Saya disms oleh salah seorang mantan
anggota Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara). Ternyata mereka sudah bebas, tidak
lagi berada di dalam penjara. Saya ingin sekali bertemu dengan mereka dan
mendengar langsung bagaimana mereka bisa bebas.
Setelah merencanakan bertemu,
akhirnya kami bisa bertemu pada hari Senin pagi. Saya bertemu Dedy (bukan nama
sebenarnya) dan ia menceritakan bagaimana dia bisa keluar. Sebenarnya dia dan 3
teman lain memang sudah dikabarkan akan bebas (bersyarat). Tapi belum jelas kapan
mereka akan keluar. Akhirnya, Jumat (13 Agustus) mereka benar-benar bebas.
Dedy sebenarnya meminta untuk
dikeluarkan pada malam hari, biar dia bisa merasa nyaman, tidak perlu bertemu
dengan orang lain di luar penjara. Tapi ternyata kepala Lapas sama sekali tidak
menerima permintaannya. Akhirnya Dedy dan teman-teman yang lain keluar dari
penjara hari itu juga, jam 3 sore. Setelah sebelumnya, pagi hari, diberitakan
kebebasannya.
Saya melihat bagaimana tidak
sensitivenya para aparat penegak hokum itu. Mereka tidak merasakan berada di
posisi korban yang masih gamang untuk keluar dari penjara dan malu bertemu
orang-orang. Tapi mereka memaksa tahanan itu untuk langsung keluar tanpa
memikirkan perasaan para tahanan itu. Ini mengingatkan saya pada situasi saya
pasca kejadian Januari 5, 2015. Ketika itu Dekan menyurati mengatakan “harap
bertugas seperti biasa”, tanpa sama sekali mempertimbangkan perasaan saya
bagaimana menjadikan hari-hari setelah kejadian itu menjadi “seperti biasa”.
********
Dedy terlihat begitu bahagia. Dia
malah setelah bebas dari penjara sore hari, malamnya sudah keliling-keliling
kota Banda Aceh sendirian. Dia sekarang sudah menemani ibunya kemana-mana
bahkan antar jemput ibu yang mengajar di salah satu madrasah di Banda Aceh.
Dedy malah sudah mendaftar ulang untuk melanjutkan kuliahnya di salah satu
universitas di Banda Aceh. Dia punya nilai yang bagus2 ketika masih kuliah di
salah satu universitas di Aceh. Bahkan dari semester satu dia sudah tercatat
bebas uang kuliah. Hebat bukan? Jadi pasti tidak akan susah baginya untuk menyelesaikan
kuliah di kampus baru. Kasian ya, orang seppintar itu disia-siakan oleh
pemerintah dan dimatikan masa depannya. Tapi, aku yakin, dia akan lebih tegar
dan akan lebih cemerlang masa depannya * Amiiin..*.
Rian (bukan nama sebenarnya) punya
cerita yang berbeda. Dia sekarang sedang galau mau ngapain. Dia sudah tidak
bekerja lagi (dia mengasumsikan dia sudah dipecat dari kerjaannya), jadi dia ga
punya bayangan harus ngapain. Aku sarankan buat di ke Australia saja. Kuliah
disana sambil bekerja, karena aku yakin orang tuanya ga miskin-miskin amat
untuk membayar uang kuliahnya, sedangkan biaya hidup bisa dia cari disana
sambil bekerja. Aku beri bayangan padanya tentang hidup di Australia, bahwa
orang pintar sepertinya pasti bisa hidup disana bahkan fikiran-fikirannya yang
sangat progressive bisa berkembang disana. Tapi sepertinya ceritanya akan lain.
Orang tuanya ingin dia ke Malaysia, melanjutkan study disana.
Tadi sore aku bertemu dengan mantan
yang lain, sebut saja namanya Rizal. Rizal telah kembali ke kehidupan
normalnya. Ia kembali bekerja (setelah melapor tentunya). Tapi Rizal merasa
tidak nyaman, terutama atas perkembangan kedua anaknya. Ia ingin sekali pindah
ke luar negeri untuk membesarkan anak-anaknya. Menurutnya pendidikan agama
disini begitu terdoktrin, sehingga anak-anaknya tidak terbebaskan pemikirannya.
Apalagi kalau nanti anak-anaknya mendapat stigma sebagai ‘anak yang punya ayah
dengan agama sesat’.
Aku beri masukan untuk mencari
working holiday visa ke Australia. Disana nanti dia bisa bekerja. Begitu juga
dengan ide untuk datang ke kedutaan Australia dan mencari tau tentang working
holiday visa itu.
Ditempat kami duduk, ada beberapa
teman yang juga berasal dari NGO. Aku beritahu Rizal bahwa teman-teman itu
mungkin bisa memberi masukan karena mereka adalah orang yang sudah biasa
membantu para pelarian pada masa konflik dulu itu. Rizal bersedia bertemu
dengan mereka. Akhirnya, kami berunding dengan teman-teman, bagaimana cara
terbaik untuk Rizal. Akhirnya kami memutuskan bahwa Rizal harus tinggal di Aceh
dulu, karena dia belum dipecat dari pekerjaannya. Ketika nanti dia dapat surat
pemecatan, dia bisa melanjutkan sekolahnya ke luar Aceh dan melakukan wajib
lapor disana. Setelah selesai S1, dia bisa melanjutkan kuliah ke S2, karena akn
lebih mudah mendapat beasiswa untuk S2 daripada S1. Maka rencana untuk mencari
working holiday visa harus ditangguhkan, karena prioritas saat ini adalah Rizal
harus lapor ke kantor polisi sebulan sekali. Jika ia melanjutkan sekolah, dia
bisa melakukan wajib lapornya di mana dia melanjutkan sekolah.
Aku senang sekali bahwa aku bisa
berbuat sesuatu, meski kecil buat mereka. Sedihnya, aku belum bertemu dengan
salah satu yang lain dari mereka. Info yang aku dapatkan bahwa salah seorang
ini terbilang disisihkan dalam keluarga karena kegatan Gafatar yang ia ikuti.
Ayahnya malah tidak pernah menjenguknya di penjara, hanya ibunya yang datang
sesekali. Bahkan ketika lebaran Idul Fitri, tak ada satu keluargapun yang
mengunjunginya. Istrinya dijauhkan dari
dia dan khabarnya ia akan disyahadatkan kembali setelah itu dinikahkan lagi
dengan istrinya itu.
Salah seorang teman yang diajak
ngobrol tadi berasal dari Jakarta. Ia menjadi bahagian dari komunitas jurnalis
yang mengabarkan berita2 penuh kesejukkan dibandingkan berita provocative.
Menurutnya, ia dan teman-temannya mendampingi komunitas Gafatar diJakarta.
Menurut teman ini, komunitas Gafatar yang sudah dikembalikan ke Indonesia dari
pengungsian di Kalimantan malah sudah sangat progressive pengadvokasian kasus
mereka. Mereka punya alat rekam dan video perekam atas kasus-kasus yang terjadi
pada mereka. Sehingga mereka mempunyai alat bukti untuk membantu mengadvokasi
kasus mereka. Berbeda dengan kasus Singkil (Gereja yang dibakar dan
dirubuhkan), mereka belum mengerti pentingnya alat bukti lewat
pendokumentasian, sehingga ketika teman wartawan ini dating ke Singkil, ia
mengajarkan komunitas Kristiani disana untuk mendokumentasikan apapun yang
terjadi pada mereka, termasuk surat-surat pemerintah yang berhubungan dengan
kasus mereka.
Masih ada dua pengurus gafatar di
dalam penjara…pak ketua dan seorang perempuan muda yang juga menjadi pengurus.
Karena si perempuan ini berada di lapas yang berbeda dengan para lelaki ini,
sepertinya surat pembebasannya juga berbeda. Pak ketua belum bebas (bersyarat)
seperti yang lainnya, karena masa tahananya juga lebih lama.
Teman-teman di luar Aceh banyak yang
kaget, mengapa Gafatar sampai di tahan di Aceh? Aku jelaskan, bahwa kasus
gafatar Aceh berbeda dengan yang di Jakarta. Mereka ditahan jauh sebelum kasus
Gafatar yang terjadi di Mempawah. Alat penangkapan mereka juga berbeda. Mereka
di jerat dengan pasal 156 ayat 1(A), dimana mereka disebutkan melakukan
penodaan agama. Padahal, mereka sama sekali tidak melakukan apa-apa. Mereka adalah
anak muda yang kritis dan cerdas sehingga ikut di organisasi tersebut, karena
mereka merasa bahwa kemandirian pangan yang diidekan oleh komunitas itu sesuai
dengan bakat minat mereka untuk bisa mandiri di bidang pangan. Dan mereka
melakkukan kegiatan kemandirian pangan itu. Tapi hanya karena diAD/ART mereka
tertulis kata-kata Mesias, mereka lalu di tahan. Anehnya, mereka langsung
dikriminalkan hanya karena ada kata-kata Mesias di AD/ART mereka, padahal
mereka sama sekali tidak melakukan aksi criminal. Disinilah, para aktivis HAM
dan perdamaian menganggap bahwa pasal ini sangat rentan digunakan oleh penguasa
untuk menjerat orang-orang yang dianggap tidak sepaham dengan mereka.
JackpotCity casino no deposit bonus codes 2021 - DrMCD
BalasHapusJackpot 계룡 출장샵 City casino no deposit 나주 출장샵 bonus codes 김포 출장샵 2021 - get $1000 no deposit bonus at JackpotCity Casino! Best Casino Bonus Codes For 속초 출장마사지 US 삼척 출장샵 Players 2021!