Aku yakin kasusku
tahun 2015 lalu dilakukan oleh orang-orang yang mudah terprovokasi. Salah satu
yang mudah terprovokasi tersebut adalah mereka yang kurang membaca, kurang
pendidikan dan kurang pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan budaya dan agama
yang berbeda. Oleh karena itu, aku terfikir, mungkin ada baiknya untuk membuka
ruang membaca bagi anak-anak di desa-desa.
Mengapa desa yang
aku pilih?
Di kota Banda Aceh
ini setiap hari minggu ada satu lembaga yang membuka lapak baca di lapangan
Blang Padang. Anak-anak, remaja dan orang tua yang menggunakan Blang Padang
untuk lari pagi dan olah raga lainnya, selesai berolahraga dapat menggunakan
fasilitas lapak baca tadi. Namun, menurutku, wilayah kota sudah banyak yang
melakukan seperti itu, dan kebanyakan di kota, sudah banyak orang yang melek
ilmu. Aku mengapresiasi apa yang telah mereka
lakukan, tidak ada yang salah pada apa yang telah mereka lakukan. Hanya, masih sangat sedikit ada yang mau
memberi perhatian pada wilayah pedesaan. Sedangkan, dalam kasusku, banyak para
santri-santri yang akan menyerang rumahku berasal dari pesantren, yang dalam
fikiranku, adalah pesantren Salafi, dan pesantren salafi itu banyak terdapat di
desa (ehm..ini perlu penelitian lebih lanjut sebenarnya).
Tapi, karena
hanya berada di wilayah kota, wilayah desa tidak pernah tersentuh oleh bacaan.
Karenanya, aku berfikir, mungkin sebaiknya membuka wilayah baca, lapak baca, di
wilayah dimana aku pernah melakukan penelitian dulu itu, ditahun 2013. Saat itu
aku bersama dengan beberapa peneliti Aceh melakukan penelitian dengan peneliti
Australia. Setelah selesai melakukan penelitian tersebut, aku masih sering datang
ke sana sambil membawa beberapa mainan bongkar pasang dan buku. Buku dan mainan
itu langsung diserbu oleh anak-anak disekitar rumah dimana aku tinggal. Ini membuatku
berfikir, mungkin sebaiknya membuka ruang bacaan buat anak-anak ini.
Desa ini berjarak
dua jam perjalanan dari Banda Aceh kearah Calang, Aceh Jaya. Desa ini adalah
desa yang hilang ditelan tsunami. Menurut penduduk disana, desa mereka telah
menjadi laut, sehingga mereka harus membuat desa baru yang jaraknya tidak jauh
dari desa asal. Rumah-rumah di desa itu sangat cantik, karena di buat oleh
Canadian Red Cross. Tata pemerintahan desa juga sangat bagus, dalam artian
pemerintah desa berjalan dengan baik. Ini di kemukakan oleh penduduk desa
sendiri.
Desa ini terletak
di tepi jalan besar, sehingga akses mereka sangat besar sebenarnya. Hanya
kemudian, tingkat pendidikan masyarakat tidak begitu tinggi. Banyak dari mereka
yang selesai SMU langsung menikah (penuturan ibu geuchik), atau tamat pesantren
lalu menikah. Ketika konflik selesai karena tsunami, mulailah ada beberapa yang
melanjutkan kuliah. Ketika konflik hanya ada beberapa anak laki-laki yang tamat
SMP. Jangan tanya bagaimana pendidikan anak perempuannya.
Setelah beberapa
kali mendatangi desa tersebut, aku terfikir untuk menghibahkan buku saja, agar
mereka bisa membaca buku yang aku berikan. Namun, setelah bertemu dengan seorang
teman saya mengurungkan ‘niat baik’ itu. Kata si teman “yakin kamu kalau bukumu
akan di jaga oleh mereka? Jangan-jangan malah buku yang kau berikan akan
membusuk disitu dan tidak ada yang membaca. Jangan samakan mereka dengan kita.
Mereka itu tidak terbiasa membaca dan akibatnya tidak sayang pada buku.Kan
kasihan kalau bukumu terbuang-buang disitu, nanti kamu juga yang sedih pas datang
kesana kau lihat bukumu terserak disitu”.
Hmm….apa yang
dikatakan oleh teman ini ada benarnya.
Lalu, teman ini
mengenalkan aku pada satu lembaga yang menyerupai perpustakaan. Lembaga ini
memang sebuah perpustakaan di kantor induknya, tetapi mereka juga bekerjasama
dengan desa-desa yang mau membuka pustaka didesanya sendiri. Lembaga ini akan
memasok buku ke desa tersebut dan melakukan pergantian buku setiap 3 bulan
sekali, sehingga anak-anak itu akan terus mendapat buku-buku bacaan yang baru. Yang
dibutuhkan oleh lembaga ini hanyalah satu ruangan di desa, penjaga pustaka dan
penanggungjawab pustaka.
Khabar ini aku sampaikan
hal ini ke pak kepala desa dan beliau mengatakan akan mencari orang yang bisa
menjaga pustaka, sedangkan ruangan bisa digunakan TPA dan penanggung jawab,
bisa pak geucik sendiri.
Ketika pak geucik
menelfon, beliau mengatakan bahwa tidak ada yang mau menjadi penjaga pustaka. Saya
berasumsi mungkin pak geucik merasa tidak mampu untuk membayar si penjaga
pustaka sebesar Rp. 250.000. Tapi bukankah desa sekarang sudah punya dana desa
yang begitu besar? Mengapa tidak dana itu sedikit digunakan untuk kemajuan
pendidikan anak-anak disitu?
Namun, dari pada
mengutuki apa yang telah terjadi (dan mungkin saja itu masih asumsi), aku kira
sebaiknya aku membuka lapak baca sendiri saja. Tujuannya adalah agar masyarakat
melihat bahwa seperti ini tujuan dari pustaka yang aku bicarakan. Dalam bayanganku,
seringnya orang tidak akan percaya pada omongan, mereka akan percaya setelah
melihat bukti.
Karenanya, aku
bersama beberapa teman mendiskusikan hal ini, apakah mungkin kami membuka lapak
baca, buka pagi dan tutup petang, seperti nyak-nyak yang jualan di emperan toko
di pasar?
Ternyata teman-teman
menyetujui rencana tersebut, terlebih lagi setelah mereka mengetahui alasan kenapa
aku membuka kegiatan tersebut. Beberapa teman mendonasikan buku dan mainan
layak pakai yang bisa digunakan oleh anak-anak tersebut.
Kegiatan ini
telah berjalan dua kali pertemuan. Dibulan pertama, mungkin karena pak geucik
mengumumkan ke anak-anak, banyak yang datang. Tapi di bulan kedua ini, sedikit
yang datang. Mungkin karena tidak ada pak Guecik di ruangan kami membuat
kegiatan. Pak Guecik sedang ke suatu daerah, sedang ada acara. Saya tentunya
tidak bisa memaksa anak-anak itu untung datang seterusnya. Kegiatan ini bukan
kegiatan paksaan. Tapi saya senang bahwa masih ada anak-anak yang mau dating,
belajar (karena temanku mau menjelaskan seperti guru gambar-gambar yang ada
dibuku), bermain balok susun dan membaca.
Mungkin bulan
depan akan melakukan kegiatan nonton film kartun bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar