Rabu, 20 Juli 2016

Brexit dan Dilemanya



Saat ini saya mempunyai tamu dari Jerman. Tamu ini adalah perempuan yang punya passion keliling dunia. Dia sudah kemana-mana dan kali ini singgah di Indonesia. Indonesia yang pertama sekali dia kunjungi adalah Aceh, tepatnya Banda Aceh.

Saya bertanya padanya tentang Brexit. Saya kira dia adalah orang yang pantas saya tanyai tentang itu karena berasal dari Eropa. Menurutnya, pemutusan referendum itu adalah sesuatu yang bodoh, karena ternyata David Cameron menggali kuburnya sendiri. Saya tanya mengapa Cameron mau melakukan itu. kata Leona, tamu yang menginap ini bahwa referendum Brexit adalah janji Cameron ketika berkampanye. Karena sudah janji maka ia harus melakukan itu. Menurutnya, Cameron ingin menunjukkan bahwa keinginan untuk berpisah dari UE itu sama sekali tidak benar. dan karena Cameron sudah berjanji ketika kampanye, maka referendum itu harus dilakukann. (Bandingkan dengan kampanye salah satu calon pasanganGubernur dan wakil Gubernur Aceh yang menjanjikan 1 juta/KK, sampai sudah habis masa janji itu tidak terealisasi).

Namun ternyata, setelah referendum dilakukan, David Cameron malah kalah, karena lebih banyak warga Inggris yang memilih untuk lepas dari Uni Eropa. Menurut Leona, ini malah sangat bodoh karena Eropa menjadi kembali ke masa lalu. Memang banyak dari pemilih untuk lepas dari Uni Eropa itu adalah orang-orang tua. Salah satu kekhawatirannya adalah karena banyaknya imigran-imigran Suria yang masuk ke Eropa. Orang-orang tua dan orang-orang yang closed minded ini ketakutan jika muslim menguasai Eropa.
Selain itu, salah satu penyebab mengapa Brexit berhasil adalah karena jumlah penduduk muda lebih kecil dari penduduk senior. Ini karena para penduduk muda ini tidak ingin mempunyai anak, sehingga populasi orang muda sangat sedikit di Inggris.

Karena tamu saya ini datang dari Jerman saya katakan bahwa saya sangat menyukai Angela Merkel karena dia adalah pemimpin yang sangat welcome pada pengungsi. Menurut Leona, ini juga karena dulunya Merkel adalah pengungsi Jerman Timur, sehingga ia bisa merasakan penderitaan para pengungsi Suriah ini. banyak orang-orang tua di Jerman yang tidak suka dengan kahadiran para pengungsi ini, namun selalu ada orang yang akan mengingatkan mereka bahwa orang Jerman sekarang juga dulunya adalah pengungsi.   
Menarik sekali mendengarkan penuturan Leona. Menurutnya dunia sekarang harusnya diisi dengan pemikiran masa depan, bukan masa lalu. Namun ternyata di kasus Brexit, ini malah sebaliknya. Pemikiran masa lalu malah yang memenangkan mereka yang harusnya berfikir kedepan. Kini, anak-anak muda yang tau betapa susahnya jika berpisah dengan Uni Eropa berusaha meminta agar referendum diulang lagi. Tapi, itu adalah sesuatu yang tidak mungkin.
Leona adalah orang yang pro pada Uni Eropa. Orang tuanya berasal dari Jerman tapi ia mempunyai saudara yang tinggal di Inggris, sehingga Leona, ketika kecil hingga sekarang, sering bolak balik ke Inggris. katanya ia belajar bahasa Inggris di Inggris. Senin-Kamis ia habiskan waktunya di Jerman dan Sabtu Minggu ia habiskan di Inggris, tinggal bersama paman dan bibinya, sehingga ia bisa lancar berbahasa Inggris. saya tanya berapa jauh Inggris dan Jerman, katanya hanya satu jam naik pesawat. Aku lalu membayangkan London dan Jerman itu sejauh Banda Aceh dan Medan.  Menurut Leona, Uni Eropa adalah organisasi modern yang mencoba menyatukan negara-negara yang ada di Eropa. Dia sangat tidak menyangka bahwa Inggris (yang merupakan negara besar itu) harus berpisah dari organisasi modern itu.
Kini Eropa sudah diambang kecemasan daerah-daerah lain juga akan mengikuti langkah Inggris. Jerman contohnya, ada yang ingin memisahkan kembali Jerman barat dan Jerman timur.
Hmm...pendulum sepertinya sedang mengarah ke kiri...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar