Sabtu, 30 Juli 2016

Gereja dan peran politik pendeta



Saat di Montreal aku dapat kesempatan untuk mengunjungi air terjun Niagara. Dan dalam perjalanan menuju air terjun tadi aku melihat banyak sekali gereja di sepanjang jalan. Namun anehnya, banyak sekali gereja-gereja itu yang sepi, bahkan ada plang didepan gereja itu yang bertuliskan “dijual”. Aku tidak bisa membayangkan jika mesjid kita di Aceh ini bertuliskan “dijual”.

            Saat aku kembali ke Montreal, tepatnya ke kampus Mc. Gill aku tanyakan hal ini pada salah seorang dosenku, mengapa gereja sangat sepi dan bahkan samapi harus dijual segala.

            Jill, demikian nama dosenku itu, mengatakan bahwa memang keberagamaan orang-orang Kanada, khususnya Quebec sudah sangat menurun. Ini terjadi pada masa tahun 1960an. Masyarakat sudah tidak percaya lagi pada gereja, bahkan cenderung membenci gereja. Akibat tidak adanya lagi pengikut, maka dana gereja semakin menipis dan mereka tidak punya dana yang banyak untuk merawat gereja tadi. Akhirnya gereja terpaksa dijual. Ada sebagian gereja yang beralih fungsi menjadi mall atau hotel.

            Lalu aku mencoba menggali lagi apa yang menyebabkan sehingga begitu bencinya masyarakat pada gereja.

Dalam salah satu tour kami di kota tua Montreal (old Montreal), kami menemukan 2 gereja yang berdampingan, satu gereja sangat megah dan satu gereja lagi biasa-biasa saja. Aku coba tanyakan pada tour guide kami mengapa perbedaan itu mencolok sekali. Lalu tour guide kami menjelaskan bahwa gereja yang sangat megah adalah gereja milik pendatang Prancis diawal-awal Montreal mulai dibuka awal tahun 1700an. Dan gereja satu lagi adalah gereja milik pendatang Irlandia. 

            Aku sempat heran mengapa mereka tidak bisa sembahyang di gereja yang sama. Tenyata bahasa  pengantar  yang digunakan berbeda satu sama lain sehingga perlu dibuat gereja yang berbeda.  Dan status sosial mereka yang berkebangsaan Prancis berbeda jauh dengan mereka yang berkebangsaan Inrlandia. Perbedaan pendidikan, juga mempengaruhi mengapa mereka tidak mau berada dalam satu gereja. Dan ini sering menyebabkan mereka gontok-gontokkan saat usai peribadatan. Ini terjadi di awal-awal Montreal mulai didatangi pekerja-pekerja asing pada awal tahun 1800an hingga 1900an.

            Bebicara tentang peran gereja, tour guide kami menceritaka bagaimana peran gereja yang sangat besar dalam “membina” moral dan tingkah laku beragama setiap pemeluknya. Dan ini terasa menyakitkan bagi para perempuan pada saat itu.

Dalam khutbah-khutbah Minggu yang diberikan oleh gereja, pendeta selalu mengatakan bahwa adalah kewajiban setiap perempuan untuk melahirkan anak. Jadi… berapapun anak yang mereka kandung harus mereka terima. Ini tentunya memberatkan kaum perempuan, karena diawal-awal kebangkitan Montreal sebagai daerah industri, pekerja-pekerja di pabrik-pabrik bukan saja kaum adam tapi juga kaum hawa. Mereka butuh bekerja karena biaya hidup tidak akan tercukupi jika hanya laki-laki saja yang bekerja. Maka jika si perempuan melahirkan dengan begitu seringnya, lalu mereka harus mengurus anak membuat mereka harus dipecat dari pekerjaannya. Kerepotan mengurus anak ini hanya dialami oleh perempuan saja sehingga terkadang mereka harus berhenti bekerja. Membunuh janin adalah perbuatan yang dikutuk oleh gereja, sedangkan para istri tadi tidak mempunyai ilmu bagaimana menghentikan kehamilan.

Selain itu gereja juga menghujat perempuan-perempuan yang hamil diluar nikah. Pada masa itu, perempuan yang hamil diluar nikah dianggap sebagai perempuan gila, karenanya gereja merasa berhak untuk memisahkan sibayi dengan ibunya. Kebanyakan bayi-bayi tadi diasuh oleh panti asuhan milik gereja. 

Selain itu bagi si pembuat maksiat, yaitu perempuan, namanya akan diumumkan didepan publik pada saat peribadatan minggu.

Pertanyaannya, mengapa gereja bisa melakuan kerja-kerja seperti itu?

Ternyata ada deal-deal politik yang dilakukan oleh pemerintah Quebec dan gereja saat itu. Pemerintahan yang dipegang oleh para tuan tanah mengatakan bahwa urusan ekonomi biarlah mereka yang urus sedangkan urusan moral dan agama biarlah gereja yang mengurus. Pada tahun 1960an semua sekolah dan rumah sakit diurusi oleh gereja dan juga gereja yang menyediakan sekolah dan rumah sakit tadi.

Dulunya Quebec terkenal sebagai propinsi yang sangat religious. Namun kemudian berubah menjadi propinsi yang kurang religious. Ini dikarenakan pelecehan yang dilakukan oleh gereja pada para ummatnya.  Contoh-contoh pelecehan yang dilakukan gereja adalah seperti apa yang sudah saya tulis diatas. 

Gereja juga menganggap bahwa model perbuatan baik adalah seperti apa yang dilakukan oleh gereja, sehingga orang-orang yang berbuat baik diluar dari lingkungan gereja dianggap bukan orang baik. Ini menimbulkan masalah sosial yang serius. Dan ini adalah salah satu pengaruh mengapa banyak sekali orang-orang tidak mau lagi pergi kegereja.

Namun sekarang ini, ditahun 2000an, sudah mulai ada orang-orang yang sadar pada agamnya. Mereka mulai mengunjungi gereja walaupun jumlahnya masih sedikit. Menurut dosen kami tadi, ini karena pengaruh orang-orang Hindu yang mulai ramai di Montreal dan mereka mempraktekkan agamnya dengan sangat baik. Karena banyak dari pemeluk Hindu tadi sudah cukup bergaul dengan penduduk di Montreal, maka praktek keagamaan mereka menimbulkan keinginathuan pada kaum muda yang ada di Montreal, dan inilah cara bagaimana mereka mulai mencoba mempelajari agama mereka dan agama-agama lainnya.

Kembali kepersoalan Quebec tahun 1960an, lalu bagaimana dengan fenomena keberagamaan di Aceh sekarang ini jika dibandingkan dengan keadaan di Quebec pada tahun 1960? Well… saya fikir pembaca bisa lebih bijak menjawab pertanyaan tersebut.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar