Rabu, 20 Juli 2016

Bertemu anak-anak Punk



Aku kedatangan peneliti dari Belanda. Sebut saja namanya Merkel. Dia mahasiswi PhD yang meneliti tentang Lingkungan dan Budaya. Dia sudah ke Takengon dan melihat bagaimana kopi Arabica disana ‘dikuasai’ Starbuck, bagaimana longsor sering terjadi karena lahan yang longgar dikarenakan akar pohon kopi yang tidak kuat, meski sebenarnya bukan hanya pohon kopi yang ditanam, tapi disela-selanya banyak ditanam pohon Nangka, Lamtorogung ( Pete Cina), Jeruk bahkan Alpukat.  Aku kira penanaman itu adalah untuk memperkuat struktur tanah. 

Selain itu ia juga ingin membuat film documenter kehidupan kaum marginal seperti kaum LGBT dan Punk di Aceh. Jadi, aku simpulkan bahwa kedatangannya ke Aceh ini bukan cuma untuk penelitiannya tapi juga untuk membuat film documenter yang siapa tau bisa dijual dinegaranya sana. Hmmm….  

Sebenarnya dia bukan tamuku. Aku biasa menerima tamu dari berbagai belahan dunia melalui web CouchSurfing. Di web itu kita bisa tau bagaimana tamu yang akan datang tersebut melalui referensi yang diberikan oleh orang-orang yang sudah pernah menerimnya. Apakah dia menyenangkan atau tidak, bisa terbaca dari referensi yang diberikan orang-orang sebelumnya. Namun, tamu yang ini adalah ‘pemberian’ dari seorang teman lain yang mengatakan bahwa tamu ini peneliti dan ingin bertemu aku. Dia akan menginap di kantor yang tidak jauh dari rumah sehingga dia bisa berjalan kaki kerumahku kalau memang ingin ngobrol. Tapi ternyata kantor yang menampungnya belum buka ketika nanti dia tiba dari Takengon (dia berangkat jam 11 malam dan tiba di Banda Aceh jam 5 pagi, sedangkan kantor baru akan dibuka jam 9 pagi. Meski hari minggu, kantor akan dibuka untuk dirinya. Menurut si teman, bule ini akan menginap di kantor itu. Namun karena sampainya jam 5 pagi, aku tawarkan untuk menunggu di rumahku saja. Ketika aku sampaikan pada si empunya kantor yang memang aku kenal, katanya sebaiknya si bule menginap dirumahku saja. Aku OKkan).  

Berbeda dengan bule yang biasa datang kerumah, yaitu anak-anak CouchSurfing(CS), bule yang ini lumayan ‘manja’. Saya malah yang sibuk menentukan dia naik apa. Misalnya: saya yang carikan becaknya. Well..sebenarnya cari-cari becak sih biasa pada anak2 CS, tapi yang ini rasanya beda sekali. Sebel-sebel nggak melakukannya, hahaha.. dan orangnya juga kesannya ‘mbossy’. Hmm…semoga perasanku saja. 

Dia ga punya hape, katanya hapenya ilang dicuri ketika turun dari pesawat. Terus dia minta hapeku untuk menelponin orang-orang yang sudah dia buat janji untuk ketemu wawancara pada hari senin. Daripada dia pakai hapeku, aku pinjamkan saja hape lama dan biarkan dia beli simcardnya sendiri. Heran bukan? Sudah tau butuh hape, mengapa tidak membeli hape murah yang fungsinya untuk menelpon saja?

Lalu, yang nyebelin juga adalah, dia akan bikin riset tentang Aceh. Tapi koq diBanda Acenhnya cuma 3 hari? Katanya dia sudah bikin janji wawancara dengan orang-orang penting di Banda Aceh, seperti Bapeda dan ICAIOS (organisasi peneliti dosen-dosen sedunia yang ada di Aceh). Apa mungkin dalam waktu 1 hari (dia tiba hari minggu, wawancara hari Senin di Walhi, Bapeda, Fisipol dan ICAIOS dan Selasa dia lanjutkan perjalanan ke Jambi dan riset disana lagi) dia bisa mendapatkan wawancara dengan orang2 yang sibuk itu? Katanya mahasiswa antropologi, harusnya kan harus tinggal lama di komunitas dimana dia meneliti. Ini yang membuatku teringat pada apa yang disampaikan oleh seorang peneliti Findland yang sudah dua kali aku bertemu. Katanya dia sering sekali marah pada peneliti luar Indonesia yang suka sekali hanya mengutip saja apa yang ada dibuku tanpa mau merasakan untuk tinggal bersama orang yang dia teliti, sehingga ‘rasa’ dari tulisan itu begitu dangkal.  

Anyway, cukup bicara tentang itu. Sekarang kita beralih ke issue yang saya dapat ketika mendatangi anak-anak punk tadi. Karena Merkel ingin mebuat film documenter tentang anak-anak punk dan LGBT di Aceh, saya bawa dia ke wilayah Peunayong dimana komunitas Tionghoa tinggal. Dia ingin memasuki salon dimana seorang LGBT bekerja berdasarkan info dari seorang temannya. Tapi saya tidak tau dimana itu jadi saya lewatkan slon itu. Saya bawa dia ke tempat dimana saya sering lihat anak punk. 

Ketika sampai di lorong itu, saya dan Merkel melihat banyak sekali graffiti. Macam-macam. Ketika masih mengambil video, seseorang datang naik sepeda motor dan berhenti sambil memperhatikan kami. Ternyata dia salah seorang anak punk tersebut. Dia memanggil teman-temannya. Akhirnya kami diajak datang ke markas mereka dan bertemu dengan beberapa anak-anak punk yang lain.

Disitu, suasana menjadi kurang nyaman. Saya bisa merasakan jika anak-anak itu tidak punya trust kepada kami. Tapi mereka juga tidak mungkin mengusir kami. 

Saya menjadi penterjemah tanpa bayaran dari si Merkel (euuh…bodohnya aku). Anak-anak itu bercerita tentang mereka. Bahwa mereka datang ke Aceh (dari Medan dan Sumbar) karena ingin bersilaturahmi dengan anak-punk yang ada di Banda Aceh. Menurut mereka, punk adalah persaudaraan sehingga siapapun dan dari manapun boleh datang ke komunitas mereka dan tinggal disitu. Namun, karena wilayah ‘Islami’ mereka pernah juga didatangi oleh walikota Banda Aceh. Awalnya saya mengira bahwa kedatangan itu dalam rangka pilkada dan mencoba menarik hati anak-anak punk ini untuk memilih wakil walikota Banda Aceh untuk naik menjadi walikota. Belakangan aku baru tau kalau kedatangan PJS walikota Banda Aceh itu adalah untuk menangkap mereka. Menurut seorang punkers yang saya temui belakangan, ternyata si ibu Wakil Walikota (yang sekarang duduk sebagai wali kota karena walikota kami meninggal) sedang makan di restaurant Cina tersebut. Anak-anak punk ini hidup dengan cara mengamen, dan kebetulan si ibu yang sedang makan ini melihat anak-anak punk yang sedang mengamen ini. Salah seorang anak punk ini tidak memakai celana panjang sehingga si ibu memanggil dan menanyakan mengapa tidak memakai ceana panjang, sudah tau disini daerah Syariat Islam. Si punker yang kebetulan bukan orang Aceh tapi dari Medan, tentulah tidak tau kalau ini walikota Banda Aceh, menjawab kalau celana panjangnya kotor dan diapun berlalu. Merasa di kacangi, tidak lama kemudian datang serombongan satpol PP bersama si ibu PJS Walikota menggerebek anak-anak ini. Aku ngakak ketika salah seorang dari punker ini berkata ketika aku Tanya “dengan siapa dia datang?”. Dalam bayanganku adalah WH (WH adalah polisi Syariat) atau Satpol PP. Salah seorang dari anak-anak punk itu bilang “ya dengan budak-budaknya itulah” (tanpa mendetailkan siapa ‘budak-budak’ yang dia maksud).

Aku tidak bisa menemaninya untuk jalan-jalan, karena dia ingin sekali surfing di laut. Aku tau satu tempat bagus tapi aku masih harus mengerjakan pekerjaanku sendiri. Jadi aku minta satu orang temanku untuk menemani dia kepantai. Dan berjanji untuk bertemu kembali pas akan makan malam.
(bersambung….)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar