Saat di Montreal
aku dapat kesempatan untuk mengunjungi air terjun Niagara. Dan dalam perjalanan
menuju air terjun tadi aku melihat banyak sekali gereja di sepanjang jalan.
Namun anehnya, banyak sekali gereja-gereja itu yang sepi, bahkan ada plang
didepan gereja itu yang bertuliskan “dijual”. Aku tidak bisa membayangkan jika
mesjid kita di Aceh ini bertuliskan “dijual”.
Saat
aku kembali ke Montreal, tepatnya ke kampus Mc. Gill aku tanyakan hal ini pada salah
seorang dosenku, mengapa gereja sangat sepi dan bahkan samapi harus dijual
segala.
Jill,
demikian nama dosenku itu, mengatakan bahwa memang keberagamaan orang-orang
Kanada, khususnya Quebec sudah sangat menurun. Ini terjadi pada masa tahun
1960an. Masyarakat sudah tidak percaya lagi pada gereja, bahkan cenderung
membenci gereja. Akibat tidak adanya lagi pengikut, maka dana gereja semakin
menipis dan mereka tidak punya dana yang banyak untuk merawat gereja tadi.
Akhirnya gereja terpaksa dijual. Ada sebagian gereja yang beralih fungsi
menjadi mall atau hotel.
Lalu
aku mencoba menggali lagi apa yang menyebabkan sehingga begitu bencinya
masyarakat pada gereja.
Dalam salah satu tour kami di
kota tua Montreal (old Montreal), kami menemukan 2 gereja yang
berdampingan, satu gereja sangat megah dan satu gereja lagi biasa-biasa saja.
Aku coba tanyakan pada tour guide kami mengapa perbedaan itu mencolok sekali.
Lalu tour guide kami menjelaskan bahwa gereja yang sangat megah adalah gereja
milik pendatang Prancis diawal-awal Montreal mulai dibuka awal tahun 1700an.
Dan gereja satu lagi adalah gereja milik pendatang Irlandia.
Aku
sempat heran mengapa mereka tidak bisa sembahyang di gereja yang sama. Tenyata
bahasa pengantar yang digunakan berbeda satu sama lain
sehingga perlu dibuat gereja yang berbeda.
Dan status sosial mereka yang berkebangsaan Prancis berbeda jauh dengan
mereka yang berkebangsaan Inrlandia. Perbedaan pendidikan, juga mempengaruhi
mengapa mereka tidak mau berada dalam satu gereja. Dan ini sering menyebabkan
mereka gontok-gontokkan saat usai peribadatan. Ini terjadi di awal-awal
Montreal mulai didatangi pekerja-pekerja asing pada awal tahun 1800an hingga
1900an.
Bebicara
tentang peran gereja, tour guide kami menceritaka bagaimana peran gereja yang
sangat besar dalam “membina” moral dan tingkah laku beragama setiap pemeluknya.
Dan ini terasa menyakitkan bagi para perempuan pada saat itu.
Dalam khutbah-khutbah Minggu yang
diberikan oleh gereja, pendeta selalu mengatakan bahwa adalah kewajiban setiap
perempuan untuk melahirkan anak. Jadi… berapapun anak yang mereka kandung harus
mereka terima. Ini tentunya memberatkan kaum perempuan, karena diawal-awal
kebangkitan Montreal sebagai daerah industri, pekerja-pekerja di pabrik-pabrik
bukan saja kaum adam tapi juga kaum hawa. Mereka butuh bekerja karena biaya
hidup tidak akan tercukupi jika hanya laki-laki saja yang bekerja. Maka jika si
perempuan melahirkan dengan begitu seringnya, lalu mereka harus mengurus anak
membuat mereka harus dipecat dari pekerjaannya. Kerepotan mengurus anak ini
hanya dialami oleh perempuan saja sehingga terkadang mereka harus berhenti
bekerja. Membunuh janin adalah perbuatan yang dikutuk oleh gereja, sedangkan
para istri tadi tidak mempunyai ilmu bagaimana menghentikan kehamilan.
Selain itu
gereja juga menghujat perempuan-perempuan yang hamil diluar nikah. Pada masa
itu, perempuan yang hamil diluar nikah dianggap sebagai perempuan gila,
karenanya gereja merasa berhak untuk memisahkan sibayi dengan ibunya.
Kebanyakan bayi-bayi tadi diasuh oleh panti asuhan milik gereja.
Selain itu bagi
si pembuat maksiat, yaitu perempuan, namanya akan diumumkan didepan publik pada
saat peribadatan minggu.
Pertanyaannya,
mengapa gereja bisa melakuan kerja-kerja seperti itu?
Ternyata ada
deal-deal politik yang dilakukan oleh pemerintah Quebec dan gereja saat itu. Pemerintahan
yang dipegang oleh para tuan tanah mengatakan bahwa urusan ekonomi biarlah
mereka yang urus sedangkan urusan moral dan agama biarlah gereja yang mengurus.
Pada tahun 1960an semua sekolah dan rumah sakit diurusi oleh gereja dan juga
gereja yang menyediakan sekolah dan rumah sakit tadi.
Dulunya Quebec
terkenal sebagai propinsi yang sangat religious. Namun kemudian berubah menjadi
propinsi yang kurang religious. Ini dikarenakan pelecehan yang dilakukan oleh
gereja pada para ummatnya. Contoh-contoh
pelecehan yang dilakukan gereja adalah seperti apa yang sudah saya tulis
diatas.
Gereja juga menganggap bahwa model perbuatan baik adalah seperti apa
yang dilakukan oleh gereja, sehingga orang-orang yang berbuat baik diluar dari
lingkungan gereja dianggap bukan orang baik. Ini menimbulkan masalah sosial
yang serius. Dan ini adalah salah satu pengaruh mengapa banyak sekali
orang-orang tidak mau lagi pergi kegereja.
Namun sekarang
ini, ditahun 2000an, sudah mulai ada orang-orang yang sadar pada agamnya.
Mereka mulai mengunjungi gereja walaupun jumlahnya masih sedikit. Menurut dosen
kami tadi, ini karena pengaruh orang-orang Hindu yang mulai ramai di Montreal
dan mereka mempraktekkan agamnya dengan sangat baik. Karena banyak dari pemeluk
Hindu tadi sudah cukup bergaul dengan penduduk di Montreal, maka praktek
keagamaan mereka menimbulkan keinginathuan pada kaum muda yang ada di Montreal,
dan inilah cara bagaimana mereka mulai mencoba mempelajari agama mereka dan
agama-agama lainnya.
Kembali
kepersoalan Quebec tahun 1960an, lalu bagaimana dengan fenomena keberagamaan di
Aceh sekarang ini jika dibandingkan dengan keadaan di Quebec pada tahun 1960? Well…
saya fikir pembaca bisa lebih bijak menjawab pertanyaan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar