Sabtu, 30 Juli 2016

Konflik dan dampaknya bagi pendidikan



Beberapa hari lalu saya mendapat telfon dari seorang teman yang saat ini bekerja di salah satu lembaga Internasional pemberi dana beasiswa. Awalnya saya tidak kenal siapa yang menelfon karena nomor yang masuk sama sekali tidak terdeteksi di hp saya.
            Katanya “mbak… ini saya… teman Mbak saat di Jogja dulu”. Saya di kampus mbak lho…dan dapat nomor ini dari salah seorang mahasiswa mbak”.

Saya sempat kaget karena tidak menyangka akan bisa bertemu dengan beliau. Hampir 10 tahun kami tidak pernah kontak, kecuali lewat mailing list. Dan ternyata beliau di kampus saya, tanpa ada informasi sebelumnya.

Lalu, kami janjian untuk bertemu. Sekedar benostalgia tentang kegiatan-kegiatan yang kami lakukan selama di Jogja. Tempat yang saya pilih adalah Warung kopi Solong, tempat favoritku.

            Teman saya ini bilang bahwa dia akan datang bersama salah seorang temannya yang bekerja di lembaga internasional di Aceh. Dan kamipun bertemu lagi, setelah lebih dari 8 tahun, di warung kopi Solong.

Teman saya tadi masih tetap seperti dulu, masih low profile, meski sudah bekerja di lembaga pemberi beasiswa internasional di Jakarta. Beliau bercerita tentang pengalamannya bekerja di Freeport Papua, pengalamannya saat mengambil S2 di salah satu universitas terkemuka di Amerika dan perjalanan tugasnya kebeberapa daerah di Indonesia timur guna mempromosikan lembaga pemberi dana beasiswa dimana sekarang dia bekerja.

            Satu hal yang menarik, dan mengapa saya menulis tulisan ini adalah saat temanku ini bilang “ mbak… selama aku bekerja di lembaga ini, baru kali ini aku berkesempatan ke Aceh. Selama ini aku hanya punya kesempatan di Indonesia Timur saja”. Dan ternyata… dibandingkan dengan Indonesia Timur, mahasiswa disini lebih pinter. Mereka mudah sekali mendapatkan nilai 450 (batas minimal untuk mendapatkan beasiswa,penulis)”….kalau saya lihat Aceh memang lebih well develop ketimbang Indonesia Timur. 18 alumni kami yang sekarang ada di Unsyiah dan IAIN, mereka sangat percaya diri, tidak kalah dengan mereka yang berasal dari daerah-daerah di Jawa. Mungkin selama ini Aceh kekurangan akses saja”. 

            Dan aku dengan serta merta bilang “ ya… aku setuju itu. Dan kamu tau ga mengapa kami jadi termarginalkan? Ya.. karena konflik. Konflik yang lama itu membuat kami jadi kurang informasi atas apa saja”. 

            Senang sekali rasanya mendengar pengakuan dari seseorang yang mungkin tidak begitu tahu masalah di Aceh. Pengakuan yang menurutku merupakan satu pengakuan positif atas peran aktif dari mahasiswa Aceh dalam lingkungan internasional. Ternyata mereka itu tidak memalukan sekali jika disandingkan dengan mereka yang mengecap pendidikan di Jawa atau di luar Aceh. 

Konflik yang berkepanjangan adalah tudingan yang tepat mengapa banyak sekali orang yang tidak mengetahui potensi yang dimiliki oleh pemuda-pemudi Aceh. Dan saat kita diberi kesempatan, maka ternyata kita juga bisa bersanding dengan mereka yang dekat dengan akses, baik itu akses pendidikan, akses ekonomi maupun akses informasi.

Maka berterimakasihlah pada tsunami yang sudah menghentikan konflik vertikal dan horizontal di masyarakat Aceh. Berterimakasihlah pada mereka yang menjadi martir saat konflik dan tsunami sehingga kita bisa mnegecap masa damai seperti ini. Karena pengorbanan mereka, kita juga bisa menikmati akses beasiswa yang banyak dan kesempatan ke Luar neger gratis sehingga ini berdampak pada cara fikir kita yang menjadi lebih terbuka melihat perbedaan. Berterima kasihlah pada mereka, karena pengorbanan merekalah kita bisa menikmati semua kemudahan itu. 

            Lalu apa yang follow-up selanjutnya? Berbagilah pada mereka yang tidak seberuntung kita. Berbagi informasi adalah cara terbaik jika kita tidak bisa berbagi duit seperti apa yang dilakukan oleh seorang motivator Jakarta yang membagi duitnya dengan menyebarkannya lewat helikopter dari atas langit Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar