Kamis, 25 Agustus 2016

Bringing the 'library' to the village





I believe the case what happen to me last year is because many people have lack of education, lack of reading book and lack of knowing other culture and religion. To stop it, we have to let the kids read many books and at, least, let them to think.

The idea bringing books to the village come from that situation. Three years ago, I went to a village and stayed there for two weeks. I found that the kids there had no many activities. They went to school and in the afternoon and night they would recite holly book in the mosque. Nothing is more than that.
==========
In the center if Banda Aceh, there is a yard where in Sunday morning many people will do exercise in there. There is one organization which bring books and let the kids reading  and close that ‘library’ when not many people in that yard anymore (often at 11 am people already going home). But I do not want to do the same in the city, because the kids in the city are very easy to get access for books. I think, kids in the villages have lack of access to get books.

I want to give the books free. My plan is giving the books and let it put in the mosque. When the kids come for reciting holly book, before starting reading holly book (while waiting for the teacher), the kids can read the books. However, one of friend that I told this idea said “ are you sure you want to give that book free? Don’t you love your book? Those kids are not like us. They do not love books like you. When you leave there, may be they do not care the books and they will tear it”.

By having that comment, I think it is better if I come to the village by bringing the book and let them read it. I will come in the morning and coming back home in the afternoon.

I told that idea to some friends and they enthusiast to help me. We start to collect books from friends but not many books can we collect. However, it just a good start for having some books (we plan asking the province library to donate books).
The first step has started last month (June) on National Children Day. I work with the village leader, asking him to collect the kids in the mosque. When we (4 friend and I) came, we already found the kids in the mosque.


The idea to bring books to the kids and bring it home again is like a trigger for them to ask library to their village leader. Actually, there is an organization who wants to open library in that village. But that organization wants help from the village leader. That organization will provide books and cupboard for the books and the village will provide the room and the staff. I had told it to the village leader. However, there is no information whether the villages will support the library or not, even though the village leader really support it. I think the villages will not believe the idea if they don’t see what the library and reading activities is. 

To persuade the villagers want to open the library, I need to show them how important to let their kids reading and playing (I bought some puzzles as well).   When the villagers think that they need library, the organization who will keen to help to establish library, will come to that village. When it happen, I can move to another village and start the new project of “mini library” as what I have done to this village.


However, doing this project is not easy. That village is 2 hours drive from my city Banda Aceh. In the first time we arrive there, we have to go early in the morning and arrive there around 11.30 am. It was almost lunch time, so we only have little time before breaking. After lunch break, we start again and close at 4.30 PM.

In the second time coming to that village, I have told the village leader that we will start the library at 1.30 so that there is no option to stop for lunch time. However, the village leader has his own business in another town with the district leader. Only my friends and I organized the library. As a consequences, not many kids come. However, I think I cannot force the kids to do what I want. Those who come even though there is no village leader, I presume, are those who rally want to learn and read. And they who come for that reason, even though the number is small is better for me.


I do not know until when I can do this program. Now, I just rely on my friend and my brother. Our family has car and my brother can drive it. So we can do this program. My brother works so that he only can do on Sunday. It is good, because, according to the village leader, the kids only can come to the library on Sunday, when it is not school’s days.

Senin, 22 Agustus 2016

Pustaka Bagi Anak





Aku yakin kasusku tahun 2015 lalu dilakukan oleh orang-orang yang mudah terprovokasi. Salah satu yang mudah terprovokasi tersebut adalah mereka yang kurang membaca, kurang pendidikan dan kurang pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan budaya dan agama yang berbeda. Oleh karena itu, aku terfikir, mungkin ada baiknya untuk membuka ruang membaca bagi anak-anak di desa-desa.

Mengapa desa yang aku pilih?

Di kota Banda Aceh ini setiap hari minggu ada satu lembaga yang membuka lapak baca di lapangan Blang Padang. Anak-anak, remaja dan orang tua yang menggunakan Blang Padang untuk lari pagi dan olah raga lainnya, selesai berolahraga dapat menggunakan fasilitas lapak baca tadi. Namun, menurutku, wilayah kota sudah banyak yang melakukan seperti itu, dan kebanyakan di kota, sudah banyak orang yang melek ilmu.  Aku mengapresiasi apa yang telah mereka lakukan, tidak ada yang salah pada apa yang telah mereka lakukan.  Hanya, masih sangat sedikit ada yang mau memberi perhatian pada wilayah pedesaan. Sedangkan, dalam kasusku, banyak para santri-santri yang akan menyerang rumahku berasal dari pesantren, yang dalam fikiranku, adalah pesantren Salafi, dan pesantren salafi itu banyak terdapat di desa (ehm..ini perlu penelitian lebih lanjut sebenarnya). 

Tapi, karena hanya berada di wilayah kota, wilayah desa tidak pernah tersentuh oleh bacaan. Karenanya, aku berfikir, mungkin sebaiknya membuka wilayah baca, lapak baca, di wilayah dimana aku pernah melakukan penelitian dulu itu, ditahun 2013. Saat itu aku bersama dengan beberapa peneliti Aceh melakukan penelitian dengan peneliti Australia. Setelah selesai melakukan penelitian tersebut, aku masih sering datang ke sana sambil membawa beberapa mainan bongkar pasang dan buku. Buku dan mainan itu langsung diserbu oleh anak-anak disekitar rumah dimana aku tinggal. Ini membuatku berfikir, mungkin sebaiknya membuka ruang bacaan buat anak-anak ini. 

Desa ini berjarak dua jam perjalanan dari Banda Aceh kearah Calang, Aceh Jaya. Desa ini adalah desa yang hilang ditelan tsunami. Menurut penduduk disana, desa mereka telah menjadi laut, sehingga mereka harus membuat desa baru yang jaraknya tidak jauh dari desa asal. Rumah-rumah di desa itu sangat cantik, karena di buat oleh Canadian Red Cross. Tata pemerintahan desa juga sangat bagus, dalam artian pemerintah desa berjalan dengan baik. Ini di kemukakan oleh penduduk desa sendiri. 


Desa ini terletak di tepi jalan besar, sehingga akses mereka sangat besar sebenarnya. Hanya kemudian, tingkat pendidikan masyarakat tidak begitu tinggi. Banyak dari mereka yang selesai SMU langsung menikah (penuturan ibu geuchik), atau tamat pesantren lalu menikah. Ketika konflik selesai karena tsunami, mulailah ada beberapa yang melanjutkan kuliah. Ketika konflik hanya ada beberapa anak laki-laki yang tamat SMP. Jangan tanya bagaimana pendidikan anak perempuannya.

Setelah beberapa kali mendatangi desa tersebut, aku terfikir untuk menghibahkan buku saja, agar mereka bisa membaca buku yang aku berikan. Namun, setelah bertemu dengan seorang teman saya mengurungkan ‘niat baik’ itu. Kata si teman “yakin kamu kalau bukumu akan di jaga oleh mereka? Jangan-jangan malah buku yang kau berikan akan membusuk disitu dan tidak ada yang membaca. Jangan samakan mereka dengan kita. Mereka itu tidak terbiasa membaca dan akibatnya tidak sayang pada buku.Kan kasihan kalau bukumu terbuang-buang disitu, nanti kamu juga yang sedih pas datang kesana kau lihat bukumu terserak disitu”. 

Hmm….apa yang dikatakan oleh teman ini ada benarnya. 

Lalu, teman ini mengenalkan aku pada satu lembaga yang menyerupai perpustakaan. Lembaga ini memang sebuah perpustakaan di kantor induknya, tetapi mereka juga bekerjasama dengan desa-desa yang mau membuka pustaka didesanya sendiri. Lembaga ini akan memasok buku ke desa tersebut dan melakukan pergantian buku setiap 3 bulan sekali, sehingga anak-anak itu akan terus mendapat buku-buku bacaan yang baru. Yang dibutuhkan oleh lembaga ini hanyalah satu ruangan di desa, penjaga pustaka dan penanggungjawab pustaka. 

Khabar ini aku sampaikan hal ini ke pak kepala desa dan beliau mengatakan akan mencari orang yang bisa menjaga pustaka, sedangkan ruangan bisa digunakan TPA dan penanggung jawab, bisa pak geucik sendiri.


Ketika pak geucik menelfon, beliau mengatakan bahwa tidak ada yang mau menjadi penjaga pustaka. Saya berasumsi mungkin pak geucik merasa tidak mampu untuk membayar si penjaga pustaka sebesar Rp. 250.000. Tapi bukankah desa sekarang sudah punya dana desa yang begitu besar? Mengapa tidak dana itu sedikit digunakan untuk kemajuan pendidikan anak-anak disitu? 

Namun, dari pada mengutuki apa yang telah terjadi (dan mungkin saja itu masih asumsi), aku kira sebaiknya aku membuka lapak baca sendiri saja. Tujuannya adalah agar masyarakat melihat bahwa seperti ini tujuan dari pustaka yang aku bicarakan. Dalam bayanganku, seringnya orang tidak akan percaya pada omongan, mereka akan percaya setelah melihat bukti.

Karenanya, aku bersama beberapa teman mendiskusikan hal ini, apakah mungkin kami membuka lapak baca, buka pagi dan tutup petang, seperti nyak-nyak yang jualan di emperan toko di pasar?

Ternyata teman-teman menyetujui rencana tersebut, terlebih lagi setelah mereka mengetahui alasan kenapa aku membuka kegiatan tersebut. Beberapa teman mendonasikan buku dan mainan layak pakai yang bisa digunakan oleh anak-anak tersebut.

Kegiatan ini telah berjalan dua kali pertemuan. Dibulan pertama, mungkin karena pak geucik mengumumkan ke anak-anak, banyak yang datang. Tapi di bulan kedua ini, sedikit yang datang. Mungkin karena tidak ada pak Guecik di ruangan kami membuat kegiatan. Pak Guecik sedang ke suatu daerah, sedang ada acara. Saya tentunya tidak bisa memaksa anak-anak itu untung datang seterusnya. Kegiatan ini bukan kegiatan paksaan. Tapi saya senang bahwa masih ada anak-anak yang mau dating, belajar (karena temanku mau menjelaskan seperti guru gambar-gambar yang ada dibuku), bermain balok susun dan membaca.


Mungkin bulan depan akan melakukan kegiatan nonton film kartun bersama.


Minggu, 21 Agustus 2016

Mantan Napi Politik




Saya disms oleh salah seorang mantan anggota Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara). Ternyata mereka sudah bebas, tidak lagi berada di dalam penjara. Saya ingin sekali bertemu dengan mereka dan mendengar langsung bagaimana mereka bisa bebas.

Setelah merencanakan bertemu, akhirnya kami bisa bertemu pada hari Senin pagi. Saya bertemu Dedy (bukan nama sebenarnya) dan ia menceritakan bagaimana dia bisa keluar. Sebenarnya dia dan 3 teman lain memang sudah dikabarkan akan bebas (bersyarat). Tapi belum jelas kapan mereka akan keluar. Akhirnya, Jumat (13 Agustus) mereka benar-benar bebas.

Dedy sebenarnya meminta untuk dikeluarkan pada malam hari, biar dia bisa merasa nyaman, tidak perlu bertemu dengan orang lain di luar penjara. Tapi ternyata kepala Lapas sama sekali tidak menerima permintaannya. Akhirnya Dedy dan teman-teman yang lain keluar dari penjara hari itu juga, jam 3 sore. Setelah sebelumnya, pagi hari, diberitakan kebebasannya. 

Saya melihat bagaimana tidak sensitivenya para aparat penegak hokum itu. Mereka tidak merasakan berada di posisi korban yang masih gamang untuk keluar dari penjara dan malu bertemu orang-orang. Tapi mereka memaksa tahanan itu untuk langsung keluar tanpa memikirkan perasaan para tahanan itu. Ini mengingatkan saya pada situasi saya pasca kejadian Januari 5, 2015. Ketika itu Dekan menyurati mengatakan “harap bertugas seperti biasa”, tanpa sama sekali mempertimbangkan perasaan saya bagaimana menjadikan hari-hari setelah kejadian itu menjadi “seperti biasa”.

********

Dedy terlihat begitu bahagia. Dia malah setelah bebas dari penjara sore hari, malamnya sudah keliling-keliling kota Banda Aceh sendirian. Dia sekarang sudah menemani ibunya kemana-mana bahkan antar jemput ibu yang mengajar di salah satu madrasah di Banda Aceh. Dedy malah sudah mendaftar ulang untuk melanjutkan kuliahnya di salah satu universitas di Banda Aceh. Dia punya nilai yang bagus2 ketika masih kuliah di salah satu universitas di Aceh. Bahkan dari semester satu dia sudah tercatat bebas uang kuliah. Hebat bukan? Jadi pasti tidak akan susah baginya untuk menyelesaikan kuliah di kampus baru. Kasian ya, orang seppintar itu disia-siakan oleh pemerintah dan dimatikan masa depannya. Tapi, aku yakin, dia akan lebih tegar dan akan lebih cemerlang masa depannya * Amiiin..*. 

Rian (bukan nama sebenarnya) punya cerita yang berbeda. Dia sekarang sedang galau mau ngapain. Dia sudah tidak bekerja lagi (dia mengasumsikan dia sudah dipecat dari kerjaannya), jadi dia ga punya bayangan harus ngapain. Aku sarankan buat di ke Australia saja. Kuliah disana sambil bekerja, karena aku yakin orang tuanya ga miskin-miskin amat untuk membayar uang kuliahnya, sedangkan biaya hidup bisa dia cari disana sambil bekerja. Aku beri bayangan padanya tentang hidup di Australia, bahwa orang pintar sepertinya pasti bisa hidup disana bahkan fikiran-fikirannya yang sangat progressive bisa berkembang disana. Tapi sepertinya ceritanya akan lain. Orang tuanya ingin dia ke Malaysia, melanjutkan study disana. 

Tadi sore aku bertemu dengan mantan yang lain, sebut saja namanya Rizal. Rizal telah kembali ke kehidupan normalnya. Ia kembali bekerja (setelah melapor tentunya). Tapi Rizal merasa tidak nyaman, terutama atas perkembangan kedua anaknya. Ia ingin sekali pindah ke luar negeri untuk membesarkan anak-anaknya. Menurutnya pendidikan agama disini begitu terdoktrin, sehingga anak-anaknya tidak terbebaskan pemikirannya. Apalagi kalau nanti anak-anaknya mendapat stigma sebagai ‘anak yang punya ayah dengan agama sesat’. 

Aku beri masukan untuk mencari working holiday visa ke Australia. Disana nanti dia bisa bekerja. Begitu juga dengan ide untuk datang ke kedutaan Australia dan mencari tau tentang working holiday visa itu.

Ditempat kami duduk, ada beberapa teman yang juga berasal dari NGO. Aku beritahu Rizal bahwa teman-teman itu mungkin bisa memberi masukan karena mereka adalah orang yang sudah biasa membantu para pelarian pada masa konflik dulu itu. Rizal bersedia bertemu dengan mereka. Akhirnya, kami berunding dengan teman-teman, bagaimana cara terbaik untuk Rizal. Akhirnya kami memutuskan bahwa Rizal harus tinggal di Aceh dulu, karena dia belum dipecat dari pekerjaannya. Ketika nanti dia dapat surat pemecatan, dia bisa melanjutkan sekolahnya ke luar Aceh dan melakukan wajib lapor disana. Setelah selesai S1, dia bisa melanjutkan kuliah ke S2, karena akn lebih mudah mendapat beasiswa untuk S2 daripada S1. Maka rencana untuk mencari working holiday visa harus ditangguhkan, karena prioritas saat ini adalah Rizal harus lapor ke kantor polisi sebulan sekali. Jika ia melanjutkan sekolah, dia bisa melakukan wajib lapornya di mana dia melanjutkan sekolah.

Aku senang sekali bahwa aku bisa berbuat sesuatu, meski kecil buat mereka. Sedihnya, aku belum bertemu dengan salah satu yang lain dari mereka. Info yang aku dapatkan bahwa salah seorang ini terbilang disisihkan dalam keluarga karena kegatan Gafatar yang ia ikuti. Ayahnya malah tidak pernah menjenguknya di penjara, hanya ibunya yang datang sesekali. Bahkan ketika lebaran Idul Fitri, tak ada satu keluargapun yang mengunjunginya.  Istrinya dijauhkan dari dia dan khabarnya ia akan disyahadatkan kembali setelah itu dinikahkan lagi dengan istrinya itu. 

Salah seorang teman yang diajak ngobrol tadi berasal dari Jakarta. Ia menjadi bahagian dari komunitas jurnalis yang mengabarkan berita2 penuh kesejukkan dibandingkan berita provocative. Menurutnya, ia dan teman-temannya mendampingi komunitas Gafatar diJakarta. Menurut teman ini, komunitas Gafatar yang sudah dikembalikan ke Indonesia dari pengungsian di Kalimantan malah sudah sangat progressive pengadvokasian kasus mereka. Mereka punya alat rekam dan video perekam atas kasus-kasus yang terjadi pada mereka. Sehingga mereka mempunyai alat bukti untuk membantu mengadvokasi kasus mereka. Berbeda dengan kasus Singkil (Gereja yang dibakar dan dirubuhkan), mereka belum mengerti pentingnya alat bukti lewat pendokumentasian, sehingga ketika teman wartawan ini dating ke Singkil, ia mengajarkan komunitas Kristiani disana untuk mendokumentasikan apapun yang terjadi pada mereka, termasuk surat-surat pemerintah yang berhubungan dengan kasus mereka.

Masih ada dua pengurus gafatar di dalam penjara…pak ketua dan seorang perempuan muda yang juga menjadi pengurus. Karena si perempuan ini berada di lapas yang berbeda dengan para lelaki ini, sepertinya surat pembebasannya juga berbeda. Pak ketua belum bebas (bersyarat) seperti yang lainnya, karena masa tahananya juga lebih lama.

Teman-teman di luar Aceh banyak yang kaget, mengapa Gafatar sampai di tahan di Aceh? Aku jelaskan, bahwa kasus gafatar Aceh berbeda dengan yang di Jakarta. Mereka ditahan jauh sebelum kasus Gafatar yang terjadi di Mempawah. Alat penangkapan mereka juga berbeda. Mereka di jerat dengan pasal 156 ayat 1(A), dimana mereka disebutkan melakukan penodaan agama. Padahal, mereka sama sekali tidak melakukan apa-apa. Mereka adalah anak muda yang kritis dan cerdas sehingga ikut di organisasi tersebut, karena mereka merasa bahwa kemandirian pangan yang diidekan oleh komunitas itu sesuai dengan bakat minat mereka untuk bisa mandiri di bidang pangan. Dan mereka melakkukan kegiatan kemandirian pangan itu. Tapi hanya karena diAD/ART mereka tertulis kata-kata Mesias, mereka lalu di tahan. Anehnya, mereka langsung dikriminalkan hanya karena ada kata-kata Mesias di AD/ART mereka, padahal mereka sama sekali tidak melakukan aksi criminal. Disinilah, para aktivis HAM dan perdamaian menganggap bahwa pasal ini sangat rentan digunakan oleh penguasa untuk menjerat orang-orang yang dianggap tidak sepaham dengan mereka.