Sabtu, 03 Desember 2016

Eksekusi Cambuk dikotaku



Sabtu lalu (26 Nov 2016) seorang teman mengirim informasi bahwa ada eksekusi cambuk yang akan dilaksanakan di wilayah Lamseupung, salah seorang yang akan dicambuk diduga sedang hamil. Menurut qanun, perempuan yang sedang hamil tidak bisa dicambuk. Harus ditunggu sampai dia melahirkan dan selesai menyusui baru akan dicambuk. Tapi, aneh, ini ada perempuan sedang hamil tapi koq dicambuk?

Seorang teman mengajak saya untuk mengunjungi perempuan tersebut di rumah tahanan Lhoknga. Rutan ini dikhususkan untuk tahanan perempuan dan anak. Namun, ketika kami datang, ternyata si terpidana telah dibawa ke wilayah eksekusi.

Sayapun dan teman (beserta seorang pengacara yang kami bawa) segera menyusul ke tempat eksekusi cambuk tersebut. Ketika kami disana, ternyata eksekusi sudah dilaksanakan. Ternyata hari itu ada 6 pencambukan, yang sempat kami lihat hanya 2 saja. Salah satunya adalah perempuan yang kami kira sedang hamil tersebut.



Siperempuan di cambuk 100x karena ia mengaku telah melakukan zina. Menurut qanun, jika si tertuduh telah mengakui melakukan zina (baik laki-laki dan siperempuan) maka mereka harus dicambuk 100x. menurut informasi yang saya dan teman-teman dapatkan tentang perempuan terakhir yang dicabuk ini, dia kedapatan bersama pasangannya (saya tidak tau apakah didalam kamar atau diluar kamar) yang dalam pengertian dalam qanun sudah dianggap ikhtilat, hukumannya 25x cambukkan. Tapi karena dia mengaku bahwa sudah melakukan zina, maka hukumannya jatuh kepada zina sehingga menurut qanun hukumannya adalah cambuk 100x. kedua anak manusia yang terakhir yang saya lihat ini adalah pasangan yang dianggap berzina tadi. Merekalah yang saya sempat lihat dicambuk sebanyak 100x. si laki-laki berdiri dan dicambuk 100x. dilakukan oleh dua algojo. Satu algojo mencambuk 50x, dan algojo kedua 50x. ketika selesai pencambukan 50x si laki-laki ditanyai, seeprtinya ditanya apakah masih sanggup atau tidak. Dia mengangguk, diberi minum dan pencambukan tahap kedua dilaksanakan. 


Siperempuan tidak berdiri, melainkan duduk. Ketika dia duduk, dia seeprtinya merapal do’a. dia juga dicambuk 100x. 50x pertama ia ditanyai apakah masih sanggup, dia mengangguk lalu dilanjutkan dengan pencambukkan tahap kedua.

Ketika pencambukan selesai, saya dan teman-teman ingin bertemu dengan perempuan yang dicambuk tersebut. Sepertinya tidak ada yang melarang kami untuk bertemu mereka. Kamipun menuju ke belakang masjid. Disana kami melihat para pemuda yang dicambuk yang tengah duduk. Mereka tidak lagi menggunakan baju gamis putih (baju yg dipakai ketika pencambukan), tapi sudah bertelanjang dada. Dari luar ruangan saya melihat bagian belakang punggung mereka yang lebam-lebam. 

Ada seorang laki-laki yang berbaju coklat di dekat para terpidana itu. Temanku bertanya apakah kami boleh bertemu dengan para terpidana perempuan. Katanya boleh. Tapi mereka ada diruangan yang berbeda dengan para lelaki ini. Jadi, kami harus menunggu hingga para lelaki itu keluar dulu baru kami bisa menemui si para perempuan.

Sambil menunggu, aku perhatikan para lelaki yang baru dicambuk tadi. Salah seorang dari merka keluar dari ruangan tersebut. Dia sudah menggunakan pakaian biasa, sehingga pasti orang-orang tidak kenal lagi bahwa dialah yang baru dicambuk tadi. Aku dekati dia dan kutanya “berapa kali dicambuk?”. “22x kak” katanya. Aku melihat   kedirinya yang sedang bersiap-siap menggunakan baju kemeja (dia sudah memakai t-shirt terlebih dahulu). Aku berkata “semangat ya” sambil mengacungkan dua jempol. Dia melihat ke aku sambil tersenyum, “ga papa kak”, katanya.

Ketika sedang menunggu diluar masjid, ternyata si perempuan telah keluar dari pintu lain. Aku dan temanku yakin itu perempuan yang baru selesai dicambuk, karena mereka ditemani oleh seorang petugas yang berbaju coklat (mungkin orang kejaksaan) dan jilbab yang digunakan bagian atasnya diturunkan sedikit sehingga menutupi wajah sebagian.  Sama seperti para terpidana laki-laki, mereka juga tidak lagi memakai baju  putih seperti saat pencambukan tadi. Mereka sudah beprakaian biasa, sehingga tidak akan ada orang di sekitar itu mengenali bahwa merekalah yang baru dicambuk tadi. Saya yakin merekalah yang dicambuk, karena mereka ditemani oleh orang kejaksaan. Kedua remaja putri itu tidak mau jauh-jauh dari petugas itu.
Temanku bilang, “itu mereka” dan kamipun mengejar mereka. Sejujurnya aku tidak tau mengapa harus mengejar mereka, tapi aku fikir karena kami membawa pengacara, maka ada banyak hal yang bisa kami tanyakan pada kedua perempuan tersebut. Tapi perempuan itu telah dibawa kemobil yang sudah berada di luar masjid, bersama denga lelaki lain yang juga ikut dicambuk. Mereka, dengan pakaian yang berbeda, tidak ada yang menyangka bahwa merekalah orang-orang yang dicambuk tadi. 

Beberapa wartawan yang ada disitu berusaha mewawancarai para lelaki yang dicambuk, tapi para remaja lelaki itu kelihatan sangat ketakutan. Seorang lelaki tua berkata “untuk apa lagi diwawancarai, mereka sudah dicambuk”. Seorang wartawan senior berkata “biar orang diluar sana tau kalau hukuman ini kenanya cuma orang kecil, yang besar-besar tidak terkena sama sekali”. Saya yakin yang dimaksud oleh si wartawan senior ini adalah para pejabat yang kirup. Tapi para remaja itu berlalu dan menuju kemobil petugas yang tadi telah didatangi oleh para tahanan perempuan. Mereka dibawa kembali ke rutan, untuk menyelesaikan administrasi dan lalu kembali pulang ke rumah mereka. Sepenglihatanku, hanya dua perempuan yang menemani mereka, tidak ada seorangpun laki-laki. Asumsiku para perempuan itu adalah ibu mereka. 

Dilokasi pencambukan itu kami bertemu dengan seorang wartawan perempuan. Katanya sebenarnya perempuan yang dicambuk 100x tadi adalah remaja putri yang kedapatan bersama pacarnya. Dia dijatuhi hukuman cambuk sebanyak 25x. Tapi karena malam itu ia mengakui bahwa ia sudah melakukan hubungan badan sebanyak 2x dengan pacarnya, dia dikenai pasal zina. Pasal itu mengatakan “jika siterlapor mengakui bahwa sudah melakukan hubungan badan, maka ia dicambuk sebanyak 100x”. Alih-alih mendapatkan 25x, si remaja putri ini malah mendapat 100x. Aku yakin ia mengakui perbuatannya itu karena dibawah tekanan orang-orang yang menggerebeknya. Kebayangkan bagaimana orang dewasa, laki-laki, menggerebek? Saya yakin tidak ada wajah lembutnya. Pastilah mereka merasa seeprti orang yang tidak berdosa, menghujat orang-orang yang dianggap berdosa telah mencemari tanah bersyariat ini. 


 Akupun tak tau apakah para tertuduh ini didampingi oleh para pengacara.





Ketika sampai di lokasi pencambukan, aku lihat anak-anak SD yang juga menonton eksekusi ini. Begitu juga orang tua yang membawa anaknya untuk menyaksikan eksekusi ini. 
Padahal dalam aturannya, anak-anak tidak diperbolahkan untuk melihat kekerasan.



Ternyata, peraturan tinggal peraturan..

Minggu, 27 November 2016

Sehari Jumat dengan Kisah Beragam



Hari ini aku mengalami banyak kisah karena mengunjungi tempat yang berbeda. Yang pertama, menemani Pak James (bukan nama sebenarnya) bertemu dengan ketua prodi disalah satu fakultas di kampusku.  Kenapa saya bisa bertemu pak James? Ini karena Henni meWA saya dan berkata bahwa ada dosen dari Amrik yang ingin bertemu dan mewawancara. Jadi, jadilah saya bertemu pak James dan ngobrol banyak. Akhirnya di ujung pembicaraan dia bilang bahwa dia ingin membawa mahasiswanya untuk berkunjung ke Aceh. Aku menyarankan ia bertemu dengan ketua jurusan salah satu prodidikampusku karena aku juga mengajar di fakultas tersebut. 

Maka aku sms sibapak ketua jurusan, minta waktu untuk bertemu beliau. Ia setuju untuk ketemu aku di sore hari, pas di jam aku akan mengaja. Ketika ketemu beliau, aku sampaikan “Pak, tadi saya ketemu dosen dari Santa Clara University,California. Ia ingin membawa mahasiswa untuk belajar agama di Aceh. Jadi, saya usulkan untuk bertemu dengan bapak, mungkin bisa menjembatani kegiatan ini bisa berlangsung di Aceh. Dari pembicaraan kami kemarin, sepertinya ia ingin melakukan persis sama dengan apa yang saya lakukan sehingga saya berkasus dulu itu. Tapi kan tidak bisa lagi saya bawa dari Fakultas Dakwah. Mumpung saya juga mengajar di jurusan bapak, saya bilang mending ketemu dengan bapak saja untuk membicarakan lebih lanjut”. Beliau tertegun, langsung katanya “oh bisa”. 

Saya usulkan untuk ketemu di Jum’at sore. Tapi Pak Kajur meminta untuk ketemu di hari Minggu. Aku bilang, Senin dia sudah kembali ke Amerika. Akhirnya pak kajur minta untuk ketemu Jum’at pagi saja, karena Jum’at sore ia harus bertemu dengan Asesor. 

Jum’at pagi jam 10.30, Pak James dan Pak Edi (driver) ke kampus. Aku sudah menunggu disitu dan menelpon pak Kajur mengabarkan kami telah di fakultas. Pak Kajur membawa kami ke ruangan pertemuan Dekan yang sangat besar, yang isinya hanya pak Kajur, Pak James, Pak Edi dan saya (ruangan pak Kajur tidak bisa di pakai karena penuh dengan buku-buku untuk bahan pemeriksaan Asesor). 

Pak James memperkenalkan diri ke Pak Kajur, siapa dia dan tinggal dimana. Tapi sama sekali tidak menyebutkan untuk apa dia datang ke Aceh. Aku udah khawatir, jangan-jangan pak Kajur berfikir “oh..ini orang hanya untuk mengadakan penelitian saja”. 

Namun, secara personal, saya banyak mendapat informasi dari  Pak Kajur dan Pak James tentang bagaimana situasi keislaman orang-orang saat ini. Misalnya; pak James berkata bahwa tadi malam adalah malam thanks Giving, acara yang diperingati masyarakat Amerika. Di Banda Aceh ini, pak James merayakan acara tersebut dengan makan malam bersama beberapa orang Amerika yang tinggal di Banda Aceh; entah karena bekerja, entah karena menikah dengan orang Aceh. Dipertemuan itu Pak James mendengarkan cerita dari salah seorang Amerika yang mengajar bahasa Inggris di salah satu kursus di Banda Aceh. Ketika ia menawarkan  minuman botol kepada muridnya, murid-murid itu tidak mau minum karena mereka takut kalau air itu sudah dirapali sehingga ayat-ayat yang sudah mereka hafal akan hilang. 

Saya betul-betul terperangah mendengar cerita pak James.

Menurut pak Kajur, cerita itu bisa difahami, karena anak-anak di Aceh, khususnya di Banda Aceh, banyak yang masuk kesekolah-sekolah SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu), sekolah yang menyatukan system secular dan agama. Murid-murid ini diharuskan menghafal Alqur’an, sehingga karena anak-anak itu sudah menghafal Alqur’an mereka takut air yang sudah ‘disihir’ itu akan menghilangkan hafalan mereka. 

Saya menambahkan bahwa saya mendapat cerita yang hampir sama. Seorang laki2 Amerika yang menikah dengan seorang perempuan Aceh mempunyai anak laki-laki yang sekolah di sekolah SDIT itu. Ketika seorang Amerika yang lain datang bertamu kerumahnya, ia bertanya “what is your name?”, si tamu berkatanya “……”, si anak bertanya lagi “what is your religion?”, si tamu bilang “I am Christian”, si anak menjawab spontan “ you’re going to hell”. 

Mendengar cerita yang disampaikan oleh teman saya ketika itu, saya betul-betul kaget sampai tidak tau harus bicara apa.

(lagi-lagi) Pak Kajur bilang, ini bukan sesuatu yang patut diherankan. Murid-murid itu yang bersekolah di SDIT adalah anak-anak yang dididik oleh guru-guru yang berafiliasi pada partai politik PKS dan organisasi massa HTI, sehingga cara berfikir guru yang begitu ultra konservatif tersebut diteruskan kepada murid-murid itu. Dua contoh tadi merupakan hasil dari pendidikan yang didapat oleh murid-murid di sekolah yang label agama. Saya kira, SDIT itu adalah sekolah versi modern madrasah. Di Aceh sekarang, bagi orang tua yang kurang mampu, mereka akan memasukkan anak mereka ke madrasah (MIN, MTsN atau MAN, meski di Banda Aceh sudah ada MTs model dan MAN model). Tapi bagi orang tua kaya mereka akan memasukkan anak-anak mereka ke SDIT karena menganggap anak-anak mereka akan dibekali dengan ilmu agama yang memadai disana ketimbang di sekolah SDN.

Usai bertemu dengan pak Kajur, kami lanjutkan mengunjungi anak-anak Kristen yang sekolah alkitab. Kegiatan ini dibuat setiap jumat dari jam 12-2 siang. Anak-anak ini adalah mereka yang sekolah di sekolah umum dan tidak mendapatkan pelajaran agama. Karenanya, ada inisiative untuk memberikan anak-anak ini pelajaran dari al kitab sehingga nanti ketika semester selesai mereka bisa memberikan nilai tersebut kepada gurunya. Ketika kami sampai keruangan dimana proses belajar mengajar tadi diadakan, ada sekitar 12 siswa setingkat smp dan 6 anak setingkat SD yangs sedang belajar diruangan tadi. Ruangan kecil itu tidak mempunyai bangku untuk belajar, jadi anak-anak itu duduk dilantai yang beralas karpet tipis dan membaca alkitab, ditemani oleh seorang guru. Anak-anak itu duduk terpisah. Disebelah kanan saya anak laki-laki dan disebelah kiri saya anak perempuan.   Ketika pulang anak-anak itu menyalami saya dan beberapa tamu yang ada. Menyalami lalu meletakkan tangan kami kekening mereka, persis seperti anak-anak muslim melakkukan salam pada orang yang lebih tua. Saya Tanya pada teman Kristen yang ikut diacara itu, apakah memang anak-anak ini melakukan salam seperti anak-anak muslim? Katanya salam yang seperti itu hanya untuk orang tua saja. Tapi kini mereka lakukan juga pada orang lain yang dianggap dihormati dan dituakan.  


Ketika memasuki ruangan itu, seorang siswi berseru, terkejut. Dia melihat saya lama.
Saya diminta memperkenalkan diri, begitu juga pak James. Ketika tiba waktu untuk bertanya, si anak perempuan yang tadi berseru kaget, bertanya. Sebelum bertanya dia bilang “bu..maaf ya kalau pertanyaannya ga sopan”. Waaah..anak SMP, tapi ngomongnya sopan sekali. Saya langsung bilang “oh gapapa…saya ga akan tersinggung”. Katanya” apakah ibu muslim?”. Saya bilang “iya..saya muslim”. Katanya “tadi saya kaget lihat ibu pake jilbab, koq mau masuk ke sini”. Saya bilang “apa salahnya masuk kesini? Kan saya tidak mau menceramahi kalian’ sambil cengengesan. “Bagaimana kita bisa saling kenal dan menjadi teman kalau tidak saling mengunjungi? Saya ingin orang-orang Tionghoa dan komunitas Kristen bisa menerima saya, karena dengan cara saling kenal dan berteman maka kita akan bisa memunculkan persahabatan dan rasa percaya. Ketika kita sudah percaya satu sama lain, maka kita bisa membangun Aceh ini bersama-sama”. 

Ape yang saya katakan di amini oleh Pak James. Beliau juga mengenalkan dirinya pada siswa yang ada disitu.

Dalam bincang-bincang itu saya bertanya pada mereka, apakah mereka punya teman Muslim? Kata mereka iya, disekolah, tapi bukan sahabat. Hanya sebagai teman saja. “teman muslim itu ga bisa dipercaya”, kata salah seorang dari mereka. Teman yang lain juga bilang mereka sering sekali di bully. Dulu waktu SD dia sekolah di sekolah Methodist (sekolah swasta milik yayasan Kristen yang mayoritas muridnya adalah Tionghoa dan kelas elitis). Ketika SMP ayahnya memasukkan ke sekolah negeri karena menurut si ayah lebih bermutu. Ketika masuk ke sekolah itu, dia langsung dibully oleh teman muslim karena tidak pake jilbab. Dibilang ‘kerak neraka’. Bahkan guru IPS mengatakan bahwa  injil mereka itu penipu. 

Waaah…..mulut saya tidak tertutup ketika mendegar penuturan mereka. Terperangah terus.


Anak-anak tersebut belajar di ruko lantai tiga. Lantai satu  sebagai garasi, lantai dua untuk tempat tinggal dan lantai tiga sebagai menara do’a, atau rumah do’a. Rumah do’a adalah tempat dimana umat Kristen yang berbeda denominasi (kalau di Islam disebut mazhab) bisa berdo’a. Gereja berfungsi untuk melaksanakan kegiatan ritual (berdo’a dipimpin pendeta dan nyanyi-nyayian), sedangkan rumah do’a khusus untuk berdo’a saja.


Anak-anak ini belajar tanpa memiliki meja atau kursi. Jadi mereka hanya berselonjor duduk di lantai yang diberi karpet tipis. Ketika sedang belajar, tiba-tiba lampu mati. Anak-anak itu terpaksa harus menggunakan lampu hape mereka untuk membaca alkitab.

Kata seorang teman yang mengajar di kelas Jum’at itu, sebenarnya dulu mereka telah berkegiatan di salah satu gereja diBanda Aceh, tapi karena dana untuk pendidikan anak-anak itu tidak disokong oleh pemerintah, gereja lalu tidak mengizinkan anak-anak ini untuk belajar di gereja (sepertinya pihak gereja keberatan ruang mereka di pakai tanpa support dana dari pihak pemerintah. Padahal nilai yang diberikan untuk anak-anak itu dibawah komando pihak kemenag. Saya bisa memaklumi kejengkelan pihak gereja. Listrik disitu perlu dibayar dong..belum lagi kertas dan bahan-bahan yang difotokopi tentunya butuh dana. Begitu juga dana untuk guru yang mengajar. Tapi semua itu dilakukan dengan ikhlas oleh guru-guru (yang semuanya perempuan itu). Bahan yang perlu difotokopi, dikerjakan oleh satu yayasan yang direkturnya juga jadi relawan yang mengajar anak-anak itu.


Sedih melihat anak-anak itu harus belajar ditengah keterbatasan. Namun senang melihat minat belajar mereka yang begitu besar. Meski banyak kekurangan, tapi mereka tetap semangat untuk belajar. Menurut salah seorang pengajar, tahun depan mereka akan meminta sedikit dana dari pihak orang tua murid, sehingga biaya listrik tidak terlalu terbeban pada rumah do’a.

Ketika masih berada di UIN, pak Edi (driver) berkata padaku bahwa anak yang berkata “well, you’re going to hell” adalah anak seorang tetangganya dan anak itu berteman baik dengan anaknya. Wah, dunia ini sempit sekali ternyata. Menurut Pak Edi, sianak memang suka sekali berkata kasar, terutama pada orang Kristen. Tapi setelah bergaul dengan anak Pak Edi (yang nota bene Kristen) si anak menjadi lebih toleran. Mungkin menyadari kalau temannya juga Kristen.

Cerita yang lain saya dapat dari teman dosen yang melanjutkan sekolahnya di Jogja. Ternyata, anaknya berteman baik dengan salah seorang anak sahabat dekatku (yang Katolik) ketika S2 di Jogja dulu. Menurut temanku yang dosen ini, ia bersyukur bahwa anaknya bisa berteman dengan anak temanku tadi, karena karena anak teman inilah yang membuat anaknya aware terhadap komunitas Kristen. Si anak dosen ini pernah bertnya padanya, “yah…bagaimana si …..?”. Pertanyaan ini dia sampaikan ke si ayah karena melihat banyak sekali kebencian terhadap komunitas Kristen.  Saya kira, ia khawatir pada keselamatan temannya, oleh karena itu ia tanyakan bagaimana kondisi temannya itu kepada si ayah.

Jadi, untuk melumerkan kebencian yang begitu banyak terhadap komunitas Kristen, maka sudah selayaknya jika ada kegiatan bersama yang dilakukan secure lintas iman. Ini akan membantu anak-anak muda kedepan untuk menghilangkan prasangka karena perbedaan agama.  

Kamis, 20 Oktober 2016

Christianity Subject in my class






This semester one of department in my university invites me to teach in their department. This department is Sociology of Religion. I teach about Religious community in Indonesia. The students are from first semester. These students are quite young because they just finish their high school and now in their first year in the university.

Last week (Wednesday, 12 Oct 2016), I invited some friends from Christian believers to come to the class. I collected three classes in the same time so that there were many students came. The aim of this class with Christianity friends is to make those students feel familiar with Christian people and they also can ask questions related about Christianity. I have told my friend to forgive those students if there were some ignorant questions. It is not because they want to insult, it is just because they do not know. Luckily, my friends can understand it.

The class is full of students. Many students come. Instead of bringing them to church, I ask my friends to come to the class. Before doing it, I had asked permission to the head of the department. He was really happy that I did it. However, he said that I should tell the students not to up load the pictures on the social media. 

Well... I forgot to tell it to the students :-(

I also asked my students from different faculty to come to that class as well. They are 4th years students. In their faculty, they do not have any opportunity to learn about other religion, so that when there is a chance, I think it is better if they also can hear from the Christian people about Christianity.

During the class, at the first there were not many students asking questions. I think may be they got confused about the explanation. However, there were some students also asking questions. For example they asked about the difference of Judaism and Chirstianity, why there is trinity? Why there is Catholicism and Protestant? Do you believe of life after death? 

I am happy that my students asked many questions even though after the explanation, some of them feel confused. My friend said that “we agree to disagree because it is hard to explain faith”. 


In the next day, I ask some students about their opinion. Some students from year 4 said that class was amazing. She never met and talked with Christian people so that class gives her opportunity to ask, even though she get confused:-D. Some female students also said that class is interesting. However, there is one male students said that for him seems that the speakers try to convince the students about Christianity. 

One female student from my faculty, when she heared that story told by her friend saying to me, "miss..please bring that event to here" [meaning that to her faculty]. I said "sorry, it's impossible to bring it here because there is no class related to that topic. It can make danger to you and me if we bring them here". 

Seems I still traumatic with last time experience, huh?

However, when the class from sosiology of religion finished. I invited the presenter to come to my faculty and to my department. I want them to see where I originally work with. When I took them there and introduce them the departement where I teach, I also introduce them to the vise dean, unfortunately or fortunately, were in the stair. I introduce them to him by saying that these people are my friends from the Church community who just teach in another faculty and I took them to our faculty to intriduce them our faculty. 
He just keep silent, I do not know whether he agree or dis agree :-)   

I also asked the same question to the first year student. They said the class is interesting. They get many knowledge and experiences. They also appreciate my friends willing to come and teaching them about Christianity because it might be hard to come to the university where all the students are Muslim while my friends do not wear hijab.

I am glad that students can accept my friends come to their class. I hope this can be a good start to create trust between these two religions. One of presenter gave his phone number to my students so that they can contact him again if they still have some questions or even have a tea sometime J.