Beberapa hari lalu saya mendapat
telfon dari seorang teman yang saat ini bekerja di salah satu lembaga
Internasional pemberi dana beasiswa. Awalnya saya tidak kenal siapa yang
menelfon karena nomor yang masuk sama sekali tidak terdeteksi di hp saya.
Katanya
“mbak… ini saya… teman Mbak saat di Jogja dulu”. Saya di kampus mbak lho…dan
dapat nomor ini dari salah seorang mahasiswa mbak”.
Saya sempat kaget karena tidak
menyangka akan bisa bertemu dengan beliau. Hampir 10 tahun kami tidak pernah
kontak, kecuali lewat mailing list. Dan ternyata beliau di kampus saya, tanpa
ada informasi sebelumnya.
Lalu, kami janjian untuk bertemu.
Sekedar benostalgia tentang kegiatan-kegiatan yang kami lakukan selama di
Jogja. Tempat yang saya pilih adalah Warung kopi Solong, tempat favoritku.
Teman
saya ini bilang bahwa dia akan datang bersama salah seorang temannya yang
bekerja di lembaga internasional di Aceh. Dan kamipun bertemu lagi, setelah
lebih dari 8 tahun, di warung kopi Solong.
Teman saya tadi masih tetap seperti
dulu, masih low profile, meski sudah bekerja di lembaga pemberi beasiswa
internasional di Jakarta. Beliau bercerita tentang pengalamannya bekerja di
Freeport Papua, pengalamannya saat mengambil S2 di salah satu universitas
terkemuka di Amerika dan perjalanan tugasnya kebeberapa daerah di Indonesia
timur guna mempromosikan lembaga pemberi dana beasiswa dimana sekarang dia bekerja.
Satu
hal yang menarik, dan mengapa saya menulis tulisan ini adalah saat temanku ini
bilang “ mbak… selama aku bekerja di lembaga ini, baru kali ini aku
berkesempatan ke Aceh. Selama ini aku hanya punya kesempatan di Indonesia Timur
saja”. Dan ternyata… dibandingkan dengan Indonesia Timur, mahasiswa disini
lebih pinter. Mereka mudah sekali mendapatkan nilai 450 (batas minimal untuk
mendapatkan beasiswa,penulis)”….kalau saya lihat Aceh memang lebih well
develop ketimbang Indonesia Timur. 18 alumni kami yang sekarang ada di Unsyiah
dan IAIN, mereka sangat percaya diri, tidak kalah dengan mereka yang berasal
dari daerah-daerah di Jawa. Mungkin selama ini Aceh kekurangan akses saja”.
Dan
aku dengan serta merta bilang “ ya… aku setuju itu. Dan kamu tau ga mengapa
kami jadi termarginalkan? Ya.. karena konflik. Konflik yang lama itu membuat
kami jadi kurang informasi atas apa saja”.
Senang
sekali rasanya mendengar pengakuan dari seseorang yang mungkin tidak begitu
tahu masalah di Aceh. Pengakuan yang menurutku merupakan satu pengakuan positif
atas peran aktif dari mahasiswa Aceh dalam lingkungan internasional. Ternyata
mereka itu tidak memalukan sekali jika disandingkan dengan mereka yang mengecap
pendidikan di Jawa atau di luar Aceh.
Konflik yang berkepanjangan adalah
tudingan yang tepat mengapa banyak sekali orang yang tidak mengetahui potensi
yang dimiliki oleh pemuda-pemudi Aceh. Dan saat kita diberi kesempatan, maka
ternyata kita juga bisa bersanding dengan mereka yang dekat dengan akses, baik
itu akses pendidikan, akses ekonomi maupun akses informasi.
Maka berterimakasihlah pada tsunami
yang sudah menghentikan konflik vertikal dan horizontal di masyarakat Aceh. Berterimakasihlah
pada mereka yang menjadi martir saat konflik dan tsunami sehingga kita bisa
mnegecap masa damai seperti ini. Karena pengorbanan mereka, kita juga bisa
menikmati akses beasiswa yang banyak dan kesempatan ke Luar neger gratis
sehingga ini berdampak pada cara fikir kita yang menjadi lebih terbuka melihat
perbedaan. Berterima kasihlah pada mereka, karena pengorbanan merekalah kita
bisa menikmati semua kemudahan itu.
Lalu
apa yang follow-up selanjutnya? Berbagilah pada mereka yang tidak seberuntung
kita. Berbagi informasi adalah cara terbaik jika kita tidak bisa berbagi duit
seperti apa yang dilakukan oleh seorang motivator Jakarta yang membagi duitnya
dengan menyebarkannya lewat helikopter dari atas langit Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar