Sabtu, 30 Juli 2016

Syari’ah di Montreal,Melbourne, Seoul dan Bangkok



Syari’ah di Montreal
            Tgl 25 April adalah hari Museum di Montreal. Hari itu semua museum yang ada di Montreal gratis. Selain museum yang gratis, pemerintah juga menyediakan bus gratis untuk membawa pengunjung ke museum-museum yang ada. Ada 4 jalur bus yang disediakan oleh pemerintah. Setiap jalur itu menelusuri tempat-tempat dimana terdapat museum-museum diseluruh Montreal. Ada banyak  museum di Montreal. Seperti museum seni kontemporer, museum di Mc. Gill, museum peradaban di Kanada, museum tekstil dll.

Maka berbondong-bondonglah kami mengunjungi museum yang ada di Montreal. Ternyata bukan cuma pelajar saja yang senang gratisan, tapi juga penduduk Montreal. Kami melihat banyak sekali orang yang antri didepan museum maupun di depan halte bus, menunggu bus gratis. Tapi bedanya jika di Montreal,  meski gratisan,mereka tetap mau ngantri baik di depan museum ataupun di antrian bus. Sedangkan di tempat kita??? Yah… pembaca sudah cukup maklum, kan?

Kembali ke perjalanan pada hari museum. Sehari sebelumnya kami tau bahwa ada bus gratis yang akan membawa kita untuk mengunjungi museum-museum. Tempat pertama adalah museum Mc. Gill dan dari situ maka kita akan bisa naik bus yang akan membawa kita ke museum selanjutnya.

Usai dari museum Mc. Gill kami melanjutkan perjalanan ke Museum seni yang masih satu jalan dengan universitas Mc. Gill. Kami menunggu bus di depan universitas Mc. Gill. Saat bus datang kami ikut antri dengan pengunjung museum yang lain.

Sesampai di museum fine art, kami tidak melihat hal-hal yang sangat menarik dari museum tersebut. Banyak lukisan dan benda-benda seni dipajang disitu. Mungkin karena ilmu kami yang sangat sedikit tentang lukisan kontemporer, sedangkan kami adalah penikmat lukisan surealis sehingga lukisan-lukisan tersebut tidak begitu menarik minat kami. Ditambah lagi dengan masih banyaknya museum yang ingin kami kunjungi. Kamipun memutuskan untuk  keluar dari situ dan melanjutkan perjalanan ke BIODOME.

Sebagai informasi, BIODOME adalah salah satu tempat yang direkomendasikan untuk dikunjungi di Montreal. Buku-buku kunjungan wisata juga memasukkan tempat ini untuk dikunjungi. Dan ini menambah penasaran kami untuk segera mengunjungi tempat ini, meski aku sudah pernah berkunjung ketempat ini setahun yang lalu. Tapi karena menariknya tempat itu, maka kunjungan kedua ini tidak akan aku sia-siakan untuk mengunjungi BIODOME lagi.

Tapi, yang ingin aku ceritakan adalah tentang seorang nenek yang betul-betul membuat kami tercenung saat keluar dari museum fine art tersebut. Saat keluar dari museum tersebut, kami ingin melanjutkan perjalanan ke BIODOME,tapi kami tidak tau bus apa yang harus kami naiki. Karena sebenarnya kalo naik metro (kereta api bawah tanah) ada metro yang langsung kesitu. Tapi karena ada bus gratis mengapa harus naik metro ?:-)))

Saat bingung menentukan bus yang mana, maka salah seorang teman saya bertanya ke seorang nenek- kira-kira berusia 60tahun- yang sedang berjalan kaki didepan kami, sementara saya masih mencari-cari dimana BIODOME di peta yang dipajang di depan perhentian bus. Sebagai informasi, bahwa hampir disemua shelter bus kita bisa dapatkan peta Montreal beserta nomor busnya.  

Si nenek tidak tau bus apa yang harus kami naiki dan dia juga tidak tau hari apa hari itu. Dia bertanya pada teman saya, mengapa ramai sekali orang pada hari itu. Teman saya menjelaskan padanya ada apa hari itu, dan dengan putus asa, teman saya berfikir bahwa si nenek tidak bisa membantu kami menemukan bus ke BIODOME.

Jadi, teman saya membiarkan si nenek berlalu, kami masih mencari-cari di peta dimana BIODOME dan bagaimana mencapainya jika naik bus. Tiba-tiba si nenek datang lagi. Dia menerangkan bahwa kami harus menyeberang jalan dan menunggu bus  di shelter seberang dan tunggu sampai datang bus yang ada tanda berwarna kuning. Katanya “just go… don’t waste your time. I go to the officer of the museum to ask the direction for you. Go..go.. don’t waste your time”.

Kami tercenung sambil menyeberang jalan. Akankah kita lakukan hal yang sama di sini di Indonesia (atau Aceh) pada saat ada orang yang kebingungan seperti kami tadi??? Akankah kita mau menolong free of charge seperti apa yang dilakukan oleh si nenek tadi??

Saat kembali ke appartement, saya ceritakan pengalaman kami dengan si nenek pada salah seoarng peserta yang tidak ikut dengan kami ke museum tadi. Katanya “ yah… syari’ahnya memang sudah disini”.

Syari’ah di Melbourne
Saya betul-betul tertegun dengan pengalaman itu. Ini bukan kali pertama betapa “syari’ah” memang ada diluar sana, bukan di Aceh. Pengalaman lain saya dpaatkan saat saya di Melbourne, Australia. Saat itu saya dan seorang teman dari Kalimantan sedang mengambil foto di depan sebuah gereja. Di depan gereja itu ada seorang gelandangan yang sedang tertidur. Kami mengasumsikan bahwa itu gelandangan dari pakaiannya yang kotor dan bundelan yang ada didekatnya. Kami jalan lagi dan teman saya tidak sadar jika kameranya tertinggal. Selang beberapa saat saat teman saya tadi baru sadar bahwa kameranya tidak ada, pas saat kami akan mengambil foto lagi. Teman saya yakin bahwa kameranya tertinggal di depan gereja tadi, maka dia putuskan untuk kembali lagi ke gereja, siapa tau kameranya masih disitu. Lalu tidak berapa lama dia balik ke kami dan bilang bahwa saat dia kembali ke gereja dia melihat si gelandangan berlari-lari menuju dirinya dan bilang “ hi.. you left your camera. I’m looking for you to give back this camera”.

Syari’ah di Seoul
Saat saya berkesempatan berkunjung ke Seoul, saya juga mendapat pengalaman yang unik. Saat itu saya mengunjungi teman saya yang berkewarganegaraan Amerika dan sudah menetap di Seoul. Karena tidak cukup kamar di appartmennya beliau menyewakan satu kamar di hotel untuk saya. Dia mengantarkan saya ke hotel tadi bersama suaminya. Karena besok paginya saya harus kebandara dan agar saya tidak tersesat, teman saya tadi menuliskan petunjuk arah dengan bahasa Korea diselembar kertas, penunjuk arah bagi sopir taksi yang akan saya naiki besok pagi.

            Paginya, saat saya bingung mencari taksi, saya bertanya pada 2 orang laki-laki yang sedang ngobrol didepan jalan dan bertanya dimana halte terdekat untuk menunggu bus ke bandara. Mereka ternyata tidak bisa bahasa Inggris. Lalu saya tunjukkan kertas yang ditulis oleh teman saya tadi. Dan tanpa disangka, mereka mengajak saya masuk kemobil mereka dan langsung mengantar saya ke halte yang letaknya sekitar 10 menit naik mobil. Disitulah saya menunggu bus  yang menuju bandara.

Syariah di Bangkok
Saat saya tinggal di Bangkok, pengalaman unik juga saya dapatkan disitu. Saat saya naik bus, dan bus penuh. Orang-orang harus ada yang berdiri karena tidak cukup tempat duduk. Uniknya, saat ada orang yang membawa belanjaan sangat banyak dan harus berdiri, maka orang yang duduk yang berada di dekat orang yang berdiri tadi akan menawarkan diri untuk memegang belanjaan orang yang berdiri tadi, sehingga kedua tangannya akan bebas untuk berpegangan pada pegangan yang ada di bus. Begitu juga jika ada anak kecil yang harus berdiri, maka seseoarang yang duduk akan memberikan tempat duduknya pada sianak kecil tadi. Atau, jika ada seorang bapak atau ibu yang  menggendong anak kecil, maka seseoarang yang sedang duduk akan berdiri dan memberikan tempat duduknya pada bapak atau ibu tadi.

Begitulah… mereka yang kita hujat karena bukan muslim (karena mereka Budha atau Kristen), tapi ternyata mereka benar-benar mengamalkan syari’ah yang kita claim sebagai milik orang muslim. 

Lagi-lagi.. saya menemukan bahwa Syari’ah juga ada di Melbourne, di Seoul, di Bangkok,bukan saja di Montreal. Semoga Syari’ah juga merembes ke Indonesia dan Aceh.

Blanca si Yahudi



Aku kenal Blanca dari seorang teman baruku, Bora, yang merupakan staff di Mc. Gill University, Montreal, Kanada. Bora membantu aku dan teman-teman dalam segala hal mulai dari akomodasi hingga urusan mengantar belanja saat pertama kali kami tiba di Montreal.
        Aku dan 19 teman lainnya mengikuti kegiatan Social Work workshop di Mc. Gill University selama satu bulan dan selama satu bulan itu juga aku banyak berdiskusi dengan Bora mulai dari kegiatan kampus hingga perbincangan tentang calon presiden AS dari kubu Demokrat, Obama.
        satu minggu sebelum kembali ketanah air, entah kenapa Bora mengundang aku untuk menginap diappartementnya. Kesempatan baik yang tidak mungkin ditampik menurutku. Jarang-jarang ada orang asing yang bersedia mengundang kita datang kerumah dan menginap lagi. Aku mengiyakan dan Bora langsung belanja kebutuhan untuk makan malam. Dia ingin memasak masakan Kongo, daerah asalnya, untuk aku.
        Bora cerita sepanjang perjalanan pulang bahwa ia tinggal dengan seorang nenek-nenek bangsa Yahudi. Namanya Blanca. Blanca sudah berusia sekitar 90an tahun. Dia tinggal diappartement bagus dan Bora menyewa satu kamar dari dua kamar yang ada diappartement Blanca.
        Saat sampai di appartment, Blanca yang membuka pintu dan dia menyambut aku dengan sangat ramah. Aku bayangkan Blanca adalah seorang nenek yang hanya duduk di kursi roda karena sudah sangat tua. Tapi ternyata Blanca masih kuat untuk memasukkan piring, gelas dan peralatan makan yang sudah di cuci Bora ketempatnya maing-masing. Aku ingin membantu tapi Bora menggelengkan kepala. Aku fikir, ini cara Bora mengajar kemandirian pada Blanca. Aku betul-betul tertegun.
        Saat makan malam dihidangkan, Blanca ikut makan dengan kami, meski dia sudah makan jam 5 sore untuk makan malamnya. Aku bilang “ I am so lucky today” dan Blanca langsung bilang “ you’re lucky not only for today but everyday. No need for you to pay for the air that you’ve got everyday, so please thank to God”.
Kembali aku tertegun. Dalam kehidupanku yang muslim, aku selalu mendengar bagaimana bencinya kaumku pada orang Yahudi, bahkan dalam khutbah-khutbah jum’at yang disampaikan khatib, yahudi selalu disalahkan atas semua kemelaratan yang dihadapi oleh orang Muslim. Tapi… Yahudi yang bernama Blanca ini lain, dia malah mengingatkanku untuk berterima kasih pada Tuhan atas semua rezeki yang aku terima setiap hari. Ingin nangis rasanya. Apa yang diucapkannya itu-mengutip apa yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu bukunya- seperti ucapan suci yang disampaikan oleh seorang resi. Jauh sekali dari apa yang disampaikan khatib-khatib saat shalat Jum’at di mesjid-mesjid itu. Blanca bahkan sempat marah pada Bora yang membuang sisa makanan yang berlebih ketempat sampah. Katanya “ jika kau merasakan bagaimana kelaparannya orang-orang saat di kamp konsetrasi dahulu, tidak akan kau buang makanan itu”. I’m speechless again…
Itulah Blanca, seorang nenek yang berusia 90an tahun ,beragama yahudi dan pernah tinggal di kamp konsetrasi Ausweiz di Jerman. Dia juga kemudian sempat di buang ke Rusia. Aku tidak tahu bagaimana ceritanya hingga ia bisa tinggal di Montreal itu.
Tapi yang ingin aku katakan disini adalah, sosok Blanca adalah sosok Yahudi yang jauh berbeda dari yahudi yang selalu di hujat oleh kaumku di Indonesia ini.  Dan aku berterima kasih pada Tuhan atas kesempatan untuk bertemu dan berbincang-bincang dengan Blanca, lewat Bora.


Megalomania tempat ibadah



Dalam salah satu kunjungan ke Montreal, kami mengunjungi tempat-tempat ibadah disana. Hampir semua gereja yang dibuat adalah gereja yang sangat besar dan megah. Meski dibutuhkan waktu bertahun-tahun menyelesaikan rumah ibadah tadi. Salah satunya adalah oratorium St. Joseph. Gereja Katholik ini dibangun di atas bukit Mont Royal. Saat kita menaiki gereja itu, maka kita bisa melihat-lihat pemandangan yang begitu indah sejauh mata memandang. Pemandangan yang sangat bagus, udara yang sejuk dan segar karena berada di perbukitan, membuat setiap pengunjung merasa nyaman untuk berkontemplasi.

Selain itu ada gereja lain yang sedang dibangun dikawasan elit di Mont Royal. Penduduk disitu mendermakan uangnya untuk membangun gereja yang-rencananya- paling megah di Montreal. Namun setelah bertahun-tahun gereja itu belum rampung juga.

Perlu diketahui bahwa kawasan Mount (gunung) Royal merupakan daerah elit. Hampir semua orang-orang kaya yang ada di Montreal tinggal dikawasan ini. Ada satu keunikan kawasan ini. Bus umum dilarang masuk kekawasan ini, karena bisa mengganggu kenyamanan penduduk di situ. Kesannya memang elit sekali, tapi itulah kenyataannya. Mereka membayar pajak sangat mahal pada pemerintah Quebec untuk mendapatkan prevelege itu.

Masyarakat kaya memang tinggal di atas bukit Mont Royal sedangkan mereka yang miskin tinggal di kaki gunung Mont Royal. Jadi semakin tinggi tempat tinggal anda maka semakin kaya pula anda. Semakin mendekati kawasan pantai tempat tinggal anda, maka artinya anda adalah orang miskin.

                  Kembali berbicara tentang gereja dan tempat ibadah, saya teringat dengan pengalaman saat berada di Thailand dan Laos. Siapa yang tidak kenal dengan Grand Palace di Bangkok? Didekat Grand palace tadi ada satu tempat yang menyimpan reclining Buddha, patung Budha yang sangat besar dalam posisi tertidur. Tempat ini hampir tidak pernah sepi dikunjungi oleh pengunjung untuk berdo’a.

Patung Budha yang sangat besar juga bisa ditemukan di daerah perbatasan Thailand dan Laos. Laos juga mempunyai patung Budha yang sangat besar disebuah taman yang dekat dengan kota Vientiane. Bedanya dengan patung Budha raksasa di Bangkok adalah patung Budha di Laos berada di taman dan hanya dikunjungi untuk tempat rekreasi, bukan untuk bersembahyang.

Pemandangan rumah ibadah yang sangat besar dan sudah cukup lama belum juga selesai pembangunannya, merupakan pemandangan yang lumrah dilihat dimanapun. Bahkan ditanah air kita. Betapa seringnya kita melihat pembangunan mesjid yang luar biasa, dan setelah bertahun-tahun pembangungan itu belum selesai-selesai juga, dengan alasan klise. Dana yang tidak cukup. Ketidak cukupan dana ini membuat panitia pembangunan mesjid harus meminta pada masyrakat yang lewat-lewat di depan mesjid (jika mesjid itu terletak di pinngir jalan) untuk dana pembangunana mesjid tadi.

Jadi begitulah, betapa megalomania pembangunan rumah ibadah membuat kita lupa akan esensi rumah ibadah itu sendiri. Kita ingin menunjukkan pada dunia bahwa kita mampu membangun rumah tuhan yang paling besar, namun keinginan itu tidak sebanding dengan kemampuan yang kita miliki.

Dan ternyata megalomania rumah ibadah ini tidak hanya melanda kita, tapi juga agama-agama yang lain.

Konflik dan dampaknya bagi pendidikan



Beberapa hari lalu saya mendapat telfon dari seorang teman yang saat ini bekerja di salah satu lembaga Internasional pemberi dana beasiswa. Awalnya saya tidak kenal siapa yang menelfon karena nomor yang masuk sama sekali tidak terdeteksi di hp saya.
            Katanya “mbak… ini saya… teman Mbak saat di Jogja dulu”. Saya di kampus mbak lho…dan dapat nomor ini dari salah seorang mahasiswa mbak”.

Saya sempat kaget karena tidak menyangka akan bisa bertemu dengan beliau. Hampir 10 tahun kami tidak pernah kontak, kecuali lewat mailing list. Dan ternyata beliau di kampus saya, tanpa ada informasi sebelumnya.

Lalu, kami janjian untuk bertemu. Sekedar benostalgia tentang kegiatan-kegiatan yang kami lakukan selama di Jogja. Tempat yang saya pilih adalah Warung kopi Solong, tempat favoritku.

            Teman saya ini bilang bahwa dia akan datang bersama salah seorang temannya yang bekerja di lembaga internasional di Aceh. Dan kamipun bertemu lagi, setelah lebih dari 8 tahun, di warung kopi Solong.

Teman saya tadi masih tetap seperti dulu, masih low profile, meski sudah bekerja di lembaga pemberi beasiswa internasional di Jakarta. Beliau bercerita tentang pengalamannya bekerja di Freeport Papua, pengalamannya saat mengambil S2 di salah satu universitas terkemuka di Amerika dan perjalanan tugasnya kebeberapa daerah di Indonesia timur guna mempromosikan lembaga pemberi dana beasiswa dimana sekarang dia bekerja.

            Satu hal yang menarik, dan mengapa saya menulis tulisan ini adalah saat temanku ini bilang “ mbak… selama aku bekerja di lembaga ini, baru kali ini aku berkesempatan ke Aceh. Selama ini aku hanya punya kesempatan di Indonesia Timur saja”. Dan ternyata… dibandingkan dengan Indonesia Timur, mahasiswa disini lebih pinter. Mereka mudah sekali mendapatkan nilai 450 (batas minimal untuk mendapatkan beasiswa,penulis)”….kalau saya lihat Aceh memang lebih well develop ketimbang Indonesia Timur. 18 alumni kami yang sekarang ada di Unsyiah dan IAIN, mereka sangat percaya diri, tidak kalah dengan mereka yang berasal dari daerah-daerah di Jawa. Mungkin selama ini Aceh kekurangan akses saja”. 

            Dan aku dengan serta merta bilang “ ya… aku setuju itu. Dan kamu tau ga mengapa kami jadi termarginalkan? Ya.. karena konflik. Konflik yang lama itu membuat kami jadi kurang informasi atas apa saja”. 

            Senang sekali rasanya mendengar pengakuan dari seseorang yang mungkin tidak begitu tahu masalah di Aceh. Pengakuan yang menurutku merupakan satu pengakuan positif atas peran aktif dari mahasiswa Aceh dalam lingkungan internasional. Ternyata mereka itu tidak memalukan sekali jika disandingkan dengan mereka yang mengecap pendidikan di Jawa atau di luar Aceh. 

Konflik yang berkepanjangan adalah tudingan yang tepat mengapa banyak sekali orang yang tidak mengetahui potensi yang dimiliki oleh pemuda-pemudi Aceh. Dan saat kita diberi kesempatan, maka ternyata kita juga bisa bersanding dengan mereka yang dekat dengan akses, baik itu akses pendidikan, akses ekonomi maupun akses informasi.

Maka berterimakasihlah pada tsunami yang sudah menghentikan konflik vertikal dan horizontal di masyarakat Aceh. Berterimakasihlah pada mereka yang menjadi martir saat konflik dan tsunami sehingga kita bisa mnegecap masa damai seperti ini. Karena pengorbanan mereka, kita juga bisa menikmati akses beasiswa yang banyak dan kesempatan ke Luar neger gratis sehingga ini berdampak pada cara fikir kita yang menjadi lebih terbuka melihat perbedaan. Berterima kasihlah pada mereka, karena pengorbanan merekalah kita bisa menikmati semua kemudahan itu. 

            Lalu apa yang follow-up selanjutnya? Berbagilah pada mereka yang tidak seberuntung kita. Berbagi informasi adalah cara terbaik jika kita tidak bisa berbagi duit seperti apa yang dilakukan oleh seorang motivator Jakarta yang membagi duitnya dengan menyebarkannya lewat helikopter dari atas langit Jakarta.