanami padi. Masyarakat Maluku yang biasanya memakan sagu jadi mengenal padi karena dikenalkan oleh para tahanan politik ini. Perbedaan budaya juga menyebabkan permasalahan bagi para tapol ini. Misalnya saja, Ketika para tapol ini telah menyemai padi dan akan di tanam di petak-petak sawah, padi semaian ini dicabut oleh salah seorang dari tapol ini. Tiba-tiba saja ia langsung dihajar menggunakan popor senjata dan menyebabkan ia luka-luka. Ternyata, tentara yang bertugas yang berasal dari Maluku itu tidak mengetahui tentang cara menanam padi. ia mengira tapol ini hendak mensabotase tanaman yang sedang ditanam itu. Menggelikan tetapi juga menyedihkan. Para tapol ini sebenarnya telah membawa budaya baru bagi para penduduk yang ada di pulau Buru tersebut.

Hal yang tidak bisa dipahami Tedja adalah kehidupan free sex dari perempuan-perempuan yang ada di Pulau Buru tersebut. Kata Tedja” repotnya mereka penganut free sex pada saat masih single. Tetapi apabila sudah terikat perkawinan, mereka berubah jadi teman hidup yang setia. Gadis-gadis berumur 13-14 tahun sudah tidak perawan lagi, dan primitifnya, hubungan seks bisa mereka lakukan disembarang tempat, misalnya di kebun pisang, di alang-alang atau dipinggir sungai. Bahkan aku pernah melihay dengan mata kepala sendiri seorag anggota tonwal berbuat begitu dengan seorang gadis Marloso yang waktu itu baru berumur 12-13 tahun hanya dengan bersandar di pohon cengkih saja. Sedih sekali aku waktu itu, begitu berbedanya tingkat kebudayaan mereka dengan kita” (hal 195).

 

Tedja menuliskan renungannya yang berkenaan dengan Agama dan Rohaniwan. Ia katakan “ Aku sendiri percaya akan adanya Tuhan, atau apalah Namanya, tetapi bukan Tuhan yang menakutkan, seperti yang digambarkan guru-guru agama. Misalnya, kalau kita mencuri akan masuk api neraka, kalau tidak taat beribadah pasti akan dijauhi Tuhan. Aku percaya kepada sebuah kekuatan di luar jangkauan nalar manusia yang mengatur segala sesuatu yang sangat luar biasa. Dan kepercayaan itu tidak perlu dipikirkan akal sehat sekarang. Yang paling penting adalah berbuat baik dan mencintai sesame makhluk di bumi, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, bahkan, diluar bumi yang kecil sekali ini kalau kita bandingkan dengan alam semesta” (hal. 239).

Tulisnya lagi” aku menganggap semua agama itu dasarnya sama, kasih. Karena itu aku sangat setuju dengan kata-kata bijak Dalai Lama, “Buddja was not a Buddhist, Jesus was not a Christian, Muhammad was not a Muslim. They were teachers who taugh love. Love is their religion”. (hal. 239)

Kami menjadi pragmatis, dipaksa oleh pihak penguasa untuk memilih salah satu dari lima agama yang diakui secara hukum. Dan penguasa tidak memberi ihin pada tapol intuk tidak beragama. Pertimbangan kawan-kawan akhirnya memilih agama mana yang paling mungkin dilakukan atau yang paling tidak membebani kerja kami sehari-hari yang sudah membuat kami kelelahan. Bagi mereka yang kejawen, banyak yang mengelompokkan diri ke Hindu atau Buddha. Yang paling kasihan adalah teman-teman yang beragama Islam karena mereka harus menjalankan shalat lima waktu. Subuh betul-betul berat bagi mereka karena belum selesai capeknya bekerja seharian, merkea harus bangun pagi untuk berwudhu di sungai yang dingin, belum lagi mereka harus waspada terhadap ular dan babi hutan yang lewat (hal 240).

Pulau Buru, selain dijadikan sebagai tempat tahanan tapol ternyata juga dijadikan sebagai daerah pemukiman baru, meski sudah ada penduduk local yang tinggal disana. Pemerintah kala itu mendatangkan keluarga para tapol ini untuk tinggal menetap disana. Selain itu pemerintah juga mendatangkan para transmigrant dari Jawa (Madiun, Bondowoso, Kediri dan Malang Selatan) ke pulau Buru. Umumnya mereka berbahasa Madura. Tedja menceritakan betapa sengsaranya para transmigrant yang datang ke pulau Buru saat itu. Mereka datang dengan membawa bungkusan dan kopor butut. Anak-anak dan orang tua yang kurus-kurus dan wajah mereka menunjukkan kondisi yang lebih memprihatinkan dari para para tapol itu. Mereka malnutrisi. Ketika sampai di Gedung kesenian, yang dijadikan tempat menerima para transmigrant ini, mereka makan dengan tergesa-gesa apa yang disediakan oleh tapol. Minum air dengan berebut dan Sebagian menyiramkannya ke tubuh karena udara yang panas. Hanya Sebagian dari mereka yang muat yang diangkut oleh truk dari Pelabuhan ke Gedung kesenian, sebagiannya lagi harus berjalan kaki. Mereka kelelahan. Matanya mencari apa yang bisa dimakan. Peluh mengucur disekujur badan. Dalam hati Tedja membatin “kurang ajar Orde Baru ini!”. (hal. 281).

Tedjabayu dan teman-teman tapol lainnya dibebaskan pada tahun 1979. Mereka diangkut oleh kapal dari pulau Buru menuju ke daerah-daerah asal dimana para tapol itu ingin diturunkan. Tedja memilih untuk Kembali ke Jakarta daripada ke Yogyakarta, karena ia dilahirkan disana dan ia ingin tinggal Bersama adik laki-lakinya.

Dalam salah satu percakapan Tedja dengan salah seorang perwira, Mayor Kanan, berkata “ terus terang ya Mas, saya tidak tahu politik sekarang ini. Tenaga pandai-pandai bahkan brilian malah dibuang. Sementara di tanah air masih banyak persoalan pembangunan yang bisa bapak-bapak tangani”.

 

Apa yang disampaikan oleh Mayor Dukanan ini mengingatkan saya pada diskusi yang kami adakah di PPISB Unsyiah beberapa tahun lalu, bahwa negeri ini telah kehilangan satu generasi para intelektual akibat kekejaman Orde Baru kurun waktu 1965 hingga 1970. Dan ini sepertinya tercermin dari apa yang dikatakan oleh Mayor Dulkanan tersebut.

 

Memoir yang ditulis Tedjabayu ini menunjukkan bagaimana pada saat itu, para intelektual ini begitu fasih berbahasa Inggris. Buku yang mereka baca, yang diselundupkan oleh susteran dari gereja Katolik di Pulau Buru mereka baca sebagai bahan bacaan penambah  informasi, begitu juga majalah-majalah berbahasa Inggris.

Selain karena lawan politik, alas an menjadi tahanan juga karena factor sakit hati. Misalnya kisah tentang seorang pelatih silat bernama Saleh yang mengorbankan murid-muridnya untuk ditangkapi polisi dan dibawa ke pulau Buru.  

Buku ini membuka mata bagi para generasi muda yang sedikit sekali mengetahui tentang sejarah dibalik kejadian G=30S/PKI. Ketika pihak yang menang yang menciptakan sejarah maka pihak yang kalah selalu tidak pernah mendapatkan panggung untuk menceritakan sejarah dalam versi mereka. Tedja yang merupakan korban dari sejarah getir itu telah meninggalkan warisan luar biasa untuk pelusuran sejarah negara ini. 


Sabtu, 27 Maret 2021

Seoul Searching: Pencarian Identitas Diri Anak Imigran

 







    Film yang ingin saya ulas kali ini adalah film Seoul Searching. Film ini kebetulan saya dapat di internet ketika mencari film-film yang direkomendasikan bagus. Saya suka sekali film yang dilatarbelakangi kisah nyata. Dan film ini adalah salah satunya.

    Dari film ini saya menjadi semakin yakin mengapa orang-orang Korea Selatan itu begitu Westernised terutama sangat Amerika. Film itu dibuka dengan narasi tentang perang yang terjadi di Korea, Perang dengan Jepang hingga perang yang memecah Korea menjadi dua: Korea Utara dan Korea Selatan. Orang-orang tua yang tidak ingin mengalami perang yang berkepanjangan memilih untuk meninggalkan negara mereka, Korea Utara. Diantara mereka ada yang pindah ke Amerika, Meksiko dan Jerman. Namun, orang tua ini kemudian menghasilkan anak-anak yang telah kehilangan identitas mereka sebagai orang Korea. Oleh karena itu pemerintah Korea membuat program yang menghadirkan anak-anak diaspora ini dalam satu kegiatan bernama Summer Camp sehingga mereka bisa belajar tentang apa arti menjadi Korea bagi mereka.

    Saya sangat menikmati film ini. Film ini mengingatkan lagi pengalaman ketika berkunjung ke Amerika Serikat, bertemu dengan dosen yang berasal dari Pakistan yang mengatakan bahwa anak-anak Pakistan yang besar di Amerika sudah kehilangan identitas dan susah untuk berkomunikasi dengan orang tua mereka. Ini aku lihat sendiri di film Seoul Searching ini. Anak-anak muda yang datang ke Summer Camp ini datang dengan gaya mereka yang sudah ‘westernised’, misalnya ada perempuan yang bergaya seperti Madonna (Grace dari US), ada laki-laki yang bergaya punk (Sid dari US), ada yang sangat mudah sekali merayu perempuan-perempuan (Sergio dari Meksiko) dan ada yang sangat kalem (Klaus dari Jerman). Anak-anak muda ini digabung dalam satu camp. Peraturannya adalah laki-laki ada di lantai 1 sedangkan para perempuan tinggal di lantai 3. Tapi dasar anak-anak ‘berandal’ (kecuali Klaus), mereka punya cara untuk bagaimana bisa menemui para perempuan yang ada di lantai 3. Daaaaaan...pesta miraspun terjadi. Saking mabuknya dua dari anak muda itu, mereka hampir saja melakukan hubungan badan di kamar si perempuan.

    Cerita lain lagi adalah ketika Sid membantu Grace yang hampir diperkosa oleh Mike Song (kelahiran US yang sangat bergaya militer).  Sid lalu membuang semua miras yang ada di kamar Grace, sayangnya, ketahuan oleh guru Korea yang mengajar mereka. Akibatnya ia akan dikeluarkan dari summer camp tersebut. Sebenarnya ini bukan kali pertama Sid dianggap sebagai biang kerok perkelahian. Sebelumnya di perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan, di daerah Demilitarized Zone (DMZ), seseorang membuang sisa permen karet yang mengenai sepatu tentara korea Utara. Hampir saja terjadi tembak-tembakan antara tentara Korea Utara dan Korea Selatan di perbatasan itu, hanya karena sisa permen karet tadi. Ditambah dengan ketahuan membawa minuman keras, semakin memperkuat keputusan bahwa Sid harus dikeluarkan dari camp. Namun sebelum dikeluarkan dari summer camp, si bapak guru menanyakan tentang keluarga Sid. Ia mengatakan bahwa ia membenci ayahnya. Ayahnya tidak pernah memperlakukannya dengan baik, bahkan suka memukul ibunya. Si pak guru lalu menceritakan kisahnya bagaimana ia dulunya adalah seorang pengajar di sekolah prestisius. Ia sangat menekan anaknya untuk bisa menjadi juara dan masuk ke universitas di Korea. Namun karena anaknya tidak bisa mengikuti kemauan ayahnya dan ayah yang sangat gila hormat ini lalu menendang anaknya hingga pingsan. Terakhir, menurut si pak guru, ia mendengar di radio kalau anaknya tewas bunuh diri di jalur kereta. Pak guru bilang bahwa ayah Sid bukan tidak sayang padanya, tapi laki-laki Korea memang susah untuk mengungkapkan perasaannya, terutama untuk perasaan sayang. Ini mengingatkanku pada drama Korea Full House yang saya tonton. Saya gemes pada aktor laki-laki di drakor itu yang sangat tidak bisa menyatakan perasaannya. Ternyata ini persis sama dengan apa yang terjadi di Korea Selatan. Bahkan di salah satu buku yang pernah saya baca, banyak orang Jepang yang  harus mengambil kursus tersenyum akibat masa lalu Perang Dunia II dimana mereka kalah dan menyebabkan hidup yang pahit sehingga mereka hampir tidak pernah tersenyum.

    Cerita menarik lainnya adalah ketika settingnya di kelas kaligrafi yaitu menulis huruf-huruf Korea. Salah seorang perempuan (Sara) bertanya pada Klaus tentang keluarga dan pacarnya. Klaus mengatakan bahwa ayah ibunya membawanya ke Jerman ketika ia masih kecil dan ia telah mempunyai pacar orang Jerman. Ketika Sarabertanya apakah ia ingin melanjutkan usaha ayahnya yaitu membuat sosis, karena orang tua Klaus adalah pengusaha Sosis, Klaus mengatakan tidak mau. Sara bertanya lagi mengapa tidak, toh usaha itu memberi uang yang banyak. Klaus mengatakan dengan tegas, meski orang tuanya adalah imigran dia tidak ingin menjadi seperti ayahnya yang hanya buruh. Ia ingin mencapai yang lebih tinggi lagi yaitu bekerja di bank sehingga orang tidak akan melihat bahwa orang Korea di Hamburg bukan hanya sebagai buruh. Wuaaaaaah….. bagus banget jawabannya.

    Klaus juga berkomunikasi sangat fasih dalam bahasa Korea karena di rumahnya di Jerman sana ia selalu menggunakan bahasa Korea. Seorang perempuan lain yang berasal dari Amerika (Kris) ada dikelas kaligrafi itu mendengarkan dengan seksama perbincangan dari kedua anak muda ini. Di lain waktu ia yang kemudian berbincang-bincang dengan Klaus. Dari hasil obrolan itu diketahui Kris adalah anak pungut dari laki-laki dan perempuan berkulit putih sehingga ia sama sekali tidak tau tentang Korea, bahkan ia tidak mempunyai nama Korea. Klaus menawarkan diri untuk mencari info tentang keluarga si perempuan ini. Sepertinya Korea memang sangat aktif dan responsive untuk pencarian keluarga hilang ini sehingga mereka mempunyai suatu pusat informasi mencari keluarga yang hilang. Nah, mereka ini lalu mendapatkan nomor kontak dari ibu biologis Kris. Klaus yang fasih berbahasa Korea ini menelpon dan berkata bahwa anaknya ingin bertemu. Ketika bertemu si ibu yang tidak bisa berbicara dalam bahasa Inggris Klaus membantu menerjemahkan apa yang ingin disampaikan si ibu kepada Kris. Akhirnya karena tidak ingin membebani Klaus terus-terusan, Kris kemudian menemui sendiri ibu kandungnya itu dan berbicara dalam bahasa Inggris meski ia tau bahwa ibunya tidak akan mengerti. Tapi apa yang disampaikan dalam pembicaraan itu sangat menyentuh. Kris tidak menyalahkan ibunya yang telah membiarkan dia tinggal di panti asuhan sehingga kemudian diadopsi oleh keluarga Amerika yang kemudian ia kehilangan identitasnya; tidak bisa berbicara bahasa Korea dan tidak bisa menulis dalam huruf Korea. Ia mengerti mengapa ibunya meninggalkannya di panti asuhan, karena ayahnya yang suka melakukan KDRT, dan itu berbekas di kaki Kris dan kepala si ibu. Kris mengetahui cerita KDRT itu dari Klaus yang menggali lebih dalam dari si ibu. katanya, ketika kecil, karena mabuk ayah Kris menyiramkan air panas ke Kris karena menangis terus. Si ayah lalu memarahi si ibu dengan memukul kepala si ibu menggunakan botol. Sampai dewasa bekas luka bakar di kaki Kris masih ada begitu juga dengan bekas luka yang ada di kepala si ibu. 

    Film ini mengajarkan banyak hal yang susah banget buat saya untuk menuliskannya, saking banyaknya. Diantara yang saya ingat diantaranya, bagaimana si Sergio, ketika diakhir summer camp mereka diminta untuk berpakaian yang berbeda. Nah, Sergio menggunakan pakaian perempuan yang sangat seksi. Ketika sedang berdansa ia mengatakan pada partnernya bahwa sekarang ia mengerti mengapa banyak perempuan yang merasa tidak nyaman karena di suitin (cat whistling) karena berpakaian seperti yang ia kenakan. Ada juga hal yang perlu diingat ketika Sid bertanya pada temannya yang sangat bergaya militer (Mike Song) mengapa ia harus bersikap sangat militeristik. menurut temannya ini, dengan cara itulah ia bisa bertahan hidup di komunitas militer, dimana ia bekerja. Karena tampilannya yang sangat Asia, ia gampang sekali didiskriminasi oleh mereka yang berkulit putih. 

    Saya suka sekali dengan Klaus, yang dari Jerman itu. Dia sangat ringan tangan, membantu teman-temannya dan sangat kalem. Berbeda dengan anak-anak yang lain yang sudah sangat tercerabut dari kultur ketimurannya itu. Klaus membuat film ini begitu menyentuh dengan usahanya membantu si perempuan untuk mencari identitasnya. 

    Belum lagi saya belajar bahwa ternyata laki-laki Korea tidak beda jauh dengan laki-laki di Asia pada umumnya, yang sangat memandang rendah perempuan. Seorang pemeran perempuan di film ini juga berkisah bagaimana ibunya selalu dipukuli oleh ayahnya sehingga ia sangat membenci laki-laki. Namun kemudian ia malah menyukai laki-laki ketika kenal dengan si Sergio ini. Kedua mereka sama-sama suka bela diri. Sergio menguasai Karate sedangkan si perempuan ini menguasai TaeKwonDo, olah raga yang berasal dari Korea.

    Film ini membuat saya berfikir tentang anak-anak Indonesia yang dilahirkan atau dibesarkan di luar Indonesia. Saya teringat pada apa yang dikatakan oleh salah seorang DJ MTV yang blasteran Indonesia Australia. ia mengatakan ia bingung identitas dia itu sebenarnya apa. Karena ketika ia di Australia, ia di bully dikatakan ia bukan orang Australia. Ketika ia di Indonesia (Jawa Barat tepatnya, karena kakeknya penulis pesohor di Jawa Barat) ia tidak disebut sebagai orang Indonesia, melainkan disebut sebagai bule. Krisis identitas ini juga membuat beberapa teman-teman yang saya temui juga terkadang bersikap menyebalkan. Misalnya saja, ketika saya kuliah di Thammasat University, saya bertemu dengan seorang mahasiswa yang berkulit sawo matang tetapi berasal dari Amerika. Belakangan saya tahu ternyata ia diadopsi dan dibawa ke Amerika. Tingkahnya sangat menyebalkan. Saya sempat berfikir, mungkin karena krisis identitas itu yang menyebabkan mengapa ia bertingkah sangat menyebalkan. Mungkin ia mengalami kejadian seperti VJ MTV yang saya tuliskan diatas; ketika di Thailand tidak dianggap sebagai orang Thai tetapi ketika di Amerika ia juga tidak dianggap sebagai orang Amerika karena kulitnya yang sangat gelap. Begitu juga ketika bertemu dengan pemuda Pakistan yang sudah lama tinggal di US (ikut orang tuanya), tingkahnya menyebalkan sekali. berbeda dengan teman-temannya yang memang benar-benar bule. Sepertinya krisis identitas juga terjadi pada dirinya. 

    Secara keseluruhan, film Seoul Searching ini sangat bagus. Saya malah merasa para aktor dan aktirs yang ada di film ini seperti sedang mencari jiwa mereka (soul searching) karena krisis identitas tadi. 

 


Selasa, 09 Maret 2021

Karena Indonesia Bukan Hanya Jawa

 



Beberapa hari lalu saya mengikuti acara meeting virtual alumni program Muslem Exchange Program dimana saya pernah ikut kegiatan tersebut. Salah seorang yang memberikan acara pembuka adalah duta besar Indonesia untuk Australia. Saya sayangkan sekali pak Dubes menggunakan backsound gending Jawa ketika beliau berbicara. Sebagai orang yang bukan orang Jawa, saya merasa "terpanggil" untuk 'mengingatkan pak Dubes lewat tulisan ini. Saya minta teman yang ada di Melbourne untuk mengirimkan tulisan ini ke duta besar Indonesia di Canberra.


***********************************************

Tulisan ini merupakan refleksi saya untuk 65 tahun usia tanah airku, Indonesia.

Tahun 2010 lalu saya mengunjungi KJRI Indonesia di Melbourne. Saat masuki ruangan, yang pertama menyambut saya adalah patung Bali.

Saat berada di Bangkok tahun 2003, teman saya yang berasal dari UGM bercerita. Hampir setiap bertemu seseorang ia akan ditanyai berasal dari mana, ia menjawab dari Indonesia. Dan orang yang bertanya berkata “oh..I’ve been to Bali’. Sejak saat itu temanku selalu membawa peta Indonesia dan jika ada orang yang bertanya dia dari mana, dan jawabannya sama dengan yang diatas (I am from Indonesia) dan disambut dengan kata-kata “I’ve been to Bali”, teman ini langsung menggelar petanya, menunjukkan “ini Indonesia dan ini Bali dan saya berasal dari sini (sambil menunjukkan pulau Jawa)”.

Saat berada di kedutaan Indonesia di Washington DC tahun 2008, saya bertanya pada atase politik yang menerima kami. Saat itu meeting kami sudah selesai dan pak Atase membawa kami jalan-jalan menuju ruang tamu di kedutaan. Lalu saya lihat ada lukisan Pangeran Diponegoro dan Jendral Sudirman yang sangat besar. Saya katakan”… maaf ya pak, mungkin ini agak sensitive. Koq yang saya lihat disini hanya lukisan Diponegoro dan Sudirman? Ini kan hanya representative Jawa. Si Bapak terdiam sejenak dan lalu menjawab bahwa ada foto Cut Nyak Dhien di rumah Pak Duta Besar dan foto Pangeran Hasanuddin di ruangan yang lain lagi.

Saya sendiri tidak tau mengapa saya berani bertanya seperti itu. Mungkin karena belakangan, setelah meeting selesai, saya tahu bahwa beliau juga tamatan Hubungan Internasional Fisipol UGM (sama seperti saya, meski angkatan berbeda), ada kedekatan psikologis yg menyebabkan saya berani bertanya seperti itu.

Saat saya ceritakan hal ini pada salah seorang teman yang berasal dari Papua, ternyata ia mempunyai cerita yang sama. Katanya, pengalaman saya persis sama seperti yang dialami oleh seorang perempuan Papua saat diundang ke istana merdeka. Menurut Lusi (teman saya tadi), kasus Freeport (demo yang dilakukan oleh orang Papua di Freeport) mengundang keinginatahuan presiden SBY untuk mendengar lebih jauh dari masyarakat Papua sendiri. Lalu diundanglah beberapa orang dari kawasan Freeport untuk datang ke Istana merdeka. Saat diistana, setelah Presiden menyampaikan kata sambutannya,seorang ibu berdiri dan bertanya “ Pak, mengapa saya tidak melihat orang-orang kami di foto-foto yang ada diruangan ini? Apa yang salah dengan kami?”.
 Pak SBY langsung tercenung, tidak bisa berkata apa-apa dan matanya berkaca-kaca.
Ternyata sebelum memasuki ruangan pertemuan, banyak foto pahlawan Indonesia yang dipasang dilorong menuju tempat pertemuan. Dan itulah yang dilihat oleh si ibu tadi sehingga dia berani menanyakan, mengapa tidak ada orang yang mempunyai performa seperti dirinya
(berambut keriting dan berkulit hitam) dipajang di lorong tersebut.

Saya kira kita semua mengetahui bahwa memang daerah Indonesia yang sudah sangat terkenal secara internasional adalah Jawa dan Bali. Dan karena itu, Indonesia akan sangat mudah  diperkenalkan dengan menggunakan kedua daerah tadi. Namun sayang sekali, banyak sekali daerah-daerah lain yang ada di Indonesia menjadi tidak terwakilkan dalam kegiatan-kegiatan atas nama Indonesia. Salah seorang teman yang kuliah di Flinders juga sempat menemui salah seorang dosen dan menyampaikan keheranannya mengapa hanya ada batik yang merepresentasikan Indonesia di setiap kegiatan atas nama Indonesia. Karenanya, teman ini tadi meninggalkan kain tapis Lampung miliknya sebagai cendera mata saat dia akan pulang ke Lampung, setelah kuliahnya selesai.

Mungkin, butuh kerja  ekstra keras untuk memperkenalkan pada masyarakat dunia bahwa Indonesia bukan hanya Jawa dan Bali.

Selamat Ulang Tahun Indonesiaku…semoga kedepan akan lebih banyak lagi perwakilan-perwakilan dari tanahmu yang muncul di luar Indonesia, sehingga dunia tau bahwa Indonesia itu bukan hanya beretnis Jawa dan Bali.

(tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menyinggung perasaan teman-teman yang beretnis Jawa atau Bali)

Rosnida Sari

Wakil Aceh untuk MEP 2006, Presiden PPIA Flinders University (2009-2010)