Senin, 22 Agustus 2016

Pustaka Bagi Anak





Aku yakin kasusku tahun 2015 lalu dilakukan oleh orang-orang yang mudah terprovokasi. Salah satu yang mudah terprovokasi tersebut adalah mereka yang kurang membaca, kurang pendidikan dan kurang pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan budaya dan agama yang berbeda. Oleh karena itu, aku terfikir, mungkin ada baiknya untuk membuka ruang membaca bagi anak-anak di desa-desa.

Mengapa desa yang aku pilih?

Di kota Banda Aceh ini setiap hari minggu ada satu lembaga yang membuka lapak baca di lapangan Blang Padang. Anak-anak, remaja dan orang tua yang menggunakan Blang Padang untuk lari pagi dan olah raga lainnya, selesai berolahraga dapat menggunakan fasilitas lapak baca tadi. Namun, menurutku, wilayah kota sudah banyak yang melakukan seperti itu, dan kebanyakan di kota, sudah banyak orang yang melek ilmu.  Aku mengapresiasi apa yang telah mereka lakukan, tidak ada yang salah pada apa yang telah mereka lakukan.  Hanya, masih sangat sedikit ada yang mau memberi perhatian pada wilayah pedesaan. Sedangkan, dalam kasusku, banyak para santri-santri yang akan menyerang rumahku berasal dari pesantren, yang dalam fikiranku, adalah pesantren Salafi, dan pesantren salafi itu banyak terdapat di desa (ehm..ini perlu penelitian lebih lanjut sebenarnya). 

Tapi, karena hanya berada di wilayah kota, wilayah desa tidak pernah tersentuh oleh bacaan. Karenanya, aku berfikir, mungkin sebaiknya membuka wilayah baca, lapak baca, di wilayah dimana aku pernah melakukan penelitian dulu itu, ditahun 2013. Saat itu aku bersama dengan beberapa peneliti Aceh melakukan penelitian dengan peneliti Australia. Setelah selesai melakukan penelitian tersebut, aku masih sering datang ke sana sambil membawa beberapa mainan bongkar pasang dan buku. Buku dan mainan itu langsung diserbu oleh anak-anak disekitar rumah dimana aku tinggal. Ini membuatku berfikir, mungkin sebaiknya membuka ruang bacaan buat anak-anak ini. 

Desa ini berjarak dua jam perjalanan dari Banda Aceh kearah Calang, Aceh Jaya. Desa ini adalah desa yang hilang ditelan tsunami. Menurut penduduk disana, desa mereka telah menjadi laut, sehingga mereka harus membuat desa baru yang jaraknya tidak jauh dari desa asal. Rumah-rumah di desa itu sangat cantik, karena di buat oleh Canadian Red Cross. Tata pemerintahan desa juga sangat bagus, dalam artian pemerintah desa berjalan dengan baik. Ini di kemukakan oleh penduduk desa sendiri. 


Desa ini terletak di tepi jalan besar, sehingga akses mereka sangat besar sebenarnya. Hanya kemudian, tingkat pendidikan masyarakat tidak begitu tinggi. Banyak dari mereka yang selesai SMU langsung menikah (penuturan ibu geuchik), atau tamat pesantren lalu menikah. Ketika konflik selesai karena tsunami, mulailah ada beberapa yang melanjutkan kuliah. Ketika konflik hanya ada beberapa anak laki-laki yang tamat SMP. Jangan tanya bagaimana pendidikan anak perempuannya.

Setelah beberapa kali mendatangi desa tersebut, aku terfikir untuk menghibahkan buku saja, agar mereka bisa membaca buku yang aku berikan. Namun, setelah bertemu dengan seorang teman saya mengurungkan ‘niat baik’ itu. Kata si teman “yakin kamu kalau bukumu akan di jaga oleh mereka? Jangan-jangan malah buku yang kau berikan akan membusuk disitu dan tidak ada yang membaca. Jangan samakan mereka dengan kita. Mereka itu tidak terbiasa membaca dan akibatnya tidak sayang pada buku.Kan kasihan kalau bukumu terbuang-buang disitu, nanti kamu juga yang sedih pas datang kesana kau lihat bukumu terserak disitu”. 

Hmm….apa yang dikatakan oleh teman ini ada benarnya. 

Lalu, teman ini mengenalkan aku pada satu lembaga yang menyerupai perpustakaan. Lembaga ini memang sebuah perpustakaan di kantor induknya, tetapi mereka juga bekerjasama dengan desa-desa yang mau membuka pustaka didesanya sendiri. Lembaga ini akan memasok buku ke desa tersebut dan melakukan pergantian buku setiap 3 bulan sekali, sehingga anak-anak itu akan terus mendapat buku-buku bacaan yang baru. Yang dibutuhkan oleh lembaga ini hanyalah satu ruangan di desa, penjaga pustaka dan penanggungjawab pustaka. 

Khabar ini aku sampaikan hal ini ke pak kepala desa dan beliau mengatakan akan mencari orang yang bisa menjaga pustaka, sedangkan ruangan bisa digunakan TPA dan penanggung jawab, bisa pak geucik sendiri.


Ketika pak geucik menelfon, beliau mengatakan bahwa tidak ada yang mau menjadi penjaga pustaka. Saya berasumsi mungkin pak geucik merasa tidak mampu untuk membayar si penjaga pustaka sebesar Rp. 250.000. Tapi bukankah desa sekarang sudah punya dana desa yang begitu besar? Mengapa tidak dana itu sedikit digunakan untuk kemajuan pendidikan anak-anak disitu? 

Namun, dari pada mengutuki apa yang telah terjadi (dan mungkin saja itu masih asumsi), aku kira sebaiknya aku membuka lapak baca sendiri saja. Tujuannya adalah agar masyarakat melihat bahwa seperti ini tujuan dari pustaka yang aku bicarakan. Dalam bayanganku, seringnya orang tidak akan percaya pada omongan, mereka akan percaya setelah melihat bukti.

Karenanya, aku bersama beberapa teman mendiskusikan hal ini, apakah mungkin kami membuka lapak baca, buka pagi dan tutup petang, seperti nyak-nyak yang jualan di emperan toko di pasar?

Ternyata teman-teman menyetujui rencana tersebut, terlebih lagi setelah mereka mengetahui alasan kenapa aku membuka kegiatan tersebut. Beberapa teman mendonasikan buku dan mainan layak pakai yang bisa digunakan oleh anak-anak tersebut.

Kegiatan ini telah berjalan dua kali pertemuan. Dibulan pertama, mungkin karena pak geucik mengumumkan ke anak-anak, banyak yang datang. Tapi di bulan kedua ini, sedikit yang datang. Mungkin karena tidak ada pak Guecik di ruangan kami membuat kegiatan. Pak Guecik sedang ke suatu daerah, sedang ada acara. Saya tentunya tidak bisa memaksa anak-anak itu untung datang seterusnya. Kegiatan ini bukan kegiatan paksaan. Tapi saya senang bahwa masih ada anak-anak yang mau dating, belajar (karena temanku mau menjelaskan seperti guru gambar-gambar yang ada dibuku), bermain balok susun dan membaca.


Mungkin bulan depan akan melakukan kegiatan nonton film kartun bersama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar